Dipaksa Menikah Karena
Tertangkap Basah
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Pak ustadz yang kami
hormati. Kami ingin mengajukan pertanyaan terkait dengan pernikahan yang
dipaksakan. Kasusnya adalah setelah lebaran dua hari di kampung kami terjadi
peristiwa penggrebegan seseorang laki-laki tetangga desa ketahuan sedang
berduaan dengan seorang janda beranak satu di rumah si janda sampai malam.
Kami pun kemudian rame-rame menggrebegnya
kemudian memukilinya. Selanjutnya memaksa dia supaya menikahi si janda
tersebut. Yang ingin kami tanyakan, bagaimana hukum pernikahan yang dipaksakan,
karena dia dicurigai telah berbuat senonoh dengan si janda tersebut?
Terimakasih atas penjelasannya. Wassalam.
Hadik, Purwokerto
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Fenomena ‘penggrebegan’ warga terhadap pasangan yang ketahuan
melakukan tindakan mesum, lebih-lebih jika pihak lelaki sudah punya istri atau
sebaliknya, seperti yang diceritakan di atas memang sering terjadi. Biasanya
alasan yang digunakan warga sudah merasa resah dan mereka berdua dianggap
mengotori lingkungan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip dasar
dalam akad adalah ‘an taradlin atau adanya kerelaan di antara kedua belah
pihak. Termasuk di dalamnya adalah akad nikah. Karena itu dalam pandangan
madzhab Syafii, terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi calon suami.
Salah satunya adalah adanya kemauan dari dirinya (mukhtar) dan tidak dipaksa.
Hal ini berarti pernikahan orang yang dipaksa adalah tidak sah. Tetapi jika
pemaksaan tersebut didasari oleh alasan yang benar maka pernikahan tersebut
dianggap sah. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Ibrahim al-Baijuri:
وَشُرُوطُ
الزَّوْجِ كَوْنُهُ حَلَالًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مَحْرَمٍ وَلَوْ بِوَكِيلِهِ
وَكَوْنُهُ مُخْتَارًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مُكْرَهٍ بِغَيْرِ حَقٍّ بِخِلَافِ
مَا لَوْ كَانَ مُكْرَهًا بِحَقٍّ وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَى نِكَاحِ مَنْ طَلَّقَهَا
طَلَاقًا بَائِنًا بِدُونِ الثَّلَاثِ وَهِيَ مَظْلُومَةٌ فِى الْقَسَمِ فَإِنَّهُ
يَصِحُّ (إبراهيم البيجوري، حاشية الشيخ إبراهيم البيجوري، بيروت-دار الكتب
العلمية، الطبعة الثانية، 1420هـ/1999م، ج، 2، ص. 188(
“Syarat-syarat seorang suami adalah harus
halal, maka tidak sah pernikahan mahram (orang yang diharamkan untuk dinikahi)
meskipun dengan wakilnya, harus dalam keadaan bisa memilih atau dengan kemauan
sendiri (mukhtar) maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa dengan tanpa
alasan yang benar (haq) berbeda jika dipaksa karena ada alasan yang benar.
Seperti jika ia dipaksa untuk menikahi kembali istrinya yang ia talak
dengan talak bain yang bukan talak tiga (bain shugra) sedang si isteri tersebut
dizalimi oleh dia dalam hal gilirannya, maka pemaksaan itu sah” (Ibrahim
al-Baijuri, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Bairut-Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, 1420 H/1999 M, juz, 2, h. 188).
Jika kita mengikuti pandangan di atas maka
tindakan yang dilakukan warga dengan memaksa dengan ancaman kekerasan kepada
pihak lelaki untuk menikahi perempuan tersebut tidak bisa dibenarkan. Namun
jika ternyata ada indikasi yang akan menikahi itu memiliki hak-hak memilih atau
atas kemauan dan kerelaan maka pernikahan tersebut sah.
Memang apa yang dilakukan mereka berdua jelas
tidak bisa diterima. Sebab, dalam pandangan Islam berduaan (laki-laki dan
perempuan yang bukan mahromnya) adalah tidak dibenarkan. Namun tindakan main
hakim sendiri dengan berame-rame memukuli si lelaki tersebut dan memaksa untuk
menikahi si janda juga tidak dengan serta merta dapat dibenarkan. Karena
melanggar prinsip kerelaan dari kedua belah pihak.
Senada dengan hal di atas adalah apa yang
telah diputuskan Nahdlatu Ulama sendiri pada Muktamar ke-10 di Surakarta
tanggal 10 Muharram 1354 H/April 1935 M tentang tentang nikah yang dipaksa
polisi karena berbuat zina. Status hukum kasus ini adalah tidak sah, apabila
pemaksaannya memenuhi syarat, menurut ahli fiqh, atau diperintah hakim.
Argumentasi yang melatar-belakangi keputusan
Muktamar tersebut adalah syarat sahya nikah harus dengan kemauan si calon
suami. Salah satu rujukan yang diajukan untuk mendukung keputusan ini adalah
keterangan yang terdapat dalam kitab Tanwir al-Qulub:
وَأَنْ
يَكُونَ مُخْتَارًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مُكْرَهٍ
“Dan si calon suami harus dalam keadaan bisa
memilih. Maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa”. (Untuk lebih jelasnya
lihat Ahkam al-Fuqaha` fi Muqarrati Mu’tamarati Nahdlatil ‘Ulama`,
Indonesia-Lajnah Ta’lif Wan Nasyr-Khalista, 2011 M, h. 170).
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Saran kami, jangan menyelesaikan segala persoalan dengan cara-cara
kekerasan, jangan suka main hakim sendiri. Sebab, hal itu juga sama dengan
melanggar hukum itu sendiri. Semoga membawa manfaat. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar