Berpolitik dan
Bernegara ala Kiai Wahab Chasbullah
Judul
: Kaidah Berpolitik & Bernegara
Penulis
: KH. Abdul Wahab Casbullah
Penyunting
: Abdul Mun’im DZ
Penerbit
: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Cetakan
: I, Feb 2014
Tebal
: lxvi (66) + 164 halaman
ISBN:
978-979-1662-5-1
Harga
: Rp. 55.000,-
Peresensi
: Fathoni, penulis lepas dan mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta
"Banyak pemimpin
NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka
lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan
orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang
dimilikinya.”
“Kekuatan NU itu
ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati
mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan
meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa sebagai meriam tiruan. Pemimpin
NU yang tidak mengerti itu tidak sadar siasat lawan dalam menjatuhkan NU
melalui cara membuat pemimpin NU ragu akan kekuatan sendiri.”
Itulah Kredo
Pergerakan KH. Abdul Wahab Chasbullah yang diutarakan di Jakarta pada tahun
1950, sembilan tahun sebelum Muktamar ke-22 Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta.
Dengan kredo tersebut, nahdliyin dan nahkodanya (pemimpin) tergugah dan
terbelalak akan kekuatan organisasinya. Terlepas dari hal itu, Mbah Wahab bukan
sekadar nahkoda pemikir, tapi juga penggerak, baik dalam mengabdi kepada umat,
bangsa, dan negaranya. Ketokohan dan jiwa kepahlawanannya terlihat dengan
perjuangan yang tak kenal henti dalam membimbing umat dan melawan penjajahan
oleh kolonial Belanda dan Jepang.
Dengan pemikiran dan
gerakan Mbah Wahab yang hanya lulusan pesantren, namun ilmu yang dimilikinya
sangat komprehensif, buku ini berusaha mengumpulkan tulisan Kiai Wahab yang
tersebar di berbagai media massa dan buku, serta catatan muktamar dan sidang
Konstituante. Sebagai tokoh besar yang memberikan motivasi dan inspirasi
bangsanya, Kiai Wahab Chasbullah pantas untuk diperkenalkan karya tulis
pemikirannya serta menunjukan kembali kiprah dan proses dalam membangun
organisasi dan memperjuangkan bangsa ini.
Sepulang dari Mekkah
tahun 1914, Mbah Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya Tambakberas Jombang,
tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional karena tidak tega melihat kondisi
bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup dan penderitaan yang mendalam,
kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan dan keterbelakangan yang
diakibatkan oleh penindasan dan pengisapan yang dilakukan oleh penjajah
Belanda. Melihat kondisi tersebut, Mbah Wahab bersama kaum muda lain mendirikan
organisasi pergerakan yang dinamakan Nahdlatul Wathon (Gerakan Kebangsaan).
Selanjutnya untuk mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, maka
bersama tokoh pergerakan nasional, Dr. Soetomo, pada tahun 1918, Kiai Wahab
mendirikan Tashwirul Afkar (Gerakan Pemikiran) untuk mendinamisir pemikiran
masalah kebangsaan. Organisasi-organisasi tersebut bersifat non-kooperatif
dengan penjajah Belanda sehingga tidak mendapatkan santunan dana. Sebab itu
untuk memperkuat pendanaan gerakannya tersebut, Mbah Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (Gerakan
Saudagar) pada tahun 1918 juga sebagai pusat penggalangan dana bagi
perkembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
Gerakan Kiai Wahab
tidak hanya sampai di situ, ketika membentuk organisasi ulama-ulama pesantren
bernama Komite Hijaz untuk merespon makam Nabi Muhammad saw hendak dibongkar
oleh penguasa baru Hijaz, Raja Abdul Aziz Ibn Saud serta mazhab Imam empat
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tidak boleh diajarkan dan diamalkan
di Tanah Suci. Usaha ini ditanggapi positif oleh raja sehingga makam Nabi tidak
jadi dibongkar, serta ulama-ulama bermazhab empat dibiarkan hidup, walau tidak
boleh mengajar dan memimpin Haramain. Mengapa Kiai Wahab begitu cepat diterima
Raja Saud dibanding kelompok modernis? Selain Kiai Wahab telah tinggal lama di
Arab, dia juga semua seluk-beluk suku, dan tokoh kuncinya, mengenal para ulama
dan pangeran di sana, termasuk mengenal para jagoan yang ada. Koneksi itulah
yang digunakan untuk menerobos, melakukan lobi sehingga mampu menenemui sang
raja dan dikabulkan beberapa usulannya.
Aktivitas keagamaan,
sosial, maupun politik Kiai Wahab adalah untuk menegakkan ajaran Ahlussunnah
Wal Jamaah (Aswaja) yang telah dirintis selama berabad-abad oleh Wali Songo dan
para ulama sesudahnya. Dia bukan hanya penerus, tetapi juga mempunyai pertalian
darah dengan para penyebar Islam di Tanah Jawa itu. Bahkan Kiai Wahab secara
praktis dan ideologis adalah sebagai penerus perjuangan Pangeran Diponegoro.
Karena itu ia selalu memakai sorban yang ia sebut sendiri sebagai Sorban
Diponegoro sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan.
Menonjolnya peran
Wahab Chasbullah ini berkat kematangannya dalam menempa dirinya sebagai ulama
pergerakan. Jadi bukan sekadar sholeh secara vertikal, tapi juga sholeh secara
horisontal atau sosial. Sehingga seorang ‘alim dapat bermanfaat di semua lini
kehidupan masyarakat. Secara geneologi keilmuannya, semula ia belajar di
Pesantren Langitan Tuban, kemudian ke Pesantren Tawangsari Surabaya, lalu
melanjutkan lagi ke Pesantren Bangkalan Madura, kemudian ke Pesantren Mojosari
Nganjuk, dan menyempatkan diri nyantri di Tebuireng Jombang. Setelah merasa
cukup ilmunya, ia meneruskan belajar ke Mekkah untuk belajar pada ulama
terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di sana, seperti
Syekh Mahfudz Termas, Syekh Ahmad Chotib al-Minangkabawi, juga Syekh Sya’id
al-Yamani, serta ulama terkemuka lainnya. Selain belajar agama saat di Mekkah,
ia juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama
aktivis di seluruh dunia.
Dari karya-karya dan
pemikirannya, selama ini Kiai Wahab dikenal hanya sebagai Kiai politisi,
padahal sesungguhnya ia adalah seorang ulama tauhid dan juga fikih yang sangat
mendalam dan luas pengetahuannya. Oleh karena itu, ia dapat dengan mudah
menerapkan prinsip-prinsip fikih dalam kehidupan modern secara progresif,
termasuk dalam bidang siyasah (politik). Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan
Fikih Ahlussunnah Wal Jamaah menunjukan kedalaman penguasaannya di bidang ilmu
dasar tersebut.
Kehidupan Kiai Wahab
juga lekat dengan kekejaman kolonialis Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Pernah suatu ketika umat Islam dilarang untuk mengadakan pertemuan maupun
perkumpulan di Mesjid-mesjid seperti yang sering dilakukan. Mbah Wahab tidak
berpangku tangan atau mengirim surat keringanan. Dengan sikap kepemimpinannya,
ia menemui langsung Gubernur Jenderal di Batavia. Para kolonial yang kejam,
semua disapa dengan keramahan sehingga sang kolonialis pun larut dalam serba
bisa dan terpaksa menerima dengan penuh keramahan dalam menghdapai Kiai yang
supel itu. Akhirnya, pembekuan dapat dicairkan kemudian umat Islam pun
diizinkan kembali mengadakan dakwah atau perkumpulan di dalam Mesjid.
Pasca penjajahan,
muncullah gerakan makar atas kedaulatan pemerintah RI oleh gerakan komunis dan
ekstrimis yang tidak mengakui kepemipinan presiden Soekarno. Kartosuwiryo
mengklaim diri sebagai Amirul Mukminin sebagai tandingan pemerintah RI di bawah
Soekarno. Maka NU dibawah pimpinan Kiai Wahab menugaskan Kiai Masykur, Menteri
Agama saat itu untuk mengkoordinasi para ulama Indonesia sejak tahun 1952
menyelanggarakan beberapa kali pertemuan se-Indonesia guna mengatasi dualisme
kepemimpinan Islam itu. Akhirnya para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah yang
dipelopori NU menegaskan dengan memilih Bung Karno sebagai pemerintah yang sah
sebagai waliyul amri pada tahun 1954.
Itulah beberapa
gerakan politik, sosial, dan agama dalam frame Ahlussunnah Wal Jamaah yang dilakukan oleh
Kiai Wahab yang terangkum dari beberapa pemikirannya dalam buku ini. Selain
itu, sebagai pencetus gerakan Nahdlatut Tujjar, Kiai Wahab juga concern dalam
persoalan ekonomi bangsa sehingga tujuan politik untuk menyejahterakan rakyat
dapat tercapai seluruhnya.
Buku setebal 230
halaman (66 pendahuluan + 64 isi) ini terdiri dari 7 bagian. Di bagian akhir,
khusus memaparkan berbagai pernyataan Kiai Wahab di bidang politik, ekonomi,
keagamaan, dan kenegaraan. Buku ini menjadi bagian penting dan menjadi bahan
utama dalam proses persidangan gelar pahlawan untuk Sang Peggerak. Alhamdulillah
tahun 2014 warga Nahdliyin patut bangga KH Wahab Chasbullah telah ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar