Senin, 23 Oktober 2017

Zuhairi: Akhir Kekuasaan ISIS



Akhir Kekuasaan ISIS
Oleh: Zuhairi Misrawi

Raqqa yang selama ini dikenal sebagai pusat pemerintahan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) resmi telah diambilalih oleh tentara demokratik Suriah (SDF), yang disokong sepenuhnya oleh tentara Amerika Serikat. Pengambialihan Raqqa menandakan berakhirnya kekuasaan ISIS, baik di Irak maupun Suriah.

Pasca-wafatnya Abu Bakar al-Baghdadi, kondisi ISIS terus memburuk. Mosul sebagai basis ISIS di Irak juga bisa direbut kembali oleh tentara Irak yang bahu-membahu dengan tentara Kurdi.

Stadion sepakbola dan rumah sakit di Raqqa merupakan dua tempat terakhir yang diduga dikuasai ISIS. Sontak, kabar keberhasilan melenyapkan ISIS di Raqqa menjadi breaking news hampir di seluruh media internasional dan nasional. Dunia menyambut kejatuhan Raqqa dengan gegap-gempita, karena ISIS pada akhirnya kehilangan kekuasaannya. Sekaligus informasi ini membangkitkan harapan, bahwa salah satu organisasi teroris yang paling membahayakan telah kehilangan kekuatannya.

Lina Khatib di The Guardian menyatakan bahwa pembebasan Raqqa dari ISIS merupakan sebuah bukti kekalahan ISIS. Mulai saat ini, ISIS tidak lagi mempunyai basis kekuasaan. Meskipun sebenarnya tidak mudah, siapakah sebenarnya yang akan mengontrol kota Raqqa pasca-ISIS.

Raqqa merupakan salah satu kota penting di Suriah. Di kota ini terdapat kilang minyak yang selama dikuasai ISIS menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar mereka. Konon, minyak-minyak yang berada di Raqqa selama dikuasai ISIS dijual ke Turki melalui perdagangan gelap.

Sebelum dikuasai ISIS, Raqqa terlihat sangat indah, hijau, dan warganya tampak makmur. Tapi setelah hampir empat tahun dikuasai ISIS, kota ini menjadi kota lumpuh dan porak-poranda layaknya kota hantu. Tidak terbayangkan sebelumnya Raqqa akan menjadi kota mati.

Pertanyaan yang muncul ke permukaan perihal masa depan ISIS. Apakah ISIS benar-benar akan mengalami sakaratul maut bersamaan dengan jatuhnya Raqqa sebagai basis kekuasaan mereka di Suriah?

Ya, sebagai sebuah gerakan yang menamakan dirinya dengan Negara Islam Irak dan Suriah, setelah Mosul direbut kembali oleh tentara Irak dan Raqqa diambilalih oleh SDF, maka ISIS secara otomatis sudah kehilangan legitimasi kekuasaannya sebagai sebuah negara. ISIS dapat dikatakan "negara tanpa negara". Masih ada tentara dan milisi ISIS yang hidup dan berkeliaran di Irak dan Suriah, tapi mereka sudah tidak mempunyai komando dan persenjataan yang canggih seperti beberapa tahun lalu.

Yang paling mendasar, ISIS sudah kehilangan sumber pendapatan yang relatif besar yang selama ini menjadi oli bagi mereka untuk bertahan hidup. Apalagi, para milisi yang datang dari luar Irak dan Suriah yang selama ini bergabung dengan ISIS sudah mengalami defisit kepercayaan terhadap ISIS. Karena faktanya perjuangan ISIS tidak seindah yang dijanjikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi.

Mereka memilih meninggalkan ISIS. Mereka yang berhasil lari dari kungkungan ISIS mengisahkan kebiadaban ISIS. Antara janji dan kenyataan jauh berbeda. Perilaku ISIS sangat jauh dari prinsip dan nilai yang diajarkan Islam. Bahkan, banyak dari mereka yang menyesal karena sudah terhipnotis dengan janji-janji palsu ISIS perihal klaim mendirikan "Negara Islam".

Bersamaan dengan itu pula, Marawi yang selama ini disebut-sebut oleh ISIS sebagai basis mereka di Asia juga berhasil direbut kembali oleh tentara Filipina. Artinya, basis ISIS di mana-mana berhasil direbut kembali akibat gempuran militer.

Namun, bukan berarti kejatuhan ISIS di Irak dan Suriah merupakan akhir dari ISIS. ISIS boleh terpuruk di basis kekuasaannya, tetapi ISIS telah menjadi gerakan mondial yang aktif melakukan rekruitmen melalui media sosial. Bahkan, media-media ISIS masih aktif hingga sekarang ini.

Pemandangan tersebut membuktikan bahwa ideologi ISIS tidak mudah untuk dilumpuhkan. Ideologi ISIS merupakan salah satu kekuatan ISIS yang berhasil secara terus-menerus mengglorifikasi "khilafah" di tengah ketidakadilan sosial dan ketimpangan yang masih merajalela di banyak negara.

Apalagi al-Qaeda diketahui belakangan ini mulai aktif mengonsolidasikan para mantan tokoh ISIS untuk merencanakan sebuah perlawanan besar. Putera Osama bin Laden digadang-gadang mempunyai pesona yang kuat untuk mempersatukan kembali para teroris yang tercerai-berai. Toh, mereka yang bergabung dengan ISIS, termasuk Abu Bakar al-Baghdadi sang khalifah ISIS adalah anggota al-Qaeda.

Maka dari itu, perjuangan untuk melawan ISIS tidak lagi menggunakan senjata, melainkan dengan gagasan dan pemikiran yang progresif, yang pada akhirnya diharapkan mampu melakukan deradikalisasi terhadap ideologi ISIS. Pemikiran Islam yang mengedepankan cinta Tanah Air, ramah, toleran, dan moderat menjadi kunci untuk membentengi setiap muslim dari ideologi ISIS.

Kaum muda merupakan pihak yang rentan untuk didekati dan didoktrin oleh ISIS. Para teroris melihat media sosial sebagai sarana yang tepat untuk menyebarluaskan ideologi "khilafah" dan "negara Islam". Di sini, kita semua harus waspada melihat tren proliferasi ISIS melalui media sosial.

Selain itu, kita juga harus waspada terhadap mereka yang sebelumnya sudah bergabung dengan ISIS dan kembali ke Tanah Air. Negeri ini memang sangat luar biasa menerima kehadiran mereka yang sebelumnya bergabung dengan ISIS. Sikap ramah terhadap mantan ISIS harus sejalan dengan upaya deradikalisasi yang dilakukan secara terukur. Mereka mesti diberi pemahaman yang benar tentang Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin, dan Pancasila sebagai dasar negara. Mereka harus betul-betul dipastikan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di samping itu, pemerintah juga harus secara serius mengatasi problem ketidakadilan, kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran. Begitu halnya dengan stabilitas dan keamanan. Belajar dari Irak dan Suriah yang selama ini dijadikan sebagai basis ISIS, kedua negara itu berhasil direbut ISIS akibat instabilitas politik, ketidakadilan, dan kemiskinan. Sebab itu, cara terbaik untuk melawan ideologi ISIS adalah mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian bagi seluruh warga, sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila.

Maka dari itu, kita patut berbahagia masih mempunyai Pancasila sebagai dasar negara. Karena Pancasila telah terbukti mampu melawan ideologi kaum ekstremis, termasuk ISIS. Selama kita masih berpegang teguh kepada Pancasila, maka kita masih mempunyai harapan untuk membentengi negeri ini dari infiltrasi ideologi transnasional, khususnya ISIS, al-Qaeda, dan lain-lain. []

DETIK, 19 Oktober 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar