Selasa, 28 April 2015

Mutawakkil: Membumikan Islam Nusantara



Membumikan Islam Nusantara
Oleh: M. Hasan Mutawakkil Alallah

DERITA rakyat di kawasan Timur Tengah yang tak kunjung berakhir akibat perang saudara menjadi keprihatinan umat Islam di seluruh dunia. Tragedi kemanusiaan di wilayah tumbuh dan berkembangnya muasal Islam tersebut memicu pertanyaan penting: Di manakah nilai ukhuwah watoniyah, islamiyah, dan basyariyah yang telah diteladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW ketika membangun Madinah?

Juga, di manakah aktualisasi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mengajarkan cinta kasih dan kedamaian? Realitas yang terjadi di kawasan Timur Tengah itulah yang melatarbelakangi keberadaan Islam Nusantara dipandang sebagai teladan ideal bagi aktualisasi Islam rahmatan lil alamin.

Genealogi Islam Nusantara

Terdapat beberapa asumsi dan teori yang berbeda terkait dengan datangnya Islam di Nusantara, baik mengenai tempat asal kedatangan Islam, para mubalig/pembawa ajaran Islam, dan waktu kedatangannya. Dalam catatan Pijnappel, Snouck Hurgronje, dan Moquette, Islam masuk ke Nusantara dari anak benua India atau tepatnya dari wilayah Gujarat dan Malabar. Mereka tidak menjelaskan waktu kedatangan Islam dari wilayah itu. Hanya, Hurgronje berasumsi bahwa abad ke-12 merupakan periode paling mungkin dari permulaan masuknya Islam di Nusantara.

Pendapat yang berbeda dikemukakan Arnold. Menurut dia, walaupun Islam masuk ke Nusantara dari Coromandel dan Malabar, perlu dipahami bahwa para pedagang Arab dan Timur Tengah umumnya juga membawa misi penyebaran agama Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi (Azra, 1994:26).

Ajaran Islam tersebar secara masif ke Nusantara. Khususnya di kawasan Jawa dan Sumatera, penyebaran itu terjadi setelah masa akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit, ketika para mubalig yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Wali Sanga berdakwah dan membagi tugas berdakwah di kawasan yang berbeda sehingga memungkinkan Islam secara cepat tersebar ke berbagai wilayah. Misalnya, Maulana Malik Ibrahim mengislamkan pesisir utara Pulau Jawa dan pernah berusaha mengislamkan raja Majapahit yang bernama Wikramawardhana, yang berkuasa pada 788–833 H/1386–1429 M.

Tetapi, upaya penyebaran Islam oleh Maulana Malik Ibrahim tersebut tidak maksimal hingga kedatangan Raden Rahmatullah, yang diriwayatkan masih memiliki hubungan kekerabatan dari istri raja Majapahit yang berasal dari negeri Campa. Dengan hubungan tersebut, Raden Rahmatullah mendapat fasilitas untuk mengenalkan dan mengajarkan agama Islam. Dia, di antaranya, diberi sebidang tanah di kawasan Ampel Denta untuk kegiatan dakwah sehingga masyhur dengan sebutan Sunan Ampel.

Pada masa yang sama, juga dikenal seorang mubalig yang bernama Syekh Nur Al Din Ibrahim bin Maulana Izra’il yang tinggal di kawasan Cirebon, Jawa Barat. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Seorang sayid terkenal lain adalah Maulana Ishaq. Dia dikirim oleh sultan Pasai untuk mengislamkan raja Blambangan, Jawa Timur, yang pada akhirnya dikawinkan dengan putri raja Blambangan. Dari perkawinan itu, lahir keturunan yang kemudian dikenal sebagai Raden Ainul Yaqin atau Sunan Giri.

Dari generasi Wali Sanga itu, kemudian berkembang keturunan dan kader cemerlang yang menjadi penerus perjuangan Islam pada abad-abad selanjutnya seperti Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfud Al Turmusi dari Termas. Dari didikan dua ulama itulah muncul generasi ulama seperti KH Kholil, Bangkalan; KH Hasyim Asyari dari Tebuireng, Jombang; KH Wahab Hasbullah; KH Bisri Samsuri; serta banyak tokoh pesantren yang berkontribusi signifikan untuk tersebarnya Islam di Nusantara. Para ulama tersebut merupakan jejaring intelektual yang meneruskan ajaran Wali Sanga dengan mendirikan pondok pesantren dan melestarikan risalah yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW dalam bingkai ahlussunnah wal jamaah.

Ajaran Islam Nusantara

Islam yang datang ke Nusantara merupakan Islam yang sudah paripurna karena telah mengalami dialog intensif dengan berbagai peradaban besar dunia seperti Turki, India, Tiongkok, Siam, dan lainnya. Akibatnya, ketika sampai di Nusantara, Islam telah tampil dalam kondisi matang. Islam itulah yang diajarkan di pesantren-pesantren di seluruh Nusantara, yang terbingkai dalam ajaran ahlussunnah wal jamaah yang memiliki karakteristik tasamuh (toleransi/fleksibilitas), tawassuth (moderasi), serta tawazun dan i’tidal (menjaga keseimbangan).

Karakteristik tersebut menjadi roh Islam Nusantara. Karena itu, dalam aktualisasinya, Islam Nusantara memunculkan wajah yang ramah, damai, santun, dan menyejukkan. Sebab, misi dan ajarannya dapat selaras dan senapas dengan lingkungan sehingga terjadi akulturasi dengan kultur sosial masyarakat di sekitarnya. Lenturnya ajaran Islam Nusantara dengan lingkungan masyarakat menjadikan Islam Nusantara dinamis dan sumber inspirasi umat karena responsif terhadap segala permasalahan umat, misalnya dalam menyelesaikan kasus aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari mainstream.

Islam Nusantara mengedepankan tabayun dan dialog untuk menyelesaikan kasus sebelum penyelesaian ditempuh lewat jalur hukum atau lainnya. Begitu pula dalam menyikapi masalah kebangsaan, Islam Nusantara mengajarkan kecintaan kepada negara secara utuh dengan landasan hubbul wathan minal iman. Acuannya adalah ajaran Rasulullah SAW dan Al Khulafa’ Al Rasyidun dalam berpolitik dan bernegara.

Dengan praktik seperti itu, Islam Nusantara sangat responsif terhadap transformasi sosial dengan memberikan solusi secara persuasif dan moderat dalam upaya terciptanya baldatun thoyyibatun warabbun ghaf?r. Spirit ajaran Islam Nusantara tersebut terlembagakan ke dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi penerus ajaran dan dakwah Wali Sanga.

Atas dasar itu, suatu keharusan bagi NU senantiasa mengukuhkan Islam Nusantara untuk menjadi sumber inspirasi peradaban dunia. NU layak mendorong diri melalui praktik utama terbaik agar Islam bisa memberikan manfaat besar bagi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia serta kemanusiaan dan kesemestaan luas. Apa yang belakangan ini menimpa Timur Tengah harus memberikan kesadaran kepada kita bersama atas pentingnya Islam Nusantara. (*)

Jawa Pos, 24 April 2015
M. Hasan Mutawakkil Alallah, Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar