Rahwana Mencaplok Tembakau
Oleh: Mohamad Sobary
Dalam epos Ramayana digambarkan dengan jelas bahwa perang besar menjadi sarana membasmi sifat angkara murka di bumi.
Rahwana, atau Dasamuka, merupakan wujud, tapi juga simbol watak angkara itu. Dia menjadi raja di Alengka dengan bengis. Ketika menculik Dewi Shinta, istri Batara Rama, banyak pihak di dalam istana yang mengingatkan agar Shinta dikembalikan baik-baik dan sebagai gantinya hidup bersahabat dengan Raja Rama.
Adiknya sendiri, Pangeran Gunawan Wibisana, membujuk dan meyakinkan bahwa Rama tidak akan marah. Sebaliknya, Rama pasti bersedia menjalin persahabatan dengan damai karena Rama itu titisan Dewa Wisnu, pemelihara alam semesta yang penuh sifat damai.
Tapi, bujukan ini bukan hanya tak didengar, Rahwana marah besar. Adiknya itu bahkan dihajar sampai pingsan di sidang agung. Lama dia tidak siuman. Rahwana tak mau melihat adiknya, yang dianggap pengecut, pengkhianat, dan membela musuh, sambil memperlemah jiwa abangnya, yang juga rajanya sendiri. Tubuh itu dibuang ke laut.
Sampai di sini saja kisah pangeran Wibisana, orang bijaksana, yang disebut satria berjiwa pandita, yang dibuang dari negerinya sendiri. Selain Wibisana, Patih Prahasta, pamannya sendiri pula, yang tetap mengingatkan kejahatan sang raja demi cintanya pada negara maupun pada sang raja sendiri. Tapi, Rahwana tak mau mendengar imbauan pamannya.
Dia juga marah dan pamannya dibentak-bentak, dianggap pemalas, pembela Wibisana yang licik dan tak berguna, dan disuruh diam. Bila raja tak bertanya lagi, lebih baik patih itu diam. Sang patih diam dengan rasa prihatin yang mendalam. Kombakarna, adiknya yang lain, yang berwujud raksasa, lurus hatinya, dan dikenal sebagai raksasa berjiwa brahmana, juga dimaki-maki. Kombakarna diam saja.
Kemudian dia menyingkir dari percaturan dunia politik istana. Dia pergi bertapa yaitu bertapa sambil tidur dan tak bakal bangun kalau tidak ada suatu kepentingan besar menyangkut keselamatan negara. Dia pun tidur tanpa terusik sama sekali, bagaikan sebuah tidur abadi.
***
Tanpa kontrol, tanpa imbangan suara moral,
kebijakan Rahwana mutlak berisi kekejaman dan segenap
kekerasan di muka bumi. Raja-raja negara sahabat, yang dekat
sudah ditaklukkan dengan kekerasan dan pembunuhan. Raja-raja
yang jauh letaknya dari Alengka, cemas, khawatir, dan takut bila
suatu saat disergap dengan kekuatan militer dari Alengka. Perang
melawan Rahwana selalu porak-poranda.
Dia selalu berperang di negeri orang. Kehancuran ada di pihak negeri yang diserang, andaikata Rahwana kalah sekalipun. Negerinya, seluruh rakyatnya, dan segenap kekayaan negara, aman. Raja kolonialis dan imperialis, atau agresor, yang kejam ini mengerikan sekali. Dia menjadi simbol kekuatan adidaya, keserakahan, dan sikap adigang adigung adiguna yang merasa tak punya tandingan.
Dia selalu berperang di negeri orang. Kehancuran ada di pihak negeri yang diserang, andaikata Rahwana kalah sekalipun. Negerinya, seluruh rakyatnya, dan segenap kekayaan negara, aman. Raja kolonialis dan imperialis, atau agresor, yang kejam ini mengerikan sekali. Dia menjadi simbol kekuatan adidaya, keserakahan, dan sikap adigang adigung adiguna yang merasa tak punya tandingan.
Memang tidak ada manusia, atau raksasa, bahkan dewa,
yang bisa mengalahkannya. Apakah dia dengan begitu tak
terkalahkan? O, bukan. Bukan begitu. Dewa telah menggariskan, dia
bakal kalah oleh hewan. Wujudnyakeraputih, namanyaAnoman. Dasamuka
yang tak bisa mati itu, jadi tak bisa dibunuh, tapi dikalahkan
Anoman dengan akal cerdik: penjahat itu dihimpit dua gunung.
Dengan begitu, dia sebetulnya tak pernah mati. Ini lambang bahwa kejahatan, juga kejahatan besar yang memorak- porandakan dunia, tak pernah mati. Politik jahat selalu muncul, sebagai simbol kebangkitan Rahwana di dunia modern ini. Sekarang Rahwana mengincar tembakau. Berbagai cara ditempuh. Cara kemanusiaan yang kelihatan anggun, cara politik yang kelihatan bersahabat, dan kemudian cara moral keagamaan, seolah-olah dia peduli akan urusan moral, semua ditempuh, tapi belum membawa hasil.
Kemudian cara adu domba di mana-mana. Kelihatannya strategi ini bisa berjalan sesuai keinginannya. Adu domba? Ya, meskipun mungkin tak setajam itu rumusan persoalannya. Yang dilakukan sebenarnya ialah menyebar duit ke mana-mana. Ini kebijakan murah hati, yang bisa saja disebut menggalakkan dunia ilmu, atau mengembangkan kehidupan ilmiah. Banyak pihak yang siap berpartisipasi.
Banyak pihak siap menjadi partner Rahwana di bidang ilmiah, atau yang kelihatannya ilmiah ini. Duit, dari mana pun datangnya, bagi sebagian orang ya duit. Duit asing ya duit. Ada kepentingan asing di belakangnya ya tetap duit. Pendeknya, duit negeri Alengka, duit Rahwana, juga duit. Tak mengherankan banyak pihak berbondong bondong menerima limpahan rezeki Alengka ini.
Kepentingan negeri sendiri? Ah, persetan. Peran golongan intelektual, yang harus membela kepentingan yang lemah, membela kepentingan bangsa, yang terancam terjajah? Tak usah dirisaukan. Peran kaum intelektual bisa dilupakan. Kapan lagi ada kesempatan empuk seperti ini. Di kalangan para penguasa, mulai dari penguasa gede sampai penguasa cilik, penguasa gurem, semua dijangkau kebijakan Alengka. Mungkin Rahwana tak turun sendiri secara langsung.
Dia punya aparat canggih. Punya intel, punya ilmuwan, punya birokrat, dan punya media. Pendeknya, Rahwana punya segalanya, kecuali kebaikan dan ketulusan hidup, yang bisa ditiru. Kalau bidang ini, Rahwana tidak punya secuil pun. Rahwana merasa, dunia ini ada di dalam genggamannya. Tak begitu mengherankan bila ibaratnya, kekayaan negeri Alengka lebih dari dua pertiga kekayaan dunia seluruhnya. Fantastik sekali. Tapi, ini bukan dongeng.
***
Rahwana merasa tak terkalahkan. Dia lupa lagi, Anoman,
kera putih, simbol kebaikan, yang selalu mewaspadai Rahwana, dan
siap membikin Rahwana terbirit-birit. Di mana Rahwana muncul, dan
membikin onar di muka bumi, Anoman muncul. Rahwana serakah,
memburu kepentingan hidupnya sendiri, tapi sebenarnya dia
prokematian. Dia siap bikin dunia ini hancur, asal dia tak ikut
dalam kehancuran itu. Anoman lain. Dia hidup, dan beramal, karena
dia prokehidupan.
Dia memelihara kehidupan ini sendiri. Rahwana bukan orang, bukan individu, melainkan sebuah lembaga. Anoman? Bisa saja dia diwakili orang per orang. Tapi, apa salahnya kalau Anoman juga diwakili sebuah lembaga, atau lembaga lembaga? Bisa saja Anoman itu para pembela tembakau yang lemah dan terbatas segalanya.
Bisa juga Anoman itu organisasi pembela tembakau, yang kemampuannya juga tidak luar biasa. Anoman, mengabdi hidup, pro kehidupan, demi kebajikan hidup. Tanaman tembakau, dagangan tembakau, tradisi di balik tembakau, dan segenap unsur kehidupan yang begitu menyenangkan di dunia pertanian tembakau, wajib dibela. Tugas pembelaan itu suci. Karena itu, harus strategis.
Generasi Anoman harus lahir dan dilahirkan kembali. Terus menerus tanpa henti. Terus menerus hadir, buat menghadapi Rahwana, agar tembakau kita selamat. Rencana dan langkah-langkah Rahwana boleh hadir. Tapi, Anoman bakal membungkamnya. []
Koran
SINDO, 13 April 2015
Mohamad Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar