Kamis, 09 April 2015

Azyumardi: Waspadai Paham Radikal



Waspadai Paham Radikal
Oleh: Azyumardi Azra

Bahwa Indonesia sejak masa demokrasi 1998 yang penuh euforia keterbukaan dan kebebasan telah menjadi ranah terbuka bagi berbagai jaringan transnasional sulit dibantah. Jaringan narkoba internasional, kriminalitas lintas negara, sampai paham dan gerakan transnasional keagamaan radikal bebas memasuki Tanah Air.

Apakah sikap radikal itu? Dalam berbagai kamus, "radikal" sebagai kata sifat yang berarti "secara mencolok menyerukan atau meninggalkan cara biasa untuk kemudian mengikuti paham serta cara revolusioner dan ekstrem guna perubahan menyeluruh yang berdampak luas dan panjang". Sementara radikalisme adalah ideologi yang memercayai perubahan menyeluruh hanya bisa dilakukan dengan cara radikal, tidak dengan cara evolusioner dan damai.

Sikap radikal dan ideologi radikalisme secara historis terkait awalnya dengan politik, khususnya sayap kiri sejak masa Revolusi Perancis (1787-1789). Pengertian ini terus berkembang sehingga mencakup tidak hanya radical left atau radical right dalam politik, tetapi juga bidang keagamaan (religious radical). Meski tidak baru, bahkan muncul lebih dulu daripada Revolusi Perancis, radikalisme keagamaan menemukan kembali momentum sejak pertengahan 1980-an ketika berbagai agama mengalami kebangkitan agama (religious revivalism) menantang modernitas dan sekularisme.

Penyebaran berbagai jaringan radikal dalam masa kontemporer jelas lebih cepat. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan antarnegara yang kian mudah dan murah, dan lebih lagi karena informasi dan komunikasi instan melalui dunia maya atau internet, telepon genggam, dan televisi.

Dalam beberapa hari belakangan terjadi perdebatan tentang situs radikal yang diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika. Semula jumlahnya 22 situs, tetapi kemudian menjadi 19 situs. Situs-situs itu dianggap mengandung gagasan dan paham radikal, khususnya terkait Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang dapat berdampak negatif terhadap kehidupan keagamaan dan kebangsaan.

Sementara aktivis dari beberapa ormas atau lembaga Islam mengklaim, pemblokiran itu merupakan pemberangusan situs-situs Islam atau bahkan Islam. Klaim yang merupakan generalisasi ini perlu dicermati karena secara tersirat dapat menampilkan sikap simpati atau condoning (merestui) situs-situs yang mengandung gagasan, paham, dan praksis radikal.

Klaim seperti itu disebut Akil N Awan (2015), guru besar kekerasan politik dan terorisme Royal Holloway Universitas London, sebagai terkait "narasi umat yang terkepung (besieged ummah)". Dalam kerangka ini, gerakan dan praksis radikal yang muncul dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuatan asing yang "berkonspirasi" menghancurkan Islam dan umatnya.

Pertimbangan ahli agama

Berbagai kajian (Awan, 2015; Barton, 2015; Bagci, 2015) memperlihatkan, NIIS sangat mahir menggunakan dunia maya untuk rekrutmen pendukung dan radikalisasi diri (self radicalization). Karena itu, situs-situs berbahasa Indonesia yang secara eksplisit atau implisit memperlihatkan dukungan kepada NIIS atau paham dan gerakan radikal lain juga potensial menjadi lokus rekrutmen dan radikalisasi. Karena itu, cukup beralasan jika situs-situs semacam itu diblokir.

Namun, pemblokiran itu patut mempertimbangkan penilaian ahli agama atau ulama yang memahami berbagai aspek substansi pemikiran dan gerakan Islam. Pemblokiran tidak patut dilakukan hanya dengan "kata kunci" tertentu semacam "NIIS" atau "radikal", yang hasilnya secara gebyah-uyah memblokir semua situs yang mengandung istilah atau kata kunci tersebut.

Seberapa besar bahaya paham radikal di Indonesia? Radikalisme terkait Islam di Indonesia punya akar cukup panjang; pertama kali muncul lewat gerakan Padri di Sumatera Barat sejak perempatan terakhir abad ke-18 yang berpuncak dengan Perang Padri melawan Belanda (1821-1837).

Bermula dengan upaya evolusioner dan damai di kalangan pengikut Tarekat Syattariyah untuk lebih setia pada syari'ah dan fiqh, gerakan ini berubah radikal ketika sebagian pendukung pembaruan mengadopsi paham dan praksis ala Wahabi di Arab pada awal abad ke-19 yang dengan kekerasan dan revolusioner menolak kompromi Islam dengan adat Minangkabau. Pasca Perang Padri, tidak pernah ada lagi gerakan radikal dalam skala sama.

Tradisi Islam Wasatiyah yang merupakan paradigma dan praksis dominan di Indonesia tidak bisa diubah dengan paham dan praksis keagamaan radikal semacam gerakan Padri. Pembaruan Islam Indonesia hanya bisa terjadi melalui evolusi dan secara damai yang hasilnya tidak lain merupakan penguatan Islam Wasatiyah.

Berkaca dari kegagalan gerakan Padri, tidak mengherankan jika di tengah meningkatnya penyebaran paham radikal dalam dua dasawarsa terakhir, paradigma dan praksis Islam Wasatiyah Indonesia tidak tergoyahkan. Berkat ormas-ormas Wasatiyah, Indonesia bukan lahan yang subur bagi paham dan praksis radikal.

Ormas Islam Wasatiyah Indonesia telah berulang kali menegaskan, pemahaman dan praksis radikal NIIS menyimpang dari ajaran Islam rahmatan lil 'alamin. Selain itu, entitas khilafah NIIS juga bertentangan dengan NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi komitmen final umat Islam Indonesia. Berbagai upaya perlu secara komprehensif dilakukan sejak dalam keluarga, pertetanggaan, lembaga pendidikan, sampai lingkungan lebih luas, termasuk dunia maya. Tak kurang pentingnya peran negara yang dengan otoritasnya semestinya mencegah penyebaran paham radikal. []

KOMPAS, 7 April 2015
Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI dan Council on Faith, World Economic Forum, Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar