Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika
Oleh:
Dahlan Iskan
2 Maret
2015
Salah satu tamu saya pekan lalu adalah seorang lelaki yang umurnya
persis dengan saya, 64 tahun. Waktu datang, jalannya tertatih-tatih. Waktu mau
duduk, dia harus menata dulu posisi pantatnya. Waktu mau bangkit lebih sulit
lagi: Dua tangannya harus bisa menyangga pantatnya.
Tapi, otaknya cerdas. Melebihi saya. Dia seorang ilmuwan. Dia ahli
fisika murni. Dia kelihatannya sengaja dilahirkan untuk menjadi peneliti.
Sampai-sampai badannya jadi korban penelitiannya. Hampir seluruh tubuhnya
mengalami luka bakar: Rangkaian peralatan penelitiannya meledak, menyambar
bensin dan membakar dirinya.
Namanya sulit ditemukan di media: Ir Lulus Tjahyo Purnomo. Asli
Peneleh, Surabaya.
Sudah 20 tahun Tjahyo melakukan penelitian di halaman rumahnya:
mengisap udara, mengambil unsur tertentu dari udara itu, lalu menjadikannya zat
untuk menyuburkan tanah. Dia begitu prihatin melihat rendahnya produksi kedelai
di Indonesia. Penyebabnya jelas: Kesuburan tanah-tanah pertanian kita merosot.
Itu akibat penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus. Sejak awal Orde Baru pada
1967. Dan terlalu banyak.
Kian turun kesuburan tanah, kian banyak pupuk kimia yang
diperlukan. Kian banyak pupuk yang diberikan, kian tidak subur tanahnya. Muter.
Seperti goyang Inul.
Tjahyo ingin mengembalikan kesuburan itu. Tiga tahun lalu, saat
penelitiannya sudah mendekati berhasil, peralatannya meledak. Tjahyo terkapar
dengan 70 persen badannya terbakar. Istrinya, yang guru SMA, lagi mengajar.
Anak sulungnya tinggal di Jerman. Empat anak lainnya lagi kuliah.
Tinggal satu anaknya yang belum berangkat ke kampus: Muhammad
Mughnii Caryophyllus Purnomo. Panggilannya Ari. Sore itu Ari lagi di ruang makan.
Nonton TV. Tiba-tiba ada cahaya merah yang memantul kuat. Dia kaget. Lari ke
asal cahaya. Di halaman terlihat ayahnya berguling-guling, menderita karena
terbakar. Tanpa sedikit pun pakaian yang masih tersisa. Hampir seluruh badannya
gosong. Kejang-kejang. Lalu terkulai diam. Ari panik. Bapaknya dikira tewas.
Tidak ada respons sedikit pun.
Empat bulan Tjahyo dirawat di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Sambil
terbaring di RS itulah, Tjahyo terus memikirkan nasib hasil penelitiannya. Dia
memang sudah berhasil menangkap zat yang dibutuhkannya. Yang masih dia
risaukan: haruskah menggunakan alat yang bisa meledak seperti itu. Tidak. Harus
ada jalan lain.
Pulang dari RS, Tjahyo sudah ditemani ide baru. Lima anaknya, yang
juga sarjana fisika murni (hanya satu yang fisika teknik), menerapkannya di
lapangan. Kini Ari dan adik-adiknya sedang berada di pedalaman Tulungagung.
Meluaskan lahan percobaan. Tahun lalu mereka sudah berhasil menghidupkan tanah
mati di satu petak sawah dekat Surabaya. Subur kembali. Hasil panen padinya
meningkat 20 persen. Penggunaan pupuk kimianya pun tinggal 30 persen. Petani
bisa menghemat banyak.
Tjahyo belum memberi nama produknya itu. Juga belum mematenkannya.
”Takut temuan ini dicuri orang,” katanya. Dia juga minta nama zat yang diambil
dari udara itu dirahasiakan dulu.
Pentingkah temuan Tjahyo itu? ”Bukankah sudah banyak beredar zat
penyubur tanah?” tanya saya.
”Benar,” kata Tjahyo. ”Tapi, semuanya menggunakan mikroba,”
katanya. ”Yang saya temukan ini berbasis fisika,” tegasnya.
Bagi saya, upaya menyuburkan lagi tanah pertanian sangatlah
penting. Tentu kita tidak boleh menyalahkan Pak Harto yang menggalakkan pupuk
kimia. Waktu itu rakyat lagi sangat lapar. Perlu percepatan produksi beras.
Kini giliran kita merehabilitasi tanah. Sejak lima tahun lalu,
program untuk itu sudah ada: melalui pupuk organik. Siapa saja boleh bikin
pabriknya. BUMN bidang pupuk membelinya. Untuk disalurkan kepada petani dengan
harga subsidi. Dikampanyekan juga doktrin 5-3-2: Organik 5 kuintal, pupuk NPK
Ponska 3 kuintal, dan urea 2 kuintal saja per hektare (ha).
Tapi, kemampuan subsidi terbatas. Jumlah bahan baku pupuk organik
juga tidak mencukupi. Merosotnya jumlah ternak ikut menurunkan jumlah
kotorannya. Kekurangan pupuk penyubur yang sangat besar itulah yang dilihat
sebagai peluang bisnis. Mereka tahu bahwa tanah sawah menjadi gersang karena
mikroba mati oleh pupuk kimia. Tanah mengeras. Untuk menyuburkan kembali, harus
dimasukkan mikroba baru ke dalam tanah. Berarti harus ada ”peternakan” mikroba.
Agar mikroba hasil pembiakan itu bisa berkembang di tanah yang
sudah mati, diperlukan ”makanan” mikroba: energi. Itulah sebabnya jutaan
mikroba tersebut dimasukkan ke tanah bersama dengan makanannya: tetes tebu.
Atau bahan lain yang mengandung makanan mikroba.
Kini pupuk mikroba seperti membanjir. ”Pernah mencapai lebih 2.000
merek,” ujar Amal Gozali. Ketika jadi wartawan, Amal sukses mencapai karir
tertinggi: jadi pemimpin redaksi. Ketika terjun ke bisnis mikroba, dengan
produk Agrobost-nya, Amal sukses merajai pasar. ”Dari 2.000-an itu, yang
bertahan sampai sekarang tinggal sekitar 40 merek,” kata Amal.
Saat sudah berkembang luas pun, jenis pupuk mikroba itu belum
mendapat pengakuan pemerintah. Di mata pemerintah, yang bisa disebut pupuk
hanya dua jenis: kimia dan organik. Produsen pupuk mikroba gelisah. Terutama
ketika kian banyak produk yang mengecewakan petani. ”Kami terus berjuang agar
diakui pemerintah,” ujar Amal. ”Agar segera ditentukan standarnya. Untuk
melindungi petani,” tambahnya. ”Meluasnya pupuk mikroba sudah tidak bisa
ditahan,” ujar Amal.
Perjuangan itu berhasil. Diakui. Namanya pun dibakukan: pupuk
hayati. Maka, di dalam kamus birokrasi pertanian kini sudah ada tiga jenis
pupuk: kimia, organik, dan hayati.
Lalu, untuk jenis baru lagi, temuan Tjahyo itu perlu berapa lama
lagi mengubah kamus? (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar