Sibuk Berpolitik, Gagal Bina Sipir Lapas
Oleh: Bambang Soesatyo
Kementerian Hukum dan HAM gagal total membina dan
menyiapkan para sipir lembaga pemasyarakatan (lapas) untuk memerangi narkotika
dan obat-obatan berbahaya (narkoba).
Dari modusnya, tidak ada cerita baru pada kasus bandar narkoba, Freddy Budiman, dan kasus sipir Lapas Narkotika Cipinang berinisial IT, 52. Ulah Freddy dan IT adalah pengulangan dari begitu banyak kasus serupa yang melibatkan bandar narkoba dan sipir lapas lainnya pada tahun-tahun terdahulu. Modusnya klasik dan mudah dipahami.
Kalau si bandar besar sudah mendekam di balik sel penjara, dia tetap bisa menjalankan roda bisnis haramnya kalau sang Bandar mendapatkan akses berkomunikasi dengan dunia di luar lapas. Namanya bandar besar, dia pasti punya jaringan luas. Apalagi kalau bisnisnya berskala internasional. Orang awam pun paham soal ini.
Para pejabat negara yang bertugas mengelola lapas jangan purapura tidak paham soal ini. Untuk bisa berkomunikasi dengan dunia di luar penjara, sang bandar butuh alat komunikasi. Alat ini sekarang mudah diperoleh dan diselundupkan ke sel-sel penjara. Siapa yang bisa menyelundupkan telepon genggam (seluler) ke sel penjara? Siapa lagi kalau bukan sipir penjara.
Atas jasanya membantu sang bandar besar itu, si oknum sipir diberi upah. Ketika sang bandar mulai percaya pada oknum sipir itu, penugasannya pun ditingkatkan menjadi perantara antara sang bandar dan anggota jaringan hingga menjadi kurir pembawa barang haram itu. Tentu saja upah untuk oknum sipir diperbesar. Selain penugasan, si oknum sipir pun bersedia menjadi pelayan sang bandar.
Semua permintaan dan kebutuhannya sebisa mungkin dipenuhi. Jangan heran jika di Lapas Nusakambangan yang pengamanannya ekstraketat, Freddy tak hanya leluasa menggunakan telepon seluler, tetapi juga mendapatkan ruang tahanan dengan fasilitas kamar hotel.
Modus seperti itulah yang melibatkan begitu banyak sipir lapas dalam kasus narkoba sejak awal 2000-an. Pada 2006/ 2007 tak kurang dari 170 sipir pada 531 rumah tahanan negara (rutan) dan lapas se-Indonesia terlibat kasus narkoba. Kasus yang menyita perhatian publik adalah keterlibatan Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli.
Pada Maret 2011 Marwan Adli bersama Kepala Pengamanan Lapas Iwan Syaefuddin dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Lapas Fob Budhiyono diringkus Satgas BNN karena terlibat jaringan pengedar narkoba kelas atas. Kepada pemeriksa, Marwan Adli mengaku menerima uang dari bandar narkoba. Dana narkoba itu diterima melalui rekening anak dan cucunya.
Freddy Budiman dan oknum sipir IT mengulang modus yang sama. Freddy, terpidana mati, masih bisa mengendalikan bisnis narkotika dari penjara Nusakambangan karena para oknum sipir lapas memberinya akses berkomunikasi. Berkat akses komunikasi itulah Freddy bisa melakukan transaksi impor 50.000 butir ekstasi dari Belanda, 800 gram sabu dari Pakistan, dan 122 lembar narkotika jenis DOC dari Belgia.
Polisi sudah menduga oknum sipir IT sebagai anggota jaringan narkoba Freddy Budiman. Seperti kasus yang melibatkan Marwan Adli sebagai kepala Lapas Nusakambangan, sudah bisa dipastikan bahwa IT pun tidak sendirian. Dia pasti dibantu oknum sipir lainnya. IT sipir di Lapas Narkotika Cipinang, sementara terpidana mati Freddy sudah mendekam di Nusakambangan.
Syukurlah, karena polisi mencurigai keterlibatan dua
sipir di Lapas Nusakambangan ikut membantu Freddy menjalankan bisnis haramnya
itu. Tiga oknum sipir itu menyediakan alat komunikasi untuk Freddy serta
mengeluarkan barang haram itu dari lapas. Seperti diketahui, Pengadilan Negeri
Jakarta Barat memvonis mati Freddy Budiman karena terbukti memiliki satu peti
kemas yang memuat 1,4 juta pil ekstasi yang diimpor dari China.
Efek Jera
Pertanyaannya, mengapa penyimpangan perilaku oknum sipir dalam kasus dengan modus yang sama bisa berulang-ulang selama lebih dari 10 tahun terakhir ini? Kalau jajaran Kemenkumham juga bersepakat bahwa peredaran narkoba di dalam negeri sudah berstatus kejahatan luar biasa yang mengancam ketahanan nasional, harus ada upaya maksimal dan sungguhsungguh dari semua jajaran Kemenkumham untuk mencegah kejahatan serupa terulang di lingkungan lapas maupun rutan.
Sudah lama dan berulangkali diingatkan bahwa petugas lapas berpotensi menjadi salah satu titik lemah dalam perang melawan sindikat atau mafia narkoba internasional. Kemenkumham pun diimbau segera memperbaiki titik lemah itu. Namun, kalau kecenderungannya tidak juga berubah, itu menjadi bukti bahwa Kemenkumham tidak ingin bersungguhsungguh memperbaiki kelemahan itu.
Pada kasus Freddy dan IT, publik bisa melihat bahwa Kemenkumham belum melakukan peningkatan standar pengamanan terhadap para terpidana narkoba. Juga belum menerapkan sanksi maksimal terhadap oknum sipir yang pernah terlibat kasus serupa. Akibatnya, tidak segera tumbuh efek jera di kalangan sipir lapas.
Karena itu, tidak mengherankan jika oknum sipir IT dan rekan-rekannya masih berani menjalin kerja sama dengan bandar narkoba sekaliber Freddy Budiman. Jelas bahwa Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly tidak mau belajar dari rangkaian kasus terdahulu. Padahal, Yasonna yakin bahwa peredaran narkoba di dalam lapas melibatkan oknum sipir.
Kalau sudah yakin seperti itu, Yasonna dan jajaran Kemenkumham seharusnya sudah merancang tindakan preventif agar kasus serupa tidak berulang. Bukan sekadar berkomentar ketika peristiwa penyimpangan perilaku oknum sipir sudah terjadi.
Beberapa sipir lapas di sejumlah daerah pernah mengaku bahwa penyimpangan perilaku itu bukan hanya berorientasi pada uang suap dari bandar narkoba, melainkan perasaan takut karena diancam anggota jaringan mafia narkoba yang berada di luar penjara. Konon, ancamannya tidak main-main.
Mafia narkoba akan membunuh keluarga sipir lapas jika mereka tidak mau bekerja sama. Kemenkumham tentu perlu menyelidiki perihal ancaman ini. Kalau benar ancaman itu ada, tentu harus direspons dengan taktis. Jangan biarkan para sipir lapas bekerja di bawah ancaman. Tapi, perilaku para sipir lapas tetap harus dikoreksi.
Ancaman itu bisa ada karena para sipir memberi akses kepada terpidana narkoba untuk berkomunikasi dengan anggota jaringannya. Kalau akses komunikasi para terpidana narkoba ditutup rapat-rapat, mereka dan anggota jaringannya tidak akan mampu menebar ancaman itu.
Memang, mengurung para terpidana sekaliber bandar
narkoba, dibutuhkan ketaatan mutlak pada disiplin pengamanan dan soliditas
korps. Asumsikan saja bahwa yang dikurung itu bos mafia. Kalau disiplin
dilanggar dan para sipir lapas tidak kompak, kemungkinan ancaman itu selalu
saja ada.
Untuk memperkecil terulangnya kejahatan serupa, pemenjaraan atau pengurungan para bandar narkoba harus mencapai skala maksimum dan ekstraketat. Kemungkinan bagi terpidana narkoba mengenal, bersinggungan, atau berkomunikasi langsung dengan para sipir harus benar-benar dibatasi.
Para sipir yang membina, mengawasi, dan melayani mereka hendaknya punya integritas dan moral yang teruji. Jangan lupa bahwa terpidana narkoba itu punya uang sangat banyak dan punya anggota jaringan. Sekali si terpidana bisa berkomunikasi dengan anggota jaringannya, bobolnya sistem pengamanan lapas hanya soal waktu.
Selain pengurungan berskala maksimum, para bandar narkoba yang sudah berstatus terpidana mati hendaknya segera dieksekusi. Rentang waktu menunggu eksekusi yang terlalu lama sudah terbukti bisa melahirkan ekses seperti yang diperlihatkan Freddy Budiman.
Masih ada 66 terpidana mati dalam kasus narkoba. Kalau semua masih bisa menjalankan bisnisnya seperti Freddy, Indonesia bisa kebanjiran barang haram itu. []
Koran SINDO, 20 April 2015
Bambang Soesatyo, Sekretaris Fraksi Partai Golkar/
Anggota Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar