Waspadai
Paham Radikal
Oleh:
Azyumardi Azra
Bahwa
Indonesia sejak masa demokrasi 1998 yang penuh euforia keterbukaan dan
kebebasan telah menjadi ranah terbuka bagi berbagai jaringan transnasional
sulit dibantah. Jaringan narkoba internasional, kriminalitas lintas negara,
sampai paham dan gerakan transnasional keagamaan radikal bebas memasuki Tanah
Air.
Apakah
sikap radikal itu? Dalam berbagai kamus, "radikal" sebagai kata sifat
yang berarti "secara mencolok menyerukan atau meninggalkan cara biasa
untuk kemudian mengikuti paham serta cara revolusioner dan ekstrem guna
perubahan menyeluruh yang berdampak luas dan panjang". Sementara
radikalisme adalah ideologi yang memercayai perubahan menyeluruh hanya bisa
dilakukan dengan cara radikal, tidak dengan cara evolusioner dan damai.
Sikap
radikal dan ideologi radikalisme secara historis terkait awalnya dengan
politik, khususnya sayap kiri sejak masa Revolusi Perancis (1787-1789).
Pengertian ini terus berkembang sehingga mencakup tidak hanya radical left atau
radical right dalam politik, tetapi juga bidang keagamaan (religious radical).
Meski tidak baru, bahkan muncul lebih dulu daripada Revolusi Perancis,
radikalisme keagamaan menemukan kembali momentum sejak pertengahan 1980-an
ketika berbagai agama mengalami kebangkitan agama (religious revivalism)
menantang modernitas dan sekularisme.
Penyebaran
berbagai jaringan radikal dalam masa kontemporer jelas lebih cepat. Hal ini
dimungkinkan karena perjalanan antarnegara yang kian mudah dan murah, dan lebih
lagi karena informasi dan komunikasi instan melalui dunia maya atau internet,
telepon genggam, dan televisi.
Dalam
beberapa hari belakangan terjadi perdebatan tentang situs radikal yang diblokir
Kementerian Komunikasi dan Informatika. Semula jumlahnya 22 situs, tetapi
kemudian menjadi 19 situs. Situs-situs itu dianggap mengandung gagasan dan
paham radikal, khususnya terkait Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang
dapat berdampak negatif terhadap kehidupan keagamaan dan kebangsaan.
Sementara
aktivis dari beberapa ormas atau lembaga Islam mengklaim, pemblokiran itu
merupakan pemberangusan situs-situs Islam atau bahkan Islam. Klaim yang
merupakan generalisasi ini perlu dicermati karena secara tersirat dapat
menampilkan sikap simpati atau condoning (merestui) situs-situs yang mengandung
gagasan, paham, dan praksis radikal.
Klaim
seperti itu disebut Akil N Awan (2015), guru besar kekerasan politik dan
terorisme Royal Holloway Universitas London, sebagai terkait "narasi umat
yang terkepung (besieged ummah)". Dalam kerangka ini, gerakan dan praksis
radikal yang muncul dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan asing
yang "berkonspirasi" menghancurkan Islam dan umatnya.
Pertimbangan
ahli agama
Berbagai
kajian (Awan, 2015; Barton, 2015; Bagci, 2015) memperlihatkan, NIIS sangat
mahir menggunakan dunia maya untuk rekrutmen pendukung dan radikalisasi diri
(self radicalization). Karena itu, situs-situs berbahasa Indonesia yang secara
eksplisit atau implisit memperlihatkan dukungan kepada NIIS atau paham dan
gerakan radikal lain juga potensial menjadi lokus rekrutmen dan radikalisasi.
Karena itu, cukup beralasan jika situs-situs semacam itu diblokir.
Namun,
pemblokiran itu patut mempertimbangkan penilaian ahli agama atau ulama yang
memahami berbagai aspek substansi pemikiran dan gerakan Islam. Pemblokiran
tidak patut dilakukan hanya dengan "kata kunci" tertentu semacam
"NIIS" atau "radikal", yang hasilnya secara gebyah-uyah
memblokir semua situs yang mengandung istilah atau kata kunci tersebut.
Seberapa
besar bahaya paham radikal di Indonesia? Radikalisme terkait Islam di Indonesia
punya akar cukup panjang; pertama kali muncul lewat gerakan Padri di Sumatera
Barat sejak perempatan terakhir abad ke-18 yang berpuncak dengan Perang Padri
melawan Belanda (1821-1837).
Bermula
dengan upaya evolusioner dan damai di kalangan pengikut Tarekat Syattariyah
untuk lebih setia pada syari'ah dan fiqh, gerakan ini berubah radikal ketika
sebagian pendukung pembaruan mengadopsi paham dan praksis ala Wahabi di Arab
pada awal abad ke-19 yang dengan kekerasan dan revolusioner menolak kompromi
Islam dengan adat Minangkabau. Pasca Perang Padri, tidak pernah ada lagi
gerakan radikal dalam skala sama.
Tradisi
Islam Wasatiyah yang merupakan paradigma dan praksis dominan di Indonesia tidak
bisa diubah dengan paham dan praksis keagamaan radikal semacam gerakan Padri.
Pembaruan Islam Indonesia hanya bisa terjadi melalui evolusi dan secara damai
yang hasilnya tidak lain merupakan penguatan Islam Wasatiyah.
Berkaca
dari kegagalan gerakan Padri, tidak mengherankan jika di tengah meningkatnya
penyebaran paham radikal dalam dua dasawarsa terakhir, paradigma dan praksis
Islam Wasatiyah Indonesia tidak tergoyahkan. Berkat ormas-ormas Wasatiyah,
Indonesia bukan lahan yang subur bagi paham dan praksis radikal.
Ormas
Islam Wasatiyah Indonesia telah berulang kali menegaskan, pemahaman dan praksis
radikal NIIS menyimpang dari ajaran Islam rahmatan lil 'alamin. Selain itu,
entitas khilafah NIIS juga bertentangan dengan NKRI, Pancasila, dan Bhinneka
Tunggal Ika yang telah menjadi komitmen final umat Islam Indonesia. Berbagai
upaya perlu secara komprehensif dilakukan sejak dalam keluarga, pertetanggaan,
lembaga pendidikan, sampai lingkungan lebih luas, termasuk dunia maya. Tak
kurang pentingnya peran negara yang dengan otoritasnya semestinya mencegah
penyebaran paham radikal. []
KOMPAS, 7
April 2015
Azyumardi
Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan
AIPI dan Council on Faith, World Economic Forum, Davos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar