Jumat, 10 April 2015

Ulil: Pemblokiran Situs Radikal



Pemblokiran Situs Radikal
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, memblokir situs-situs internet yang menyebarkan ideologi radikalisme keagamaan menimbulkan  pro dan kontra.

Saat saya menulis esai ini, sejumlah situs yang dikenal karena isinya yang keras dan radikal, seperti arrahmah.com, tidak bisa lagi diakses. Konon ada 200-an situs yang ditengarai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai penyebar ideologi radikalisme dan jihadisme. Beberapa dari situs itu sudah tidak bisa lagi dibuka oleh publik. Dengan kata lain, kebijakan pemblokiran sudah berjalan saat ini.
Wacana pemblokiran itu sudah mengemuka di dalam diskusi publik sejak lama. Tuntutan sejumlah kalangan dalam masyarakat untuk menutup situs-situs radikal sudah lama kita dengar. Berdasarkan observasi saya, ada sejumlah alasan yang muncul ke permukaan.

Ideologi radikal

Pertama, jelas, situs-situs ini menyebarkan ideologi keagamaan yang radikal yang sama sekali jauh dari semangat Islam Indonesia yang moderat dan toleran. Paham keagamaan yang radikal ini juga gampang melakukan pengafiran (gejala yang kerap disebut sebagai takfiri) terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan.

Kedua, kelompok radikal ini kerap kali melakukan incitement atau provokasi untuk bertindak kekerasan terhadap golongan lain, terutama kaum minoritas. Pada kelompok yang sering disebut dengan jihadis, provokasi ini tidak hanya diarahkan kepada golongan lain dalam masyarakat, tetapi juga terhadap pemerintah.

Dalam wacana kaum jihadis, Pemerintah Indonesia dianggap sebagai musuh Islam yang harus diperangi. Ini yang menjelaskan mengapa pihak kepolisian selama ini menjadi sasaran kekerasan kelompok tersebut. Pemerintah, di mata mereka, adalah semacam thaghut, representasi dari kekuatan jahat yang melawan kebenaran Tuhan dan penerapan hukum Tuhan (tathbiq al-syari'ah).

Ketiga, ideologi radikalisme ini sangat menekankan ideologi jihad (secara harfiah artinya adalah "perang suci"). Jika di mata mayoritas umat Islam jihad tidak semata-mata dipandang sebagai "perang fisik", tetapi perang spiritual untuk mencapai kesempurnaan dan penyucian diri (jihad al-nafs), di mata kaum jihadis, jihad dimaknai sebagai perang dalam pengertian serangan fisik atas orang atau obyek yang dianggap sebagai wakil dari kekuatan anti Tuhan. Dengan demikian, pengertian jihad semacam ini bisa menimbulkan potensi ancaman keamanan bagi negara. Sudah berkali-kali kita mengalami kekerasan dengan dasar paham jihad seperti ini sejak tahun 2000-an.

Hal lain yang mencemaskan masyarakat adalah persebaran ideologi radikal ini, terutama setelah munculnya isu Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Daesh (istilah yang kerap dipakai di media Timur Tengah). Dengan teknologi internet, radikalisme keagamaan mudah disebarkan melalui pelbagai media sosial dan blog.

Walaupun sebagian besar umat Islam menolak ideologi NIIS sebagai perversion atau penyimpangan pemahaman keagamaan, tak bisa kita mungkiri bahwa sebagian kalangan anak muda bisa terjerembap dalam magnet ideologi ini. Apalagi, anak-anak muda yang sedang "galau" secara keagamaan dan ideologis: mereka bisa dengan mudah terpikat oleh daya tarik ideologi radikal yang dikemas dengan bahasa agama (Islam) tersebut.

Harus hati-hati

Saya mendukung pemblokiran situs-situs radikal ini dengan sejumlah catatan dan reserve. Paham mereka yang mengajarkan kekerasan, mudah menghakimi kelompok lain yang berbeda (takfir), dan anti terhadap bentuk negara nasional yang kita punyai saat ini (anti NKRI) jelas tak selaras dengan cita-cita kita membangun sebuah negara yang melindungi semua golongan, tanpa suatu diskriminasi.

Namun, kita juga harus hati-hati melihat masalah pemblokiran ini. Kita bisa saja memberikan dukungan atas kebijakan itu, tetapi tetap dengan sejumlah catatan kritis. Pemblokiran harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Wewenang pemblokiran, jika dilakukan tanpa suatu kontrol yang ketat, bisa disalah-gunakan dan bisa diperluas sehingga menutup situs-situs yang sebetulnya tidak layak diblokir.
Memberikan wewenang pemblokiran kepada instansi tertentu dalam pemerintahan bisa menjadi "kuda troya" yang membuka ancaman terhadap kebebasan berpendapat pada umumnya. Kita harus mencegah jangan sampai efek kuda troya ini terjadi.

Saya ambil contoh kecil, yaitu pemblokiran situs-situs porno yang dulu pernah dilakukan oleh Kominfo. Ini adalah kebijakan yang niscaya setelah disahkannya UU Anti Pornografi No 44/2008. Artinya, kebijakan ini ada payung hukumnya. Yang menarik, ada situs yang sama sekali tak ada kaitannya dengan pornografi, tetapi diblokir dengan alasan pornografi. Inilah bentuk penyalahgunaan wewenang pemblokiran yang seharusnya tak perlu terjadi. Saya berharap gejala semacam ini tak terjadi dalam kasus pemblokiran situs radikal saat ini.

Definisi radikal

Definisi "situs radikal" juga bukan hal yang mudah. Bagaimana kita menggolongkan paham tertentu sebagai radikal atau tidak, bisa membawa kita pada diskusi yang mungkin tak ada habis-habisnya. Istilah "situs radikal" harus dimaknai secara terbatas dan sangat hati-hati.

Akhirnya, prinsip utama dalam demokrasi tetap tak boleh diabaikan: semua pihak berhak menyampaikan pandangannya mengenai masalah apa saja, termasuk masalah keagamaan. Ini bagian dari freedom of speech yang dijamin konstitusi kita.

Namun, saya tahu, dalam kasus situs radikal ini, ada dilema antara dua hal: menjaga kebebasan berbicara dan menjaga keamanan publik. Keduanya merupakan imperatif yang tak bisa kita abaikan.

Tentu kita harus mencari keseimbangan di antara dua imperatif itu. Meski, saya juga tahu, tak mudah mencapai titik keseimbangan semacam itu. []

KOMPAS, 9 April 2015
Ulil Abshar-Abdalla Cendekiawan Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar