Membumikan
Islam Nusantara
Oleh: M.
Hasan Mutawakkil Alallah
DERITA
rakyat di kawasan Timur Tengah yang tak kunjung berakhir akibat perang saudara
menjadi keprihatinan umat Islam di seluruh dunia. Tragedi kemanusiaan di
wilayah tumbuh dan berkembangnya muasal Islam tersebut memicu pertanyaan
penting: Di manakah nilai ukhuwah watoniyah, islamiyah, dan basyariyah yang
telah diteladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika membangun Madinah?
Juga, di manakah
aktualisasi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mengajarkan cinta
kasih dan kedamaian? Realitas yang terjadi di kawasan Timur Tengah itulah yang
melatarbelakangi keberadaan Islam Nusantara dipandang sebagai teladan ideal
bagi aktualisasi Islam rahmatan lil alamin.
Genealogi
Islam Nusantara
Terdapat
beberapa asumsi dan teori yang berbeda terkait dengan datangnya Islam di
Nusantara, baik mengenai tempat asal kedatangan Islam, para mubalig/pembawa
ajaran Islam, dan waktu kedatangannya. Dalam catatan Pijnappel, Snouck
Hurgronje, dan Moquette, Islam masuk ke Nusantara dari anak benua India atau
tepatnya dari wilayah Gujarat dan Malabar. Mereka tidak menjelaskan waktu
kedatangan Islam dari wilayah itu. Hanya, Hurgronje berasumsi bahwa abad ke-12
merupakan periode paling mungkin dari permulaan masuknya Islam di Nusantara.
Pendapat
yang berbeda dikemukakan Arnold. Menurut dia, walaupun Islam masuk ke Nusantara
dari Coromandel dan Malabar, perlu dipahami bahwa para pedagang Arab dan Timur
Tengah umumnya juga membawa misi penyebaran agama Islam ketika mereka dominan
dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi
(Azra, 1994:26).
Ajaran
Islam tersebar secara masif ke Nusantara. Khususnya di kawasan Jawa dan Sumatera,
penyebaran itu terjadi setelah masa akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit, ketika
para mubalig yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Wali Sanga berdakwah
dan membagi tugas berdakwah di kawasan yang berbeda sehingga memungkinkan Islam
secara cepat tersebar ke berbagai wilayah. Misalnya, Maulana Malik Ibrahim
mengislamkan pesisir utara Pulau Jawa dan pernah berusaha mengislamkan raja
Majapahit yang bernama Wikramawardhana, yang berkuasa pada 788–833 H/1386–1429
M.
Tetapi,
upaya penyebaran Islam oleh Maulana Malik Ibrahim tersebut tidak maksimal
hingga kedatangan Raden Rahmatullah, yang diriwayatkan masih memiliki hubungan
kekerabatan dari istri raja Majapahit yang berasal dari negeri Campa. Dengan
hubungan tersebut, Raden Rahmatullah mendapat fasilitas untuk mengenalkan dan
mengajarkan agama Islam. Dia, di antaranya, diberi sebidang tanah di kawasan
Ampel Denta untuk kegiatan dakwah sehingga masyhur dengan sebutan Sunan Ampel.
Pada masa
yang sama, juga dikenal seorang mubalig yang bernama Syekh Nur Al Din Ibrahim
bin Maulana Izra’il yang tinggal di kawasan Cirebon, Jawa Barat. Dia dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati. Seorang sayid terkenal lain adalah Maulana Ishaq.
Dia dikirim oleh sultan Pasai untuk mengislamkan raja Blambangan, Jawa Timur,
yang pada akhirnya dikawinkan dengan putri raja Blambangan. Dari perkawinan
itu, lahir keturunan yang kemudian dikenal sebagai Raden Ainul Yaqin atau Sunan
Giri.
Dari
generasi Wali Sanga itu, kemudian berkembang keturunan dan kader cemerlang yang
menjadi penerus perjuangan Islam pada abad-abad selanjutnya seperti Syekh
Nawawi Banten dan Syekh Mahfud Al Turmusi dari Termas. Dari didikan dua ulama
itulah muncul generasi ulama seperti KH Kholil, Bangkalan; KH Hasyim Asyari
dari Tebuireng, Jombang; KH Wahab Hasbullah; KH Bisri Samsuri; serta banyak
tokoh pesantren yang berkontribusi signifikan untuk tersebarnya Islam di
Nusantara. Para ulama tersebut merupakan jejaring intelektual yang meneruskan
ajaran Wali Sanga dengan mendirikan pondok pesantren dan melestarikan risalah
yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW dalam bingkai ahlussunnah wal jamaah.
Ajaran
Islam Nusantara
Islam
yang datang ke Nusantara merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah
mengalami dialog intensif dengan berbagai peradaban besar dunia seperti Turki,
India, Tiongkok, Siam, dan lainnya. Akibatnya, ketika sampai di Nusantara,
Islam telah tampil dalam kondisi matang. Islam itulah yang diajarkan di
pesantren-pesantren di seluruh Nusantara, yang terbingkai dalam ajaran
ahlussunnah wal jamaah yang memiliki karakteristik tasamuh
(toleransi/fleksibilitas), tawassuth (moderasi), serta tawazun dan i’tidal
(menjaga keseimbangan).
Karakteristik
tersebut menjadi roh Islam Nusantara. Karena itu, dalam aktualisasinya, Islam
Nusantara memunculkan wajah yang ramah, damai, santun, dan menyejukkan. Sebab,
misi dan ajarannya dapat selaras dan senapas dengan lingkungan sehingga terjadi
akulturasi dengan kultur sosial masyarakat di sekitarnya. Lenturnya ajaran
Islam Nusantara dengan lingkungan masyarakat menjadikan Islam Nusantara dinamis
dan sumber inspirasi umat karena responsif terhadap segala permasalahan umat,
misalnya dalam menyelesaikan kasus aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari
mainstream.
Islam
Nusantara mengedepankan tabayun dan dialog untuk menyelesaikan kasus sebelum
penyelesaian ditempuh lewat jalur hukum atau lainnya. Begitu pula dalam
menyikapi masalah kebangsaan, Islam Nusantara mengajarkan kecintaan kepada
negara secara utuh dengan landasan hubbul wathan minal iman. Acuannya adalah
ajaran Rasulullah SAW dan Al Khulafa’ Al Rasyidun dalam berpolitik dan
bernegara.
Dengan
praktik seperti itu, Islam Nusantara sangat responsif terhadap transformasi
sosial dengan memberikan solusi secara persuasif dan moderat dalam upaya
terciptanya baldatun thoyyibatun warabbun ghaf?r. Spirit ajaran Islam Nusantara
tersebut terlembagakan ke dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi
penerus ajaran dan dakwah Wali Sanga.
Atas
dasar itu, suatu keharusan bagi NU senantiasa mengukuhkan Islam Nusantara untuk
menjadi sumber inspirasi peradaban dunia. NU layak mendorong diri melalui
praktik utama terbaik agar Islam bisa memberikan manfaat besar bagi kebangsaan
dan kenegaraan Indonesia serta kemanusiaan dan kesemestaan luas. Apa yang
belakangan ini menimpa Timur Tengah harus memberikan kesadaran kepada kita
bersama atas pentingnya Islam Nusantara. (*)
Jawa Pos,
24 April 2015
M. Hasan
Mutawakkil Alallah, Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar