Harlah NU di Tahun
1966
Peringatan hari ulang
tahun organisasi menjadi marak baik sebagai bentuk konsolidasi maupun unjuk
kekuatan dan sebagainya. Menariknya kemudian masing-masing membakukan istilah
sendiri-sendiri NU misalnya menggunakan istilah peringatan Hari Lahir disingkat
Harlah.
Istilah Harlah ini
menjadi trade mark dan identitas NU serta segenap organisasi turunannya,
Muslimat, Ansor, IPNU, PMII Fatayat dan sebagainya.
Kemudian PNI menggunakan Istilah Ultah, istilah ini digunakan oleh organisasi onderbow serta tokohnya seperti Ultah Bung Karno, Ultah PDI dan sebagainya. PKI menggunakan istilah HUT. Sementara Masyumi, organisasi Islam modernis serta organisasi organisasi turunannya atau berorientasi sama seperti GPI, HMI termasuk Muhammadiyah dengan segala variannya menggunakan istilah Milad.
Harlah NU yang sangat fenomenal adalah Harlah ke-40 yang diselenggarakan pada 31 Januari 1966 di Gelora Bung Karno yang dihadiri oleh ratusan ribu warga nahdliyin dari seluruh Indonesia. Walaupun stadion tidak muat sehingga hadirin tumpah-ruah di jalanan, tetapi suasana tetap tertib.
Padahal saat setelah peristiwa G30S-PKI, tidak ada lagi kekuatan besar yang mampu mengomando rakyat, tetapi NU bisa. Saat itu NU menjadi stabilisator keamanan negara paling utama, bersama tentara, karena PKI sudah tidak berdaya, PNI sudah tercerai berai, sementara Masyumi sudah lama mati.
Harlah ini diketuai oleh seniman besar H Djamaluddin Malik dan H. Usmar Ismail, sehingga suasana dramatis dan teatrikal tercipta, sehingga melahirkan asa baru di tengah keputusasaan sosial politik akibat tragedi yang dipicu PKI. Saat itulah NU mengusulkan pembubaran PKI sebagai dalang bencana.
Hanya NU yang masih mampu mengkomando rakyat dan menjaga ketertiban. Sebagai presiden yang lagi goyah, Bung Karno sangat terkesan oleh kekuatan NU dalam menjaga keamanan Negara. Arena ucapan terima kasih disampaikan kepada Rois Aam NU KH Wahab Chasbullah.
Sebagai rasa terimakasihnya itu ketika KH Saifuddin Zuhri minta tanah, maka Bung Karno memberikan tanah seluas delapan hektar di Tomang Slipi yang hendak digunakan sebagai Islamic Centre-nya NU. Dengan kekuatannya itu pula ketika terjadi pergantian rezim, NU tetap terlibat dalam mengelola negara.
Pelaksanaan Harlah NU dengan menggunakan kalender masihiyah dengan tonggak 31 Januari 1926 sekaligus dikukuhkan dalam istilah "Khittah NU 1926" itu telah diijma’i oleh para muassis NU yang masih hidup saat itu, antara lain KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Sansoeri, KH Asnawi Kudus, KH Maksum Lasem dan lain sebagainya.
Karena bagi mereka
menjadi NU adalah menjadi Indonesia, maka tidak masalah menggunakan penanggalan
yang sudah mentradisi dalam masyarakat Indonesia, dengan tanpa menghilangkan
rasa hormat pada kalender Hijriyah. Terbukti seluruh peringatan
hari besar Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah dan kalangan NU lah yang
paling aktif dalam menyemarakkan hari-hari besar Islam tersebut. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar