Jumat, 10 April 2015

(Ngaji of the Day) Makmum Shalat Jamaah Terpisah Jalan Raya atau Sungai



Makmum Shalat Jamaah Terpisah Jalan Raya atau Sungai

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr. wb. Yang saya hormati dan Allah muliakan para pengurus NU. Saya mau bertanya kepada NU. Saya ingin menanyakan bagaimana  hukumnya shalat berjamaah (misalkan id/jumatan) yang terpisah oleh sungai atau jalan apakah sah atau tidak, adakah syarat-syarat yang harus di penuhi? Mohon bantuan dan jawabannya secepat-cepatnya, terimakasih atas perhatiannya. Wassalamualaikum wr. Wb. []

Dika Darojat

Jawaban:

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa shalat jamaah itu lebih utama daripada dan pahalanya dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendiri. Karena itu shalat berjamaah sangat dianjurkan. Karena itu sering kali kita rela shalat berjamaah meskipun di jalan raya.

Dalam pandangan madzhab syafi’i pelaksanaan shalat jamaah yang dihalangi oleh sungai atau jalan besar tetap dianggap sah. Karena sungai atau jalan besar tersebut tidak dianggap sebagai penghalang. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syuja`:

وَلَا يَضُرُّ فِي جَمِيعِ مَا ذُكِرَ شَارِعٌ وَلَوْ كَثُرَ طُرُوقُهُ ، وَلَا نَهْرٌ وَإِنْ أَحْوَجَ إلَى سِبَاحَةٍ لِأَنَّهُمَا لَمْ يَعُدَّا لِلْحَيْلُولَةِ (محمد الشربيي الخطيب، الإقناع فى حل ألفاظ أبي شجاع، بيروت-دار الفكر، 1415هـ، ج، 1، ص. 169(

“Dan tidak menjadi persoalan, dalam apa yang telah dikemukakan, (antara imam dan ma’mun) dipisah jalan meskipun banyak orang lewat, begitu juga sungai meskipun untuk melewatinya harus dengan menyebrang. Sebab, keduanya tidak dianggap sebagai penghalang”. (Muhammad asy-Syarbini al-Khathib, al-Iqna` fi Halli Alfazh Abi Syuja’, Bairut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, 1, h. 169)

Sedang syarat-syaratnya adalah, pertama, mengetahui perpindahan gerakan imam dari satu rukun ke rukun yang lain seperti mengetahui ruku’ atau sujudnya imam, memungkinkan untuk menuju imam dengan tanpa menyimpang, jarak antara makmun dengan akhir masjid tidak lebih dari 300 hasta (kurang lebih 144 meter), melihat imam atau sebagian ma`mum, dan melihatnya itu dari tempat murur. Hal ini sebagaimana dikemukakan Sayyid Abdurrahman Ba’alwi dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin: 

فَتُشْتَرَطُ خَمْسَةُ شُرُوطٍ اَلْعِلْمُ بِانْتِقَالَاتِ الْإِمَامِ، وَإِمْكَانُ الذِّهَابِ إِلَيْهِ مِنْ غَيْرِ اِزْوِرَارٍ وَانْعِطَافٍ ، وَقُرْبُ الْمَسَافَةُ بِأَنْ لَا يَزِيدُ مَا بَيْنَهُمَا أَوْ بَيْنَ أَحَدِهِمَا وَآَخِرِ الْمَسْجِدِ عَلَى ثَلَاثُمِائَةِ ذِرَاعٍ ، وَرُؤْيَةُ الْإِمَامِ أَوْ بَعْضِ الْمُقْتَدِينَ وَأَنْ تُكُونَ الرُّؤْيَةُ مِنْ مَحَلِّ الْمُرُورِ (عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين، بيروت-دار الفكر، ص. 146(

“Kemudian disyaratkan lima lima syarat yaitu mengetahui perpindahan gerakan imam (dari satu rukun ke rukun yang lain), memungkinkan menuju ke imam dengan tanpa berbelok, dekatnya jarak antara ma’mun dengan imam  atau jarak salah satu dari keduanya (ma’mum) dengan batas akhir masjid tidak lebih dari 300 hasta, melihat imam atau sebagian ma’mum, dan hendaknya melihatnya dari tempat murur. (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut-Dar al-Fikr, tt, h. 146).   

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga bermanfaat. Dan sebisa mungkin jangan meninggalkan shalat jamaah karena itu sangat dianjurkan dan pahalanya dua puluh derajat dibanding shalat sendirian. []

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar