Tiga Tahun Politik Luar Negeri Jokowi-Kalla
Oleh: Azyurmardi Azra
Politik luar negeri Indonesia tiga tahun pemerintahan Presiden
Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla tengah berubah. Aktivisme Indonesia
dalam kancah hubungan internasional terlihat meningkat, menjadi lebih aktif dan
makin asertif setidaknya dalam tahun terakhir. Pengamat yang obyektif, cermat,
dan hati-hati (meticulous) mesti tidak gagal mengamati gejala ini. Kegagalan atau
ketidakcermatan pengamat bisa bersumber dari skeptisisme terhadap politik luar
negeri Indonesia sejak awal masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Pandangan skeptis itu terkait kebijakan Presiden Jokowi yang sejak
memegang tampuk kekuasaan lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dengan
prioritas pokok pada pembangunan infrastruktur fisik. Dengan prioritas ini,
Presiden Jokowi dianggap tidak mementingkan peran lebih aktif Indonesia di
kancah internasional (outward looking).
Apalagi, Presiden Jokowi tidak hadir dalam Sidang Umum PBB di New
York tiga tahun berturut-turut sejak 2015. Pekan lalu, Jokowi juga tidak hadir
di Istanbul, Turki, untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT/Summit) D-8, delapan
negara Muslim yang paling menonjol dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
(developing atau emerging).
Sebaliknya, Presiden Jokowi mendelegasikan kehadiran dan diplomasi
Indonesia dalam Sidang Umum PBB di New York kepada Wapres Jusuf Kalla. Begitu
juga Wapres Jusuf Kalla mewakili Presiden dalam KTT D-8 Istanbul. Daftar
pendelegasian dari Presiden kepada Wapres bisa cukup panjang.
Namun, Presiden Jokowi hadir selektif dalam forum seperti KTT
ASEAN, termasuk dengan negara-negara mitra ASEAN. Presiden juga hadir di KTT
APEC, G-20, KTT Dunia Arab-Islam dengan Amerika Serikat, dan beberapa forum
internasional lain. Presiden Jokowi juga berkunjung dan bertemu dengan kepala
pemerintahan negara-negara utama yang menjadi mitra kerja sama ekonomi,
perdagangan, politik, dan sosial-budaya, seperti negara-negara ASEAN, China,
AS, Jepang, Jerman, Inggris, dan Australia.
Meski demikian, bagi kalangan pengamat politik luar negeri
Indonesia, Presiden Jokowi tetap dianggap belum menampilkan postur Indonesia
yang lebih high profile. Mereka berharap Jokowi dapat memainkan peran lebih
besar sesuai sosok Indonesia sebagai negara besar (punch its weight).
Indonesia memang belum sepenuhnya ”menonjok sesuai bobotnya”.
Namun, Presiden Jokowi memberikan pendelegasian lebih besar kepada Wapres Jusuf
Kalla bersama Menlu Retno LP Marsudi untuk menampilkan sosok politik luar
negeri yang tak kurang bobotnya. Menghadiri berbagai forum KTT dan pertemuan
internasional lain, selain acara resmi, Wapres Kalla menjadi ”sasaran”
pertemuan bilateral di sela waktu dengan banyak kepala pemerintahan negara
lain.
Karena itu, meski Presiden Jokowi hanya hadir dalam berbagai forum
internasional secara sangat selektif, Indonesia tetap menjadi salah satu pusat
perhatian banyak kalangan internasional. Sebab itu, banyak pula kepala negara
dan kepala pemerintahan merasa perlu datang ke Indonesia, termasuk yang
terlibat pertikaian, seperti Raja Salman (Arab Saudi) dan Emir Syekh Tamim bin
Hamad al-Tsani (Qatar). Padahal, lebih dari tiga dasawarsa kepala dua negara
ini tidak ke Indonesia.
Kenapa Indonesia menjadi sangat menarik? Ini terkait keberhasilan
Indonesia memelihara stabilitas politik dan keamanan yang memungkinkan
peningkatan ekonomi. Hasilnya, sejak April 2017, Indonesia termasuk di antara
10 negara dengan PDB lebih dari 1 triliun dollar AS; dan antara 2025-2030
Indonesia diprediksi menjadi negara keempat atau kelima terkuat ekonominya.
Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia. Pada saat sama, Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga
terbesar di dunia—setelah India dan AS—adalah show case, contoh keberhasilan di
mana Islam kompatibel dan berjalan beriringan dengan demokrasi.
Sekali lagi, Indonesia tegak menonjol di tengah masih bertahannya
konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim
di Dunia Arab dan Asia Selatan. Dalam konteks ini, peran Indonesia sangat
menonjol dalam memediasi konflik Rohingya. Menjadi satu-satunya negara yang
diterima Pemerintah Myanmar.
Kunci efektivitas politik luar negeri Indonesia karena pendekatan
”total diplomasi” yang low profile, inklusif, dan rekonsiliatif. Indonesia
menjauhi diri dari menggunakan pendekatan yang disebut Menlu Retno Marsudi
sebagai megaphone diplomacy. Contoh lain keberhasilan diplomasi Indonesia
terlihat pula dalam pembentukan Bali Democracy Forum (BDF) Tunis Chapter di
Tunis, ibu kota Tunisia, Senin (2/10). BDF Tunis Chapter ingin menggali
pengalaman terbaik Indonesia dalam demokrasi sejak reformasi.
Indonesia yang berhasil mengonsolidasikan demokrasinya tidak ingin
menggurui negara lain. Indonesia hanya ingin berbagi pengalaman terbaik dalam
demokrasi. []
KOMPAS, 24 Oktober 2017
Azyurmardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar