Jumat, 27 Oktober 2017

Helmy Faishal Zaini: Agama dan Jihad Melawan Narkoba



Agama dan Jihad Melawan Narkoba
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

KITA sejatinya sedang menghadapi ancaman yang sangat besar. Ancaman sangat serius. Ancaman itu datang dari narkotika. Narkotika adalah common enemy yang harus kita lawan bersama. Dalam hemat saya, ada tiga kejahatan yang sangat serius mengancam kita, kriminalitas atau radikalisme siber, narkoba, dan terakhir aksi terorisme. Ketiganya saya urutkan berdasarkan gradasi dari yang paling cepat menyebarkan gerakannya sampai yang paling lambat persebarannya. Pada dasarnya kategori ini bermanfaat untuk memetakan pola gerakan, tindakan, serta pencegahannya. Tentu saja kadar bahayanya sama-sama besar. Namun, watak serta pola persebarannyalah yang dalam hemat saya butuh identifikasi teliti agar kita bisa dengan jernih merumuskan langkah pencegahan dan penanganannya.

Radikalisme siber artinya melalui persebaran media dalam jaringan sungguh sangat cepat. Beberapa kali Presiden Jokowi menegaskan media sosial memiliki dua sisi mata pisau: baik dan buruk. Watak kecepatannya itulah yang membuat kita kerap kewalahan.

Belum ada negara yang tercatat sukses mengontrol media sosial. Celakanya, jaringan radikalisme tumbuh bersemai dengan subur melalui jaringan online ini. Sebabnya mudah, sebuah isu bisa bergulir dan menggelinding begitu saja lewat media sosial. Sudah terbukti fenomena mutakhir bahwa banyak orang berbondong-bondong melakukan demonstrasi, melakukan aksi, bahkan persekusi.

Pada tulisan singkat ini saya ingin berkonsentrasi untuk menguak ancaman kedua, yakni narkoba. Ini persoalan yang sangat serius dan mendesak segera dirumuskan langkah dan penanganannya agar tidak semakin berkembang biak meracuni generasi masa depan bangsa. Hal yang diungkapkan banyak pemberitaan bahwa para bandar narkoba telah melakukan regenerasi pecandu merupakan alarm merah untuk kita semua. Menurut catatan BNN, jumlah pecandu narkoba memiliki tren naik setiap tahunnya. Persoalannya ialah kenaikan itu juga dibarengi dengan perubahan usia pemakai. Generasi muda sudah semakin banyak yang terjangkiti. Bahkan polanya sudah berubah, anak SD sudah ‘dicekoki’ narkoba dengan harapan kelak ketika menjelang dewasa, usia SMP dan SMA, mereka sudah menjadi pecandu.

Ada tiga kata kunci yang bisa dijadikan arsenal untuk menghalau persebaran narkoba. Pertama, pendidikan; kedua keluarga; dan ketiga, agama. Ketiganya harus berjalan bergandengan dan seirama. Jika salah satu elemen patah, bisa dipastikan yang lain akan terseok-seok. Jika Malala Yousafzai (2015) pernah mengatakan, “With guns we can kill terrorist, but with education we can kill terrorism”, lebih dari itu dalam hemat saya pendidikan yang baik juga akan dengan ampuh bisa membunuh dan mengamputasi genealogi peredaran dan jaringan narkoba yang selama ini sudah menggurita.

Pendidikan yang saya maksudkan tentu saja bukan selalu soal sosialisasi bahaya narkoba, penyuluhan, dan kegiatan lainnya. Namun, lebih dalam dari itu semua ialah pendidikan yang membentuk karakter serta membangun spirit peserta didik. Pendidikan yang berbasis pada apa yang disebut sebagai ‘penguatan mental’ atau dalam bahasa Presiden Jokowi diistilahkan sebagai revolusi mental. Ini penting saya kemukakan, sebab nyatanya pendidikan kita masih sangat kering nilai-nilai keteladanan. Padahal, esensi utama pendidikan ialah ‘change character’ atau perubahan perilaku. Transformasi perilaku merupakan indikator keberhasilan pendidikan. Maka tugas lembaga pendidikan ibarat mesin giling. Ia mengolah gandum dll menjadi bahan-bahan ‘berkarakter’ dan siap diadoni dan disajikan kepada masyarakat. Artinya, makna disajikan ini ialah kebermanfaatan individu di masyarakat. Itulah buah pendidikan.

Kedua, pada kutub yang berbeda, saya sepakat dengan apa yang dikatakan Nietzsche (1987), “Education happens in school, at home and between school and home.” Belajar bisa di mana saja, di sekolah, di rumah, atau pada ruang dan rentangan waktu antara rumah dan sekolah. Rumah atau keluarga memiliki peran sangat penting untuk merawat persemaian karakter yang sudah dibangun di sekolah. Keluarga yang baik ialah keluarga yang mengarahkan anak-anaknya menemukan dirinya. Penting untuk dicatat bersama bahwa ada lokus yang kerap menjadi ‘lubang’ kosong untuk menyemaikan karakter pada anak. Lokus itu ialah bentangan ruang dan waktu antara rumah dan sekolah. Pada bentangan ruang dan waktu inilah kita kerap kecolongan. Pendidikan kita kerap tidak hadir dan alpa dalam lokus ini. Akibatnya anak bisa bergaul dengan siapa pun. Sangat mungkin dari sini akar persebaran narkoba itu.

Ketiga adalah agama. Pada aspek ini saya ingin mengatakan bahwa agama memiliki lima prinsip utama, yakni menjaga nyawa, agama, harta, menjaga harta dan martabat, serta menjaga keturunan. Prinsip ini kita kenal dengan kulliyatul khoms. Berkelindan dengan narkoba, sejatinya ia melanggar dua prinsip dasar yakni menjaga nyawa dan keturunan. Narkoba jelas berbahaya sebab ia mengancam nyawa dan kelangsungan masa depan bangsa. Maka memeranginya sama dengan jihad. Jihad dalam konteks saat ini ialah berperang melawan narkoba.

Ketiga elemen itu tentu saja harus bahu-membahu bersama dengan pemerintah melakukan prevensi dan tindakan. Usaha-usaha yang sifatnya preventif dalam hemat saya bagaimanapun lebih baik bila dibandingkan dengan upaya yang bersifat penanggulangan. Dalam kaidah fikih disebutkan, ad daf’u aqwa minar raf’u. Menolak atau mencegah lebih baik jika dibandingkan dengan menghilangkan atau mengobati. Prinsip inilah yang harus tetap kita pegang. Mengamputasi genealogi persebaran jaringan narkoba harus dilakukan secara bersama melalui tiga elemen (pendidikan, keluarga, dan agama) yang disokong pemerintah, dalam hal ini BNPT. Generasi muda, anak-anak kita, adalah kekuatan dan tiang yang bisa dijadikan jaminan tegaknya suatu bangsa dan negara. Pemuda juga merupakan parameter untuk ‘meramalkan’, memprediksi, dan bahkan mengetahui nasib sebuah bangsa di masa depan. Jika generasi muda baik, masa depan bangsa itu baik. Sebaliknya, jika generasi muda bangsa itu buruk, bisa dipastikan masa depan bangsa itu pun demikian, muram dan tidak baik.

Ala kulli hal, Michel Lahti (2013) pernah menulis sebuah buku bertajuk Athfalul Yaum, Rijalul Ghad. Anak-anak masa kini ialah pemimpin-pemimpin masa depan. Kita harus menyiapkan sebaik-baiknya. Kita mengarahkan semaksimal mungkin agar mereka menemukan dirinya, terjaga dari bahaya yang merusak masa depannya. Masa depan mereka adalah masa depan sebuah bangsa. Wallahu a’lam bish showab. []

MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar