Jas Hijau dan Jas Merah
Oleh: M. Hasan Mutawakkil Alallah
Islam memiliki dimensi zamkaniyah (zaman wa makan) yang jauh dari
keberadaan kita. Dari dimensi zaman (waktu), Islam sebagai sebuah ajaran agama
muncul dan berkembang lebih dari 14 abad yang lalu. Dari dimensi makan
(tempat), Islam turun di tempat yang sangat jauh dari posisi kita di Indonesia.
Intinya, Islam memiliki dimensi tempat dan waktu yang jauh dari kita di
Indonesia saat ini.
Pertanyaan yang penting diajukan al faqir, bagaimana ceritanya
Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini? Bagaimana kisahnya hingga Islam
bisa menjadi napas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia ini? Tentu jawabannya harus dicari dan jawaban itu mudah didapat
dengan mengajukan pertanyaan tambahan: lantas siapa yang membawa Islam ke
negeri ini? Siapa yang menyebarkan Islam di negeri yang kemudian dikenal dengan
nama Indonesia ini?
Tidak mungkin Islam datang dengan sendirinya atau tiba-tiba
dipeluk mayoritas bangsa ini. Padahal, bangsa Indonesia sendiri memiliki latar
belakang etnis beserta kultur yang berbeda-beda. Tentu semua itu karena
jasa-jasa para ulama. Para walilah yang menyebarkan Islam di negeri ini. Para
ulamalah yang berkontribusi besar pada dakwah Islam di negeri ini hingga Islam
menjadi agama yang dipeluk mayoritas bangsa ini. Bayangkan jika tidak ada
ulama. Bayangkan jika tidak ada wali. Bayangkan jika tidak ada mereka semua.
Tentu mustahil kita bisa menikmati Islam seperti saat ini.
Karena itu, zalim rasanya jika kita menghilangkan jasa ulama.
Karena itu pula, sesungguhnya tidak berbudi orang atau kelompok yang
menghilangkan jasa ulama. Kita bisa menikmati kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang sejuk dan penuh kedamaian juga bukan perkara
mudah.
Lihatlah bangsa-bangsa lain di dunia ini. Mereka punya masalah
besar dengan bangunan kebangsaannya. Mereka juga kerap dilanda masalah besar
dengan bangunan sosiologis masyarakatnya. Ada kelompok sosial di internal
mereka yang tidak terakomodasi dalam sistem sosial politik kebangsaan dan
kenegaraan mereka sendiri. Hidup mereka pun tak bahagia karena selalu menjadi
objek intoleransi dan dominasi kelompok lain yang jumlahnya lebih besar.
Lalu kita bangsa Indonesia ini bagaimana? Kita bisa menikmati
hidup di negeri ini dengan sangat baik penuh bahagia. Indonesia damai.
Indonesia sejuk. Indonesia menjadi rumah bagi semua kelompok sosial di negeri
ini. Kita bisa menikmati itu semua hingga kini dengan baik.
Maka, sangat tidak terpuji jika ada orang atau kelompok yang
menghilangkan jasa ulama. Sangat lacur jika ada orang atau kelompok yang
membutakan mata atas jasa-jasa ulama. Mereka tidak mengerti atau buta atas
sejarah Indonesia secara umum dan sejarah Islam Indonesia secara khusus.
Apalagi, ekspresi Islam di negeri ini luar biasa cerdas. Islam
bisa berdialog dengan nasionalisme. Islam bisa rukun bersama budaya masyarakat
yang beragam di negeri ini. Islam juga tampil penuh kontribusi bagi bangsa ini,
termasuk di bidang ekonomi dan politik.
Untuk itu, kita patut mengapresiasi siapa pun yang menjunjung
tinggi jasa-jasa ulama. Kita sangat menghargai siapa pun yang ingin mengangkat
harkat dan martabat para kiai dan para ulama negeri ini. Kita menaruh hormat
kepada siapa pun di negeri ini yang menempatkan para kiai dan ulama di tempat
yang luhur.
Maka, jangan sekali-kali mengabaikan jasa ulama. Dan jangan
sekali-kali menghilangkan kontribusi mereka untuk negeri ini. Di sinilah patut
dihargai jargon Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama). Pada titik
ini saya kemudian teringat nasihat dan ungkapan Presiden Soekarno yang
disampaikan saat berpidato di depan sidang MPRS pada 17 Agustus 1966 yang
menyebut Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah).
Bung Karno pun sangat mengerti bahwa berdirinya NKRI ini tidak
dapat dipisahkan dari perjuangan para ulama, misalnya terbentuknya Laskar
Hizbullah dan Laskar Sabilillah yang berisi barisan kiai dan santri atas restu
dan titah KH Hasyim Asy’ari. Peran ulama juga sangat menentukan ketika menunjuk
Soekarno-Hatta sebagai waliyyul amri ad-dlaruri bisy-syaukah pada saat ada yang
mempertanyakan keabsahan kepemimpinan mereka berdua. Serta keluarnya resolusi
jihad dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang membangkitkan semangat
bertempur kepada Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah pada
10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Begitu juga halnya ketika bangsa ini sedang berdebat dalam
merumuskan dasar negara. Spirit agama menjadi acuan utama yang terumuskan pada sila
pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang mencerminkan
pandangan ketauhidan dalam Islam sebagaimana yang ditegaskan KH Abdul Wachid
Hasyim yang merupakan salah seorang anggota tim sembilan perumus dasar negara.
Terlebih, dalam konstitusi kita dijelaskan, kemerdekaan yang
diperoleh bangsa Indonesia ini adalah berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa.
Sehingga semakin jelas, para ulama juga berperan besar dalam membangun fondasi
dan meletakkan dasar negara dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dengan melihat secara komprehensif perjalanan sejarah bangsa
Indonesia ini, ungkapan Jas Hijau dan Jas Merah memiliki kesatuan makna yang
merujuk pada substansi jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama. Sebab,
ulamalah yang membuat dan mengukir sejarah terbentuknya bangsa Indonesia ini.
Maka, jika ada yang mencoba merusak dan menghancurkan bangsa ini, niscaya ulama
akan berada dalam barisan terdepan untuk menghadang dan menghentikannya. Sebab,
ulama adalah pilar utama penyangga Indonesia.
Maka, jangan sekali-kali melupakan jasa ulama, juga janganlah
sekali-kali menghilangkan jasa ulama, karena tanpa ulama tidak akan ada sejarah
bangsa Indonesia ini. []
JAWA POS, 17 Oktober 2017
KH. M. Hasan Mutawakkil Alallah | Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar