Dukacita,
Sukacita, Nawacita
Oleh:
Budiarto Shambazy
Sungguh
memalukan seorang tokoh penting PDI-P tertangkap tangan Komisi Pemberantasan
Korupsi di Sanur, Bali, saat bersamaan dengan Kongres PDI-P 2015 yang juga
diselenggarakan di Sanur. Ini tamparan keras ke wajah "Moncong Putih"
yang dalam kongres itu kembali memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua
umum.
A party
member itu berubah wujud 180 derajat menjadi a party pooper. Ia merusak suasana
sukacita PDI-P yang mencetak prestasi merebut dua kemenangan berturut-turut
pada Pemilu dan Pemilu Presiden 2014.
Dari segi
kuantitas korupsi, jumlah uang/barang yang ditilep yang bersangkutan mungkin
tak begitu besar. Namun, dari segi kualitas operasi tangkap tangan (OTT), bakal
mengernyitkan dahi dan membuat berbagai kalangan publik menggeleng-gelengkan
kepala.
Bayangkan,
begitu nekatnya yang bersangkutan terlibat dalam transaksi korupsi saat
menjalani fungsi, tugas, dan kewajiban politik yang katanya mulia. Ia seperti
tidak peduli dengan suasana kongres yang ingar-bingar, penuh khidmat, dan
bertujuan ideal memperjuangkan ideologi "Moncong Putih".
Tentu
bisa diduga yang bersangkutan akan segera disingkirkan dari partai. Ini peluang
emas bagi PDI-P untuk menunjukkan keseriusan dalam pembasmian korupsi sekaligus
barangkali untuk melakukan pembersihan internal.
Peristiwa
memalukan ini menjadi tamparan bagi Megawati karena suka atau tidak berkorelasi
dengan pidato politiknya. Saat membuka kongres, Megawati menyinggung apa yang
disebutnya "deparpolisasi" atau pengerdilan partai.
Barangkali
benar adanya klaim Megawati bahwa pengerdilan tersebut dilakukan pihak-pihak
tertentu. Memang terlihat jelas narasi mengenai proses deparpolisasi itu yang
dilakukan oleh kalangan nonparpol.
Akan
tetapi, proses deparpolisasi itu di mata publik justru dilakukan sendiri oleh
partai-partai dan para politisi di dalamnya. Publik yang sering bersikap pukul
rata cenderung sinis melihat apa yang dikerjakan partai-partai dan para
politisi.
Betul
bahwa ada partai-partai dan juga tidak sedikit politisi yang memperlakukan
politik sebagai pekerjaan mulia dalam upaya menyejahterakan rakyat. Apa lacur,
yang disaksikan sejak Pemilu-Pilpres 2014 justru sebaliknya.
Hanya
sehari sebelum OTT di Sanur ini, terjadi pemukulan anggota DPR oleh anggota DPR
lain di sela rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman
Said. Akhir Maret lalu, seorang anggota DPR merokok saat jeda sidang paripurna.
Dan,
lebih menggelikan lagi adalah apa yang dialami Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) selama beberapa bulan terakhir. Ahok bertekad mengungkap korupsi, tetapi
malah dia yang dijadikan korban hak angket DPRD DKI.
Upaya
Ahok tersebut direduksi menjadi perilaku dia yang kasar akibat ucapan-ucapan
kerasnya. Sementara sejumlah politisi DPRD DKI, termasuk dari PDI-P, juga
mengucapkan kata-kata "kebun binatang" dan berbau SARA. Dan, apa yang
dilakukan oleh para ketua umum partai di DPRD DKI? Semua bungkam!
Jadi,
sesungguhnya yang terjadi bukanlah deparpolisasi semata, tetapi juga
demoralisasi yang diperlihatkan oleh partai-partai dan para politisinya. Tidak
heran jikalau publik sudah teramat sangat sinis terhadap politik dan juga
partai-partai serta para politisi kita.
Pidato
Megawati tidaklah keliru, malah mungkin yang terbaik sejauh ini. Ia bagaikan
sebuah album "campur sari" yang lengkap menguak kondisi sosial dan
politik akhir-akhir ini.
Seperti
pernah ditulis di rubrik ini, disharmoni antara Megawati dan Presiden Joko
Widodo harus segera diakhiri. Beruntung hubungan kultural mereka berciri
patron-client (bapak-anak buah) yang sesungguhnya mudah dikelola.
Megawati
politisi paling matang berpengalaman di republik ini yang sudah lama malang
melintang sejak menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru sampai mengantar
Jokowi sebagai presiden ketujuh. Sudah sewajarnya Jokowi banyak belajar dan
senantiasa meminta nasihat Megawati dalam menjalankan tugasnya.
Jokowi
masih tetap mendapat dukungan lebih dari 50 persen menurut beberapa jajak
pendapat sejak Januari sampai Maret lalu. Namun, tingkat kepuasan yang cukup
tinggi ini terancam dianjlokkan oleh gejolak-gejolak sosial yang diakibatkan
oleh kesulitan hidup rakyat banyak.
Bukan
rahasia harga-harga kebutuhan sehari-hari makin melambung. Kritik dari berbagai
kalangan, termasuk mahasiswa, semakin hari semakin gencar dan bisa berubah
menjadi aksi massal yang dapat berskala besar.
Jangan
dilupakan, Jokowi bukannya tak bekerja, tetapi sebagian hasil pekerjaan
tersebut masih dalam tahap rencana yang belum konkret. Selain itu, ada
kelemahan internal berupa kegagalan menyosialisasikan rencana kerja pemerintah.
Jokowi
mungkin membutuhkan Megawati dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Dukungan bulat PDI-P terhadap pemerintah akan mempercepat pula terjalinnya
harmoni baru antara Megawati dan Jokowi.
Terlepas
dari dukacita OTT di Sanur, Kongres PDI-P diharapkan menjadi awal baru untuk
mengakhiri stagnasi politik selama ini. Kongres Bali ini menjadi sukacita besar
bagi Megawati dan jajaran PDI-P untuk memberikan sumbangan terwujudnya Nawacita
pemerintahan Jokowi. []
KOMPAS,
11 April 2015
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar