Agama Cepat Saji
Oleh: Komaruddin Hidayat
Salah satu aspek fundamental agama adalah keyakinan tentang keabadian jiwa yang disertai tawaran surga dan neraka.
Aspek ini kadang disebut sebagai doktrin eskatologis dan salvation (keselamatan). Jiwa yang selamat akan masuk surga, yang celaka akan hidup sengsara di neraka. Apakah hakikat surga dan neraka, di sana banyak ragam tafsiran. Namun, yang umumnya diyakini adalah ada keabadian jiwa dan balasan baikburuk dari tindakannya selama hidup di dunia.
Deskripsi dan metafora tentang surga yang disajikan dalam Alquran memang sangat cocok dan memikat bagi masyarakat padang pasir yang damba pada istana di atas padang luas nan hijau, dikelilingi sungai dan taman buah yang subur. Karena karakter masyarakat padang pasir yang didominasi kaum laki, deskripsi surga juga terasa yang diutamakan pembaca laki-laki. Makanya, di surga tersedia bidadari yang cantik-cantik. Jadi, apa yang lebih memukau selain istana megah di tamn hijau dengan bidadari yang telah menanti?
Namun, dalam berbagai statement Alquran, ketika berbicara tentang keindahan surga seringkali diawali dengan kata perumpamaan. Lalu terdapat riwayat sabda Rasulullah bahwa surga yang dijanjikan itu tidak mungkin bisa dideskripsikan karena mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar, bahkan belum pernah terbayang dalam pikiran. Masing- masing agama punya gambaran tentang surga dan bagaimana usaha untuk meraihnya.
Keyakinan dan harapan masuk surga setelah meninggalkan dunia menjadi penekan dan daya tarik sangat kuat agar seseorangmenemukan jalan untuk masuk ke sana. Setidaknya ada tiga tawaran yang bisa ditempuh yaitu dengan memperbanyak ritual keagamaan seperti menegakkan salat, puasa, haji, umrahdanmemperbanyak zikir. Kemudian ada tawaran lagi berupa jalan amal sosial sebanyak mungkin dengan meringankan beban kemiskinan, kebodohan, dan sakit.
Terakhir, dengan menyebarkan ajaran agama agar orang lain masuk dan ikut jalan kebenaran dan keselamatan sebagaimana paham dan keyakinan agama yang dianutnya. Lebih dari itu, memerangi mereka yang menentang agama Allah. Cara yang terakhir inilah yang akhirakhir ini sering disebut sebagai kelompok jihadis. Pada kenyataannya pemahaman, penghayatan, dan praktik beragama seseorang berbeda-beda. Ada yang senang melakukan ibadah sosial dengan modal pikiran, tenaga, dan hartanya, tetapi malas melakukan ritual seperti sembahyang lima kali sehari semalam.
Sebaliknya, ada yang sangat rajin melakukan ritual, tetapi lemah dalam ibadah sosialnya. Lalu, yang sekarang fenomenal adalah menempuh jalan jihadis untuk membela agama Allah dengan jalan kekerasan. Mereka yang tidak sepaham berarti tidak taat pada hukum Allah. Makanya, mereka mesti diingatkan dengan jalan damai. Jika tidak mau, bahkan menghalangi gerak mereka, layak dilawan dengan senjata. Itu jihad dengan janji masuk surga kalau terbunuh.
Bagi kelompok jihadis tak dikenal istilah kalah dalam memperjuangkan tegaknya agama Allah. Kalaupun mati dalam perjuangan, itu pun sebuah kemenangan. Surga yang indah dan bidadari telah menanti. Lebih indah ketimbang kehidupan dunia. Mengapa orang tertarik bergabung ke dalam gerakan radikal dengan risiko mengorbankan kehidupan yang selama ini dijalani dan bahkan mempertaruhkan nyawanya?
Misalnya saja mereka yang bergabung ke ISIS, motif dan daya tariknya bermacam-macam. Kalau meminjam analisis Marx yang banyak dikritik itu, mereka merasa kalah menghadapi gelombang kapitalisme dan modernisasi sehingga mencari jalan lain yang terjangkau dan menawarkan jalan pintas pada kehidupan lain yang menjanjikan kebahagiaan. Apa itu? Ya surga.
Dengan semangat dan keyakinan berperang menghadapi musuh Tuhan, bayangan surga sudah sangat dekat. Kematian di jalan Tuhan adalah pintu gerbang menuju surga. Sebuah tawaran surga cepat saji. Yang diperlukan adalah keyakinan kuat dan bulat, plus nyali memasuki zona pertempuran. Hidup atau mati keduanya sebuah kemenangan.
Benarkah ada jaminan mereka yang bergabung dalam gerakan radikalisme keagamaan mesti langsung masuk surga sebagai pahlawan pembela agama Tuhan? Tak ada jawaban empiris yang meyakinkan karena kita belum pernah mati dan yang mati tak pernah hidup kembali untuk berbagi cerita. []
Koran SINDO, 17 April 2015
Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar