Li-Annaka
Taísyu Abada
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sejak saya mendengar kata
“Juguran” dari lingkaran para Ksatria di arah yang terlintasi setiap kali saya
berdiri Takbiratul-ihram menghadap Allah, hingga saat saya menulis ini, tidak
pernah berubah pemandangan di angkasa batin saya — juga tidak pernah mau
perduli apa makna asli budayanya di kampong halaman kosa-kata itu.
Yakni
Rasulullah saw sedang terbang memanggul cahaya sebesar gunung, melintas-lintas
dari planet ke planet di beribu-ribu galaksi. Gunung cahaya di punggung beliau
itu memancar dan berpendar-pendar, sambil sebagian dari muatan-muatan yang
bermacam-macam wujudnya, yang berasal dari kedalaman cahaya itu menabur-nabur
seakan tak sengaja, menciprat, terlempar, berguguran, atau apapun namanya
karena tidak ada kata yang bias menggambarkan peristiwa dhahiriyah maupun
ruhiyahnya.
Mungkin
ada kata ‘prithil’ atau ‘gempil’dan sejumlah kata lagi yang bisa dipakai untuk
menambah kelengkapan dan kedekatan terhadap yang saya saksikan. Memori dan
saraf pemahaman di susunan akal saya tidak pernah mau mengubah pemahamannya
atau taat kepada epistimologi orisinal budayanya dari mana kata itu berasal.
Selalu saja kapan saya membaca atau mendengar kata “Juguran Syafaat” assosiasi
saya adalah “Prithilan Syafaat”atau “Gempilan Syafaat”.
Dan
sebagai warga Peradaban Maiyah saya tidak mau memperdebatkannya dengan akal
saya sendiri, terlebih lagi dengan siapapun di luar diri saya. Pertama, karena
“al-Haqq”, kebenaran, kasunyatan, tidak bertempat tinggal di kata. Kedua, “wa
állama Adama al-asma-a kullaha” terutama bukanlah piwulang Allah kepada
Khalifah Pertama tentang kosa-kata, melainkan idiomatik, terminologi,
penunjukan-penunjukan suatu pusaran gejala dan peristiwa.
Adam
adalah hibrida baru yang berkwalitas “ahsanu taqwim”. Bukan manusia “purba”
yang perlu diajari ini batu itu angin, sebab kelak setiap kosa-kata lahir dari
komunitas-komunitas manusia sebagai simpul bunyi yang berisi perjanjian untuk
penyeragaman sebutan atas sesuatu hal. Allah tidak perlu mengajari langsung di
tataran itu. Yang diajarkan Allah kepada Adam adalah piweling bahwa nanti anak
cucu Adam akan menjumpai dan mengalami titik-titik koordinat peristiwa,
lipatan, pusaran dan kisaran, silang saling silang, bahkan gumpalan maupun
ketersembunyian kebenaran-kebenaran yang untuk itu Khalifah disangoni al-áql,
mesin berpikir, mesin peneliti, mesin detailing tartiling, sebab setiap ia dan
semua mereka harus terus menerus berperang melawan ketidak-mengertian dirinya
sendiri, kebodohan dan kelalaian. Apalagi ummat manusia akan harus mengalami
suatu zaman di mana orang yang tidak memenuhi syarat sebagai Khalifah-standard
saja pun bisa oleh system kedunguan massal dijunjung dan dijumenengkan menjadi
Panglima Khalifah.
Di tengah
zaman yang sangat memilukan dan memalukan itu, Rasulullah saw menyelamatkan
siapa saja yang mencintainya, dengan cara didistribusi taburan Syafaat-syafaat,
bahkan secara setengah sengaja Gunung Cahaya yang dipanggul itu oleh beliau
dibiarkan “jugur”, “lugur”, “prithil”, “gempil”, menimpa para kekasih menjadi
rahmat Allah dalam kehidupan mereka.
Maka
qabilah Juguran Syafaat, andaikanpun Maiyah tak pernah bersentuhan dengan
mereka, tetap juga karena dinamika “suluk” mereka: juguran syafaat itu mereka
peroleh dari lalulintas beterbangannya Rasulullah saw mendistribusikan
limpahan-limpahan Gunung Cahaya.
Itu
menyebabkan saya membiarkan diri “gedhe rumongso” mengaku-ngaku mereka sebagai
anak saya, di dalam pesawat rohaniyah kegembiraan dan kebanggaan hidup saya
dalam penugasan yang ini. Anak-anakku itu terampil dan prigel mengolah Bumi,
untuk diakhiratkan. Anak-anakku itu canggih dan tekun mengelola materi dan
materialitas tidak menjadi materialisme dan tanpa pernah menjadi materialistis.
Anak-anakku
yang dilimpahi juguran syafaat oleh Kanjeng Nabi itu sangat memiliki
kewaspadaan intelektual dan spiritual untuk tidak menjalani kehidupan ini
dengan adrenalis keserakahan mencari laba-laba sebanyak-banyaknya karena
beranggapan seolah-olah mereka akan hidup selama-lamanya. Kemudian mengakali
dan mengeliminir kerakusannya itu dengan kerajinan ibadah yang dilokalisir dan
dimanipulir sebagai satu-satunya tindakan yang bermakna akhirat.
Tidak.
Anak-anakku Juguran Syafaat mengolah bumi, bekerja keras, mengendalikan materi,
untuk justru diakhiratkan, ditemukan makna keabadiannya, ditarikati akurasi
keakhiratannya. Anak-anakku Juguran Syafaat menggenggam batu, kayu, logam,
lembaran-lembaran dan cairan-cairan, tidak untuk mendirikan Monumen Bumi,
melainkan dirohanikan menjadi Kesejatian Sorga. Sebab mereka bukan sekedar
“ka-annaka taísyu abadan”, seakan-akan hidup selama-lamanya, melainkan
“li-annaka taísyu abadan” — karena memang engkau hidup hingga abadi, karena
ujung perjalananmu adalah menyatu dengan dan kepada Allah, bahkan meniada
“menjadi” Allah, karena engkau dan kita semua tidaklah sesungguh-sungguhnya
ada. Dan Allah itu abadi. Siapakah selain Allah yang pasti abadi? []
Mbah Nun
11 April
2015
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar