Basofi, Dangdut, dan
Tidak Semua Laki-Laki
Oleh:
Dahlan Iskan
Isak Tangis Warnai
Pemakaman Mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman. Almarhum
Basofi Sudirman Tidak Pernah Mengeluh Sakit. DIA
jenderal. Dia ulama. Dia artis. Dia birokrat. Dia petani. Dia olahragawan. Pak
Basofi Sudirman adalah siapa saja dan apa saja. Saking pinternya, sampai-sampai
muncul kritik: Pak Basofi tidak pernah mau mendengarkan masukan-masukan untuk
memperbaiki kinerjanya sebagai gubernur Jatim (1993–1998).
Ada yang
menilai hal itu terjadi karena Pak Basofi bukan sembarang laki-laki. Di banyak
hal, beliau lebih dari siapa saja. Di militer, Pak Basofi bukan sembarang
militer. Pangkatnya mayor jenderal. Kesatuannya Kopassus. Di kalangan ulama,
Pak Basofi bukan sembarang ulama. Dia sudah ulama sejak dari sononya. Ayahnya
yang juga jenderal itu adalah ketua PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam). Di
kalangan seniman, Pak Basofi bukan sembarang artis. Lagu dangdutnya ngetop
sampai tingkat nasional. Judul lagunya semua orang tahu: Tidak Semua Laki-Laki.
Sebagai birokrat, dia tidak ujug-ujug jadi gubernur. Dia menjadi wakil gubernur
dulu di wilayah penting: Jakarta.
Di
kalangan olahragawan, Pak Basofi juga tidak bisa direndahkan. Dia pemain sepak
bola yang andal. Bahkan masih terus bermain bola selama menjadi gubernur.
Nama-nama pemain asing dia ubah. Menjadi nama Jawa. Lucu sekali.
Wartawan
juga akrab dengan Pak Basofi. Sampai-sampai, kelak, diangkat menjadi ketua
Yayasan Akademi Wartawan Surabaya. Hingga akhir hayatnya kemarin. Memang sudah
ada wacana saya diminta menggantikannya, tapi saya tidak mungkin menghadapnya
ke Jakarta.
Pokoknya, Pak Basofi itu pandai sekali. Seandainya Pak Basofi membuka diri untuk menerima masukan pun, yang akan memberi masukan belum tentu merasa pantas. Bisa-bisa sudah merasa kalah duluan.
Karena
itu, agak mengejutkan ketika pada akhirnya Pak Basofi hanya menjabat satu
periode. Maklum, waktu itu bukan rakyat yang menjadi penentu. Kalau saja sistem
pemilihan gubernur sudah seperti sekarang, bisa jadi Pak Basofi akan terpilih
untuk kali kedua. Cukuplah Pak Basofi mendendangkan Tidak Semua Laki-Laki.
Semua perempuan pasti akan memilihnya. Juga suami mereka.
Pak
Basofi juga punya ikon lainnya: Sarung dijadikan baju. Secara konsisten, beliau
mengenakan baju kotak-kotak yang bahannya dari sarung. Desainnya pun sangat
khas. Jadilah model baju seperti itu populer dengan sebutan ”baju Basofi”.
Semua pejabat mengikutinya. Baju Basofi menjadi mode di kalangan birokrasi.
Tapi,
sistem pemilihan waktu itu masih lewat DPRD. Siapa yang berhasil melobi tiga
jalur di dalam Golkar, dialah yang menang. Pak Basofi juga tampak rajin melobi
sana-sini. Untuk bisa diangkat lagi. Namun, partai-partai cenderung menunggu
dulu sikap Fraksi ABRI. Panglima ABRI menjadi sangat menentukan. Golkar pun
sebagai mayoritas mutlak, tidak mungkin independen. Menunggu dulu sinyal dari
jalur A. Yakni Faksi ABRI di dalam Golkar.
Di
detik-detik akhir, sikap Fraksi ABRI ternyata mengecewakannya: lebih menjagokan
Mayjen Imam Utomo yang saat itu menjabat Pangdam V/Brawijaya.
Maka,
masa jabatannya pun hanya sekali. Masa mode baju Basofi pun tidak bisa lebih
lama lagi. Hanya kepopuleran lagu-lagunya yang lebih abadi.
Pada
hari-hari pertama Pak Basofi menjabat gubernur, saya sering dipanggil. Atau
menghadap. Biasanya di rumah dinas gubernur di Jalan Imam Bonjol. Berkali-kali
Pak Basofi merogoh saku celananya. Lalu mengambil satu benda dari dalam
sakunya. Menempelkannya di telinganya sambil bicara. Waktu itu saya belum tahu kalau
sudah ada handphone. Meski akhirnya saya tahu bahwa benda tersebut adalah
handphone berukuran kecil, saya tetap heran. Kok Pak Basofi tahu ya kalau lagi
ada telepon untuknya. Baru belakangan saya tahu bahwa nada panggil itu ternyata
bisa dalam bentuk getar. Pak Basofi-lah yang membuat saya tahu adanya handphone
getar. (*)
JAWA POS,
8 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar