Kamis, 16 April 2015

Shambazy: Dukacita, Sukacita, Nawacita



Dukacita, Sukacita, Nawacita
Oleh: Budiarto Shambazy

Sungguh memalukan seorang tokoh penting PDI-P tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di Sanur, Bali, saat bersamaan dengan Kongres PDI-P 2015 yang juga diselenggarakan di Sanur. Ini tamparan keras ke wajah "Moncong Putih" yang dalam kongres itu kembali memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.

A party member itu berubah wujud 180 derajat menjadi a party pooper. Ia merusak suasana sukacita PDI-P yang mencetak prestasi merebut dua kemenangan berturut-turut pada Pemilu dan Pemilu Presiden 2014.

Dari segi kuantitas korupsi, jumlah uang/barang yang ditilep yang bersangkutan mungkin tak begitu besar. Namun, dari segi kualitas operasi tangkap tangan (OTT), bakal mengernyitkan dahi dan membuat berbagai kalangan publik menggeleng-gelengkan kepala.

Bayangkan, begitu nekatnya yang bersangkutan terlibat dalam transaksi korupsi saat menjalani fungsi, tugas, dan kewajiban politik yang katanya mulia. Ia seperti tidak peduli dengan suasana kongres yang ingar-bingar, penuh khidmat, dan bertujuan ideal memperjuangkan ideologi "Moncong Putih".

Tentu bisa diduga yang bersangkutan akan segera disingkirkan dari partai. Ini peluang emas bagi PDI-P untuk menunjukkan keseriusan dalam pembasmian korupsi sekaligus barangkali untuk melakukan pembersihan internal.

Peristiwa memalukan ini menjadi tamparan bagi Megawati karena suka atau tidak berkorelasi dengan pidato politiknya. Saat membuka kongres, Megawati menyinggung apa yang disebutnya "deparpolisasi" atau pengerdilan partai.

Barangkali benar adanya klaim Megawati bahwa pengerdilan tersebut dilakukan pihak-pihak tertentu. Memang terlihat jelas narasi mengenai proses deparpolisasi itu yang dilakukan oleh kalangan nonparpol.
Akan tetapi, proses deparpolisasi itu di mata publik justru dilakukan sendiri oleh partai-partai dan para politisi di dalamnya. Publik yang sering bersikap pukul rata cenderung sinis melihat apa yang dikerjakan partai-partai dan para politisi.

Betul bahwa ada partai-partai dan juga tidak sedikit politisi yang memperlakukan politik sebagai pekerjaan mulia dalam upaya menyejahterakan rakyat. Apa lacur, yang disaksikan sejak Pemilu-Pilpres 2014 justru sebaliknya.

Hanya sehari sebelum OTT di Sanur ini, terjadi pemukulan anggota DPR oleh anggota DPR lain di sela rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Akhir Maret lalu, seorang anggota DPR merokok saat jeda sidang paripurna.

Dan, lebih menggelikan lagi adalah apa yang dialami Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selama beberapa bulan terakhir. Ahok bertekad mengungkap korupsi, tetapi malah dia yang dijadikan korban hak angket DPRD DKI.

Upaya Ahok tersebut direduksi menjadi perilaku dia yang kasar akibat ucapan-ucapan kerasnya. Sementara sejumlah politisi DPRD DKI, termasuk dari PDI-P, juga mengucapkan kata-kata "kebun binatang" dan berbau SARA. Dan, apa yang dilakukan oleh para ketua umum partai di DPRD DKI? Semua bungkam!

Jadi, sesungguhnya yang terjadi bukanlah deparpolisasi semata, tetapi juga demoralisasi yang diperlihatkan oleh partai-partai dan para politisinya. Tidak heran jikalau publik sudah teramat sangat sinis terhadap politik dan juga partai-partai serta para politisi kita.

Pidato Megawati tidaklah keliru, malah mungkin yang terbaik sejauh ini. Ia bagaikan sebuah album "campur sari" yang lengkap menguak kondisi sosial dan politik akhir-akhir ini.

Seperti pernah ditulis di rubrik ini, disharmoni antara Megawati dan Presiden Joko Widodo harus segera diakhiri. Beruntung hubungan kultural mereka berciri patron-client (bapak-anak buah) yang sesungguhnya mudah dikelola.

Megawati politisi paling matang berpengalaman di republik ini yang sudah lama malang melintang sejak menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru sampai mengantar Jokowi sebagai presiden ketujuh. Sudah sewajarnya Jokowi banyak belajar dan senantiasa meminta nasihat Megawati dalam menjalankan tugasnya.

Jokowi masih tetap mendapat dukungan lebih dari 50 persen menurut beberapa jajak pendapat sejak Januari sampai Maret lalu. Namun, tingkat kepuasan yang cukup tinggi ini terancam dianjlokkan oleh gejolak-gejolak sosial yang diakibatkan oleh kesulitan hidup rakyat banyak.

Bukan rahasia harga-harga kebutuhan sehari-hari makin melambung. Kritik dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, semakin hari semakin gencar dan bisa berubah menjadi aksi massal yang dapat berskala besar.

Jangan dilupakan, Jokowi bukannya tak bekerja, tetapi sebagian hasil pekerjaan tersebut masih dalam tahap rencana yang belum konkret. Selain itu, ada kelemahan internal berupa kegagalan menyosialisasikan rencana kerja pemerintah.

Jokowi mungkin membutuhkan Megawati dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Dukungan bulat PDI-P terhadap pemerintah akan mempercepat pula terjalinnya harmoni baru antara Megawati dan Jokowi.

Terlepas dari dukacita OTT di Sanur, Kongres PDI-P diharapkan menjadi awal baru untuk mengakhiri stagnasi politik selama ini. Kongres Bali ini menjadi sukacita besar bagi Megawati dan jajaran PDI-P untuk memberikan sumbangan terwujudnya Nawacita pemerintahan Jokowi. []

KOMPAS, 11 April 2015
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar