Selasa, 31 Oktober 2017

(Do'a of the Day) 11 Shafar 1439H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahumma aati nafsii taqwaaha wa zakkihaa anta khairu man zakkahaa, anta waliyyuhaa wa maulaahaa.

Ya Allah, jadikanlah diriku ini diri yang bertakwa, sucikan ia karena Engkau sebaik-baik yang mensucikannya. Engkau yang menolongnya dan Engkau yang menguasainya.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Tokoh of the Day) Syekh Muhammad Ahyad Bogor - Jawa Barat



Kealiman Syekh Muhammad Ahyad Bogor Bergema di Masjidil Haram


Muhammad Ahyad Al-Bughuri dikenal sebagai ulama yang multi dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan. Meskipun sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, Ahyad masih mengaji kepada Masyayikh Haramain, khususnya Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri. Ketika Syekh Mukhtar wafat, Ahyad diminta untuk menggantikan posisinya dalam mengajar berbagai disiplin keilmuan di Masjidil Haram. Halaqahnya terbilang besar. Ada sekitar 300 thalabah yang setia mendengarkan butiran ilmu darinya. Selain mengajar di Masjidil Haram, Ahyad juga mengajar di Masjid an-Nabawi dan memimpin majlis dzikir di Makkah.

Muhammad Ahyad lahir di Bogor, Jawa Barat pada malam Rabu tanggal 21 Ramadhan 1302 (1884). Ia adalah putra dari Kiai Muhammad Idris ibn Abi Bakar bin Tubagus Mustofa al-Bakri al-Bughuri. 

Dalam mendidikan putra-putrinya, Kiai Idris sangat mengutamakan pengajaran agama dibanding dengan yang lainnya. Ketika sendi-sendi ajaran Islam sudah tertanam baik, maka Kiai Idris memerintahkan anaknya seperti Ahyad untuk mengkaji pelajaran umum supaya antara ilmu agama dan umum dapat selaras dan seimbang. Mulanya Ahyad menerima didikan ilmu agama dari ayahnya dan ulama-ulama yang ada di daerahnya. Dasar-dasar ilmu agama Islam seperti membaca Al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Hadist, dan lain-lain dikuasainya dengan baik. Metode menghafal, sorogon, dan bandongan selalu menjadi makanan keseharian Ahyad ketika masih dalam prosesi belajar di kampung halamannya.

Untuk sekolah umum, Kiai Idris memasukkan Ahyad di Volk School hingga tamat di Meer Uietgebreid Leger Orderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP. Di sekolah buatan Belanda ini, Ahyad dapat menguasai bahasa Belanda, Matematika, Biografi, dan ilmu umum lainnya.

Pada tahun 1899, saat umur Ahyad 15 tahun, ia berangkat ke Haramain untuk mematangkan keilmuannya kepada ulama yang menggelar halaqah di Masjidil Haram. Rihlah ini sudah menjadi idamannya sejak kecil, sebab ayahnya sering bercerita tentang kelebihan belajar di Haramain dibanding dengan yang lainnya. Terlebih di sana, sang ayah mempunyai sahabat yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syekh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri. Kegiatan belajar mengajar di Haramain sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Kompeni selalu mengawasi setiap kegiatan agama Islam yang dianggapnya berbahaya semenjak terjadinya perlawanan para Kiai Banten pada 1888 yang dikenal dengan pemberontakan Cilegon. Pemberontakan ini terjadi sebab kompeni telah menghina sebagian ajaran Islam dan kelakuannya yang selalu menyensarakan rakyat petani.

Setibanya di Haramain, Ahyad ikut bergabung dengan halaqah Masyayikh Haramain, baik yang ada di Masjidil Haram, Masjid an-Nabawi, dan di kediaman mereka. Di antara guru Ahyad ketika belajar di Haramain adalah Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri, Syekh Baqir ibn Muhammad Nur al-Jukjawi, Syekh Ahmad Sanusi, Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani, Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan (putra Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani), dan Syekh Muhammad Abdul Hayyi al-Kittani. Kepada ulama Haramain ini, terlebih Syekh Mukhar yang menjadi umdah-nya (guru sandaran utamanya), Ahyad mendalami ilmu Fiqih Syafii, Tafsir, Hadist, Ushul, Faraidh, Falak, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Arûdh. Jika sudah menghatamkan satu disiplin ilmu dari awal hingga akhir, maka Syekh Mukhtar akan membacakan sanad atau silsilah keilmuan kitab tersebut kepada santri-santrinya termasuk Ahyad. 

Dengan penuh ketekunan dan kesungguhan, Ahyad mempelajari apa yang transmisikan oleh Masyayikh Haramain. Ia kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kealiman yang tersemat dalam dirinya, Syekh Mukhtar mengusulkan kepada Masyayikh Masjidil Haram agar mengikut sertakan Ahyad dalam mengajar di tempat yang penuh dengan keberkahan tersebut. Usulan tersebut diterima. Akhirnya Ahyad diberi amanah untuk ikut mengajar di Masjidil Haram pada 1346 H (1927), tepatnya di Bab al-Nabi Muhammad SAW Adapun waktunya adalah sebelum shalat Dzuhur, sesudah shalat Shubuh, sesudah shalat Magrib, dan sesudah shalat Isya. Untuk materi yang diajarkan adalah bermula tentang seputar Faraidh dan Fiqih asy-Syafii.

Meskipun Ahyad sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, ia tetap merasa masih haus dengan kajian keilmuan. Ia sering mendatangi halaqah Masyayikh Haramain, terlebih Syekh Mukhtar hingga akhir hayatnya (1930). Ketika Syekh Mukhar wafat, maka Ahyad diamanahi untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram yang mempunyai tanggung jawab banyak dalam mengajar berbagai disiplin ilmu, sebab ia adalah Masyayikh Haramain yang halaqahnya paling ramai dihadiri di Masjidil Haram, yaitu ada sekitar 400 thalabah dari penjuru dunia, khususnya kalangan Jawah (Asia Tenggara/ Melayu).

Ketika tugas Syekh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, maka kebanyakan santri-santrinya pindah belajar kepadanya. Halaqah Ahyad meskipun tidak seramai dengan halaqah Syekh Mukhtar, namun terbilang besar sebab dihadiri sekitar 300 thalabah. Di antara santrinya yang menjadi ulama besar adalah Syaik Husein al-Palimbani, Syekh Abdul Qodir ibn Muthalib al-Mindili, Syekh Sodiq ibn Muhammad al-Jawi, Syekh Zakaria Bela, Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhsin ibn Ali al-Musawa, Sayyid Hamid ibn Alawi al-Kaff, Syekh Zain ibn Abdullah al-Baweani, dan Syekh Abdul Karim al-Banjari.

Saat mengajar santri-santrinya, Ahyad sering mempraktikkan sebagian amalan ibadah yang perlu untuk dipraktikkan, seperti tayamum, maka Ahyad mengambil debu suci untuk bertayamum yang dikerjakan di hadapan santri-santrinya yang sesusai dengan apa yang ia pelajari dari guru-gurunya hingga sanadnya muttasil sampai Rasulullah SAW. Praktikum juga dilakukan Ahyad ketika mengajar Falak dengan pedoman kitab karya Syekh Mukhtar yang berjudul al-Rubu’ al-Mujayyab.

Untuk mengetahui nama bintang-bintang yang ada di langit, Ahyad mengajak santri-santrinya supaya mengamati langsung dengan mata telanjang atas pemandangan langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang beraneka ragam. Metode mengajar Ahyad ini, yakni teori dan praktikum telah diwarisi oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani yang sering mengajak santrinya untuk mengamati bintang-bintang di padang pasir ketika matahari tenggelam hingga waktu fajar menyongsong. Dikenalkanlah nama-nama bintang dan planet satu persatu dan tanda-tanda yang melekat padanya.

Mengenai sumbangsih Ahyad dalam mengajar ilmu di Masjidil Haram, Syekh Yasin al-Fadani berkata, “Kitab-kitab yang diajarkan oleh Syekh Muhammad Ahyad Al-Bughuri di Masjidil Haram seperti halnya Jâmi al-Tirmidzî, Iqna’ li al-Khatîb al-Syarbinî, Umdatu al-Abrâr fi al-Manâsiki al-Hajji wa al-Umrah, Syarah ibn Aqîl ala al-Fiyah ibn Malik, Mandzumâtu al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, al-Mawâhibu al-Staniyyah Syarh Mandzumâtu al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, dan Risâlah Adab wa al-Bahats.”

Saat mengajar di Masjidil Haram, banyak thalabah yang terkesan dengan materi yang disampaikan Ahyad. Mereka merasakan betul bagaimana petuah keilmuan Ahyad merasuk dalam hati sanubari. Tiada bosan-bosan mereka menghadiri majlis Ahyad. Karena merasa masih haus dengan keilmuan Ahyad, maka sebagian thalabah, khususnya yang dari Melayu, Indonesia-Malaysia meminta jadwal tambahan agar Ahyad berkenan membuka majlis taklim di kediamannya. Akhirnya permintaan itupun disanggupinya.

Gema kealiman Ahyad yang menjadi bahan pembicaraan ahlu al-ilmi di kalangan ulama dan thalabah Makkah terdengar hingga ke Madinah al-Munawarah, tempat yang pernah disinggahinya dalam menuntut ilmu kepada ulama terkemuka di sana, yaitu Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani dan Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani. Oleh sang guru yang merupakan ulama terhormat di Madinah, Ahyad diminta untuk ikut serta mengajar di Masjid an-Nabawi. Dengan penuh ketaatan, Ahyad menjalankan titah yang diperintahkan gurunya.

Amanah yang diemban Ahyad selama berkiprah di Haramain tidak hanya mengajar, akan tetapi ia juga aktif memimpin majlis dzikir dan menyampaikan mawaid yang dahulunya dipimpin oleh gurunya, Syekh Mukhtar Atharid. Majlis dzikir peninggalan Syekh Mukhtar ini jamaahnya mayoritas mengikuti tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah. Ahyad menerima baiatan tarekat tersebut dari Syekh Mukhtar dan ia juga diangkat menjadi khalifahnya (penggantinya).

Hampir semua tugas yang diemban Syekh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, sebab selain dirinya adalah santri kesayangannya, ia juga adalah menantu Syekh Mukhtar. Ketika membina rumah tangga dengan putri Syekh Mukhtar, Ahyad dikarunia keturunan 7, di antaranya adalah Muhammad Thayyib, Idris, Sa’dullah, dan Abdullah.

Dalam sumbangsih masalah keilmuan yang dituangkan ke dalam karya tulis, Ahyad pernah mengarang beberapa kitab di antaranya adalah, Ta’lîqat alâ Kitab Jâmi al-Tirmidzî, Hasiyah alâ al-Kitab Umdati al-Abrâr fi Manâsiki al-Hajji wa al-I’timâr li Sayyid Ali al-Wanâ’i, Ta’liqatu ala Nadzmi al-Qawâ’idi al-Fiqhiyyati, dan Tsabat bi Asânidihi. Karya-karya ini dan beberapa kitab koleksi pribadinya, banyak yang diwakafkan di Madrasah Dar al-Ulum supaya bisa bermanfaat lebih luas.

Dalam kesehariannya, Ahyad sering menggunakan waktunya untuk kemanfaatan, seperti mengajar, belajar, beribadah, dan mengarang sebuah kitab. Aktifitas mulianya ini dijalani hingga ia kembali ke Rahmatullah pada malam Sabtu tanggal 9 bulan Shafar 1372 (1952) dengan usia kurang lebih 70 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la. []

Penulis adalah dosen Sejarah Islam Nusantara di STIBI Syeikh Jangkung

(Amirul Ulum)

Kang Komar: Pesona Tidore



Pesona Tidore
Oleh: Komaruddin Hidayat

SEBUAH ketidaksengajaan yang sangat mengesankan, akhirnya sampai juga saya menginjakkan kaki di Pulau Tidore setelah diskusi buku Building A Ship While Sailing bersama pengarangnya, SD Darmono, di Universitas Khairun, Ternate, pada 23 Oktober lalu.

Hanya 10 menit naik kapal boat dari Ternate, Anda akan sampai di Pulau Tidore, sebuah pulau di Maluku Utara seluas sekitar 40 km persegi dengan penduduk 100.000 jiwa. Alamnya subur, bangunan kantor, masjid, dan rumah berdiri di pinggir jalan menghadap ke laut di bawah kaki Gunung Matubu.

Hanya butuh waktu dua jam dengan naik mobil untuk berkeliling menelusuri jalan utama Tidore melihat keindahan alam dengan suasananya damai. Bangunan masjid terlihat di sepanjang perjalanan sehingga Pulau Tidore juga disebut Pulau Seribu Masjid.

Menurut Rifda Amarina, seseorang pengusaha putri Ternate alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi guide kami, masyarakat Tidore hidupnya santai, tenang, bahagia, tidak merasa dikejar-kejar waktu, tidak juga cemas menghadapi masa depan. Mereka tidak konsumtif, berpakaian sekadarnya, terpenting nyaman dan sopan.

Terlihat memang beberapa ibu dengan daster berjalan santai di jalan utama untuk belanja dan ada lagi yang naik motor. Saya melihat beberapa orang tua hanya mengenakan pakaian pendek tanpa baju duduk-duduk di depan rumah. Mereka hidup damai menyatu dengan alam. Kendaraan umum tidak boleh beroperasi di atas pukul 18.00 agar tidak mengganggu ketenangan malam.

Rifda menunjuk lembaran seribu rupiah, di sana ditampilkan Pulau Maitara yang sangat menawan dikelilingi laut yang jernih, ikut mempercantik pemandangan alam Tidore dan Ternate. Sejak dulu Pulau Tidore juga dikenal dengan komoditas cengkeh dan palanya yang membuat Belanda, Portugis, dan Spanyol berebut datang ke pulau ini.

Kami sempat mengunjungi peninggalan benteng Portugis di Ternate dan benteng Spanyol di Tidore, dua negara yang pernah bersaing menguasai rempah-rempah di sana. Namun, pedagang Arab datang lebih dahulu sambil menyebarkan Islam sehingga wilayah ini disebut jaziratul muluk, wilayah yang memiliki banyak raja atau sultan.

Saking indah alamnya dan kaya dengan ragam ikannya, banyak mereka yang hobi memancing untuk datang ke tempat ini. Di pengujung Oktober ini untuk yang pertama kali diselenggarakan turnamen memancing tingkat internasional di sekitar Pulau Widi.

Widi International Fishing Turnament 2017 ini diikuti 12 negara dengan jumlah peserta sekitar 250 orang. Para turis pemancing ini diharapkan nanti ikut mempromosikan fishing tour daerah Maluku Utara pada dunia, mengingat wilayah ini kaya dengan berbagai jenis ikan langka dengan airnya yang jernih serta ombaknya kecil karena dikelilingi pulau-pulau.

Berbeda dari pemancing masyarakat kita, peserta turnamen ini tidak akan membawa pulang ikannya. Kalau berhasil mendapatkan ikan, panitia atau juri akan menimbang dan menghitung bobotnya, lalu ikannya dilepas kembali ke laut. Jadi pemenang adalah yang terbanyak menangkap ikan.

Kata Rifda, penduduk Tidore akan merasa miskin dan malu jika tidak bisa menyediakan makan bagi setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya. Kehidupan mereka ditopang oleh pertanian dan nelayan. Bangunan rumah dan masjidnya kokoh, bagus-bagus, tetapi penduduk sedikit.

Kesultanan Ternate dan Tidore masih dilestarikan sampai hari ini. Dulu di antara sultan itu kadang terjadi perseteruan. Misalnya, pada tahun 1521, Sultan Mansur Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi Kesultanan Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Namun, pada masa Sultan Nuku (1780–1805), Kesultanan Tidore dan Ternate bisa dipersatukan untuk melawan Belanda yang dibantu Inggris.

Hari ini Kesultanan Tidore dipegang oleh Sultan Husain Syah. Ketika kami berkunjung ke istananya hanya sempat berbicara lewat telepon karena Sultan sedang di Jakarta. Sedangkan Kesultanan Ternate dipegang Mudzafar Shah.

Di antara sultan Ternate yang terkenal adalah Sultan Babullah (1528–1583) yang namanya diabadikan sebagai nama Airport Ternate, sedangkan ayahnya, Sultan Hairun, namanya diabadikan sebagai Universitas Negeri Khairun, Ternate.

Melihat dari dekat kekayaan dan keindahan alam Maluku Utara, sungguh merupakan potensi industri pariwisata amat sangat besar. Mengingatkan kita pada industri wisata Yunani yang memberikan devisa tertinggi pada kas negara.

Tetapi sangat disayangkan potensi ini tidak atau belum diberdayakan oleh pemerintah pusat dan daerah secara optimal. Saya kira turis asing, seperti Jepang atau Belanda, akan sangat menikmati tinggal berlama-lama di Pulau Tidore yang sepi dengan pemandangan alamnya yang memesona sambil menapak tilas sejarah. []

KORAN SINDO, 27 Oktober 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

(Ngaji of the Day) Hukum Menunda Penguburan Jenazah



Hukum Menunda Penguburan Jenazah

Pengurusan jenazah hukumnya fardhu kifayah, dan anjuran Rasulullah dalam hal ini adalah menyegerakannya. Namun, kadangkala pada praktiknya muncul beberapa masalah karena berkenaan dengan, misalnya kepentingan studi, penyelidikan hukum, atau adat. Beberapa praktik tersebut kerap menunda pelaksanaan pemandian jenazah yang secara otomatis menunda pula prosesi pemakaman.

Munculah pertanyaan, apa hukum mengakhirkan penguburan jenazah? Berapa lama batas mengakhirkan penguburan jenazah?

Rasulullah bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

"Percepatlah kalian dalam membawa jenazah. Jika jenazah itu baik maka kalian telah mendekatkanya pada kebaikan. Jika jenazah itu jelek, maka kalian telah melepaskan dari pundak kalian." (HR Bukhari)

Berdasarkan hadits ini Muhammad al-Khatib al-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, berpendapat tidak boleh menunda penguburan jenazah untuk alasan memperbanyak orang yang menshalatinya.

)وَلَا تُؤَخَّرُ) الصَّلَاةُ (لِزِيَادَةِ مُصَلِّينَ) لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ وَلَا بَأْسَ بِانْتِظَارِ الْوَلِيِّ عَنْ قُرْبٍ مَا لَمْ يُخْشَ تَغَيُّرُ الْمَيِّتِ

“(Dan tidak tunda) pelaksanaan shalat jenazah (karena alasan memperbanyak orang yang menshlatinya) berdasarkan hadits shahih: ‘Bersegeralah kalian dengan urusan jenazah’. Dan boleh menanti walinya sebentar selama tidak dikhawatirkan perubahan kondisinya.” (Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah t. th.], Jilid II, h. 51)

Dengan mengulas pendapat Imam Nawawi, Muhammad al-Khatib al-Syirbini lalu merinci bahwa ketika sebelum shalat jenazah telah hadir beberapa orang, maka yang belum hadir tidak perlu ditunggu. Beliau lalu melanjutkan:

نَعَمْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَغَيْرُهُ إذَا كَانُوا دُونَ أَرْبَعِينَ فَيُنْتَظَرُ كَمَالُهُمْ عَنْ قُرْبٍ لِأَنَّ هَذَا الْعَدَدَ مَطْلُوبٌ فِيهَا وَفِي مُسْلِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ لِلْأَرْبَعِينَ قِيلَ وَحِكْمَتُهُ أَنَّهُ لَمْ يَجْتَمِعْ أَرْبَعُونَ إلَّا كَانَ للهِ فِيهِمْ وَلِيٌّ وَحُكْمُ الْمِائَةِ كَالْأَرْبَعِينَ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ الْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ

“Meskipun demikian, al-Zarkasi dan ulama selainnya berpendapat, bila mereka belum mencapai 40 orang, maka ditunggu sebentar agar mencapai jumlah tersebut. Sebab, jumlah jamaah 40 orang ini dianjurkan dalam menshalati jenazah. Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat riwayat dari Ibn Abbas, bahwa sungguh beliau menunda shalat jenazah karena menanti jumlah jamaah 40 orang. Disebutkan hikmahnya adalah tiada berkumpul 40 orang jamaah melainkan salah seorangnya adalah wali Allah. Dan hukum 100 orang sama dengan 40 orang, seperti kesimpulan yang diambil dari hadits tadi.

Kasus tentang penundaan terhadap prosesi penguburan jenazah juga pernah muncul dalam bahtsul masail waqi'iyyah pada Muktamar Ke-10 Nahdlatul Ulama di Makassar pada tahun 2010. Dengan mengutip penjelasan Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj di atas disimpulkan bahwa mengakhirkan penguburan jenazah pada dasarnya tidak diperbolehkan.

Hanya saja larangan tersebut terkecuali untuk kasus-kasus tertentu, di antaranya (1) untuk mensucikan jenazah berpenyakit menular yang menurut dokter harus ditangani secara khusus; (2) untuk keperluan otopsi dalam rangka penegakan hukum; (c) untuk menunggu kedatangan wali jenazah dan atau menunggu terpenuhinya empat puluh orang yang akan menshalati dengan segera selama tidak dikhawatirkan ada perubahan pada jenazah.

Dari sini terungkap bahwa di luar kasus-kasus khusus, hukum asal menunda-nunda penguburan jenazah adalah tidak boleh. Batas akhir jeda menanti hingga penguburan jenazah adalah sampai timbulnya khauf al-taghayyur (kehawatiran perubahan kondisi jenazah) atau sampai selesainya kebutuhan atas kasus-kasus khusus tersebut. Wallâhu alam. []

Sumber: NU Online