Trimedia
Khomeini dan Sarumpaet Madari
Oleh: Moh
Mahfud MD
Ada segmen menarik pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (14-4-15) pekan ini, yakni segmen ketika terjadi debat saling sambar antara tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Trimedia Panjaitan (Trimed) dan Ratna Sarumpaet terkait praksis demokrasi pada live di TV One yang membedah isu ”Petugas Partai” tersebut.
Ketika diberi kesempatan berbicara, Sarumpaet mengkritik, antara lain, kepemimpinan Megawati yang sudah sangat lama dan masih terpilih lagi di Kongres PDIP pekan lalu. Kata Sarumpaet, seharusnya Megawati menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kader yang lebih muda. Megawati, tambah Sarumpaet, sudah lebih dari 15 tahun memimpin PDIP.
Trimed menjelaskan, ”Megawati terpilih dalam kongres secara sangat demokratis”. Megawati dipilih berdasar usul berjenjang dari pengurus tingkat bawah sampai tingkat pusat, yang kemudian didukung secara aklamasi oleh kongres. Bukan Megawati yang meminta dipilih, tapi warga PDIP sendirilah yang memintanya. Kata Trimed, Megawati terpilih sebagai produk demokrasi, bukan hasil rekayasa.
Sarumpaet yang adalah seniwati dan aktivis pejuang penegakan HAM menyambar lagi dengan pernyataan, seharusnya Megawati meminta para kadernya untuk memilih kader lain yang lebih muda. Megawati seharusnya mendorong warga PDIP untuk tidak selalu memilih dirinya. Trimed pun menyambar lagi bahwa semua warga PDIP ikhlas memilih Megawati.
Masak mau dilarang? Demokrasi itu kan memberi kebebasan pada anggota untuk menentukan pilihannya? Kalau melarang anggota untuk menentukan pilihannya sendiri, berarti tidak demokratis. Demikian Trimedia. Materi perdebatan tersebut sangat menarik dalam konteks ambiguitas dan paradoks demokrasi. Saat mengikuti debat Trimed-Sarumpaet itu, saya jadi teringat pada sebuah tulisan yang pernah saya baca di majalah Prisma pada 1990- an. Saya sudah lupa nomor edisi dan nama penulisnya karena sudah lama sekali, lebih dari 15 tahun lalu.
Tetapi saya ingat penulis itu bercerita tentang perdebatan antara Ayatullah Khomeini dan Shariat Madari, dua tokoh revolusi Iran yang mengguncangkan dunia pada 1979 itu. Seperti diketahui, setelah berjuang selama puluhan tahun, bahkan sempat diasingkan di Paris selama 22 tahun, Ayatullah Khomeini akhirnya berhasil memimpin revolusi di Iran, menjatuhkan rezim Syah Iran yang korup dan bertangan besi.
Setelah revolusi yang gemilang itu, Iran memasuki babak baru, membangun sistem politik yang demokratis atau, tepatnya, sistem teodemokrasi. Ketika itu Khomeini yang saleh, suci, dan sederhana sangat dihormati, dikagumi, dan didukung oleh rakyat Iran untuk memimpin dan mengatur Iran sehingga kekuasaannya menjadi besar luar biasa.
Pelan-pelan kekuasaan Khomeini membesar dan membesar sehingga semua kekuasaan terpusat di tangannya. Khomeini menjadi penentu kekuasaan legislatif karena melalui kedudukannya sebagai Waly al Faqieh, dia adalah penentu undang-undang yang bisa ditetapkan oleh parlemen. Khomeini adalah penentu pejabat-pejabat puncak eksekutif sebelum maupun sesudah pemilu.
Khomeini juga mengambil fungsi yudikatif ketika, misalnya, menjatuhkan vonis hukuman mati kepada penulis buku Satanic Veses Salman Rushdi dan kepada PM Sadeq Godzadeh. Namun, rakyat senang dan selalu mendukung Khomeini karena kejujuran dan kesederhanaannya. Dalam keadaan seperti itulah, Shariat Madari datang kepada Khomeini untuk memberi semacam teguran.
Dia
mengingatkan Khomeini bahwa kekuasaannya yang begitu besar (merambah ke
legislatif, eksekutif, yudikatif) itu bertentangan dengan ide demokrasi yang
diperjuangkan Khomeini sendiri. ”Mengapa engkau berkata begitu, sahabatku?”
tanya Khomeini. ”Karena engkau telah mengangkangi semua kekuasaan, itu bukan
demokrasi yang kita perjuangkan,” jawab Madari.
”Apa arti demokrasi itu menurutmu?” tanya balik Khomeini. ”Kekuasaan dan pemerintahan yang diperoleh atas kehendak dan untuk rakyat,” jawab Madari. ”Kalau begitu saya sudah bertindak demokratis, sebab kekuasaan saya yang besar ini diminta oleh dan untuk rakyat,” jawab Khomeini lagi.
”Kalau begitu bilang pada rakyat agar tidak memberi kekuasaan yang terlalu besar kepadamu. Engkau didengar oleh rakyat. Jika engkau bilang agar rakyat tidak menumpuk kekuasaan di tanganmu maka rakyat akan mematuhinya,” debat Madari. Khomeini pun menukas, ”Lo, kalau saya melarang rakyat untuk memberikan kekuasaan kepadaku sesuai pilihannya sendiri, berarti saya menentang demokrasi. Rakyat maunya begitu, bagaimana lagi.” Jadi, perdebatan antara Trimedia dan Sarumpaet itu hampir sama persis dengan perdebatan antara Khomeini dan Madari.
Persoalannya terletak pada ambiguitas dan paradoks demokrasi itu sendiri. Dalam sejarah pemikiran politik sejak zaman Yunani kuno (2500 tahun yang silam), demokrasi memang dinilai ambigu dan bukanlah sistem yang ideal. Plato, misalnya, menyebut adanya unsur jelek demokrasi karena menyerahkan penentuan keputusan penting negara kepada rakyat yang umumnya sangat awam dan berpotensi menimbulkan massa liar.
Sementara itu, Aristoteles mengatakan bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog, politisi yang ahli orasi dan agitasi dengan berbagai janji, tetapi sesudah menang dalam pemilihan mereka tidak memenuhi janji-janjinya. Meskipun begitu, demokrasi merupakan sistem terbaik jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain sebab di dalam demokrasi ada prinsip penghormatan terhadap rakyat dan hak-haknya.
Di dalam sistem apa pun, negara akan baik jika pemimpinnya jujur, bersih, dan berintegritas. Kualitas demokrasi akan semakin membaik jika didahului dengan semakin membaiknya kesejahteraan dan tingkat pendidikan rakyatnya. []
Koran
SINDO, 18 April 2015
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar