Pemblokiran Situs Radikal
Oleh:
Ulil Abshar-Abdalla
Kebijakan
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, memblokir
situs-situs internet yang menyebarkan ideologi radikalisme keagamaan
menimbulkan pro dan kontra.
Saat saya menulis esai ini, sejumlah situs yang dikenal karena
isinya yang keras dan radikal, seperti arrahmah.com, tidak bisa lagi diakses. Konon ada 200-an
situs yang ditengarai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai penyebar
ideologi radikalisme dan jihadisme. Beberapa dari situs itu sudah tidak bisa
lagi dibuka oleh publik. Dengan kata lain, kebijakan pemblokiran sudah berjalan
saat ini.
Wacana pemblokiran itu sudah mengemuka di dalam diskusi publik
sejak lama. Tuntutan sejumlah kalangan dalam masyarakat untuk menutup
situs-situs radikal sudah lama kita dengar. Berdasarkan observasi saya, ada
sejumlah alasan yang muncul ke permukaan.
Ideologi radikal
Pertama, jelas, situs-situs ini menyebarkan ideologi keagamaan
yang radikal yang sama sekali jauh dari semangat Islam Indonesia yang moderat
dan toleran. Paham keagamaan yang radikal ini juga gampang melakukan pengafiran
(gejala yang kerap disebut sebagai takfiri) terhadap kelompok lain yang berbeda
pandangan.
Kedua, kelompok radikal ini kerap kali melakukan incitement atau
provokasi untuk bertindak kekerasan terhadap golongan lain, terutama kaum
minoritas. Pada kelompok yang sering disebut dengan jihadis, provokasi ini
tidak hanya diarahkan kepada golongan lain dalam masyarakat, tetapi juga
terhadap pemerintah.
Dalam wacana kaum jihadis, Pemerintah Indonesia dianggap sebagai
musuh Islam yang harus diperangi. Ini yang menjelaskan mengapa pihak kepolisian
selama ini menjadi sasaran kekerasan kelompok tersebut. Pemerintah, di mata
mereka, adalah semacam thaghut, representasi dari kekuatan jahat yang melawan
kebenaran Tuhan dan penerapan hukum Tuhan (tathbiq al-syari'ah).
Ketiga, ideologi radikalisme ini sangat menekankan ideologi jihad
(secara harfiah artinya adalah "perang suci"). Jika di mata mayoritas
umat Islam jihad tidak semata-mata dipandang sebagai "perang fisik",
tetapi perang spiritual untuk mencapai kesempurnaan dan penyucian diri (jihad
al-nafs), di mata kaum jihadis, jihad dimaknai sebagai perang dalam pengertian
serangan fisik atas orang atau obyek yang dianggap sebagai wakil dari kekuatan
anti Tuhan. Dengan demikian, pengertian jihad semacam ini bisa menimbulkan
potensi ancaman keamanan bagi negara. Sudah berkali-kali kita mengalami
kekerasan dengan dasar paham jihad seperti ini sejak tahun 2000-an.
Hal lain yang mencemaskan masyarakat adalah persebaran ideologi
radikal ini, terutama setelah munculnya isu Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) atau Daesh (istilah yang kerap dipakai di media Timur Tengah). Dengan
teknologi internet, radikalisme keagamaan mudah disebarkan melalui pelbagai
media sosial dan blog.
Walaupun sebagian besar umat Islam menolak ideologi NIIS sebagai
perversion atau penyimpangan pemahaman keagamaan, tak bisa kita mungkiri bahwa
sebagian kalangan anak muda bisa terjerembap dalam magnet ideologi ini.
Apalagi, anak-anak muda yang sedang "galau" secara keagamaan dan
ideologis: mereka bisa dengan mudah terpikat oleh daya tarik ideologi radikal
yang dikemas dengan bahasa agama (Islam) tersebut.
Harus hati-hati
Saya mendukung pemblokiran situs-situs radikal ini dengan sejumlah
catatan dan reserve. Paham mereka yang mengajarkan kekerasan, mudah menghakimi
kelompok lain yang berbeda (takfir), dan anti terhadap bentuk negara nasional
yang kita punyai saat ini (anti NKRI) jelas tak selaras dengan cita-cita kita
membangun sebuah negara yang melindungi semua golongan, tanpa suatu
diskriminasi.
Namun, kita juga harus hati-hati melihat masalah pemblokiran ini.
Kita bisa saja memberikan dukungan atas kebijakan itu, tetapi tetap dengan
sejumlah catatan kritis. Pemblokiran harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Wewenang pemblokiran, jika dilakukan tanpa suatu kontrol yang ketat, bisa
disalah-gunakan dan bisa diperluas sehingga menutup situs-situs yang sebetulnya
tidak layak diblokir.
Memberikan wewenang pemblokiran kepada instansi tertentu dalam
pemerintahan bisa menjadi "kuda troya" yang membuka ancaman terhadap
kebebasan berpendapat pada umumnya. Kita harus mencegah jangan sampai efek kuda
troya ini terjadi.
Saya ambil contoh kecil, yaitu pemblokiran situs-situs porno yang
dulu pernah dilakukan oleh Kominfo. Ini adalah kebijakan yang niscaya setelah
disahkannya UU Anti Pornografi No 44/2008. Artinya, kebijakan ini ada payung
hukumnya. Yang menarik, ada situs yang sama sekali tak ada kaitannya dengan
pornografi, tetapi diblokir dengan alasan pornografi. Inilah bentuk
penyalahgunaan wewenang pemblokiran yang seharusnya tak perlu terjadi. Saya
berharap gejala semacam ini tak terjadi dalam kasus pemblokiran situs radikal
saat ini.
Definisi radikal
Definisi "situs radikal" juga bukan hal yang mudah.
Bagaimana kita menggolongkan paham tertentu sebagai radikal atau tidak, bisa
membawa kita pada diskusi yang mungkin tak ada habis-habisnya. Istilah
"situs radikal" harus dimaknai secara terbatas dan sangat hati-hati.
Akhirnya, prinsip utama dalam demokrasi tetap tak boleh diabaikan:
semua pihak berhak menyampaikan pandangannya mengenai masalah apa saja,
termasuk masalah keagamaan. Ini bagian dari freedom of speech yang dijamin
konstitusi kita.
Namun, saya tahu, dalam kasus situs radikal ini, ada dilema antara
dua hal: menjaga kebebasan berbicara dan menjaga keamanan publik. Keduanya
merupakan imperatif yang tak bisa kita abaikan.
Tentu kita harus mencari keseimbangan di antara dua imperatif itu.
Meski, saya juga tahu, tak mudah mencapai titik keseimbangan semacam itu. []
KOMPAS, 9 April 2015
Ulil Abshar-Abdalla Cendekiawan Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar