Menengok Toleransi
Beragama di Masa Majapahit
Judul
Buku : Gajah Mada: Madakaripura
Hamukti Moksa
Penulis
: Langit Kresna Hariadi
Tebal
: 574 halaman
Cetakan
: Keenam, Desember 2008
Penerbit
: Tiga Serangkai Solo
ISBN
: 979 33 0712 9
Peresensi
: M. Ilhamul Qolbi
Saling menghargai dan
menghormati sesama warga merupakan ajaran yang sudah diberikan oleh nenek
moyang kita sejak Indonesia belum bernama ‘Indonesia’. Hal itu bisa kita
ketahui dari kerajaan besar yang pernah berdiri dan berkembang pesat di wilayah
Nusantara seperti Majapahit pada sekitar abad ke-13 M.
Apakah kerajaan
Majapahit mengajarkan persatuan dan kesatuan? Hal itu bisa kita lihat dari
novel yang ditulis Langit Kresna Hariadi dengan Judul Gajah Mada. Buku Gajah
Muda merupakan cerita Kerajaan Majapahit dengan menyoroti kebesaran
Mahapatihnya, Gajah Mada. Buku ini terdiri dari lima seri dengan judul besar
yang sama, yaitu Gajah Mada.
Dari kelima seri buku
tersebut, buku Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa merupakan buku kelima
yang mengisahkan tentang Gajah Mada yang mengundurkan diri dari jabatan
Mahapatih. Pengunduran tersebut dikarenakan tragedi Perang Bubat yang menjadi
tragedi berdarah antara kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda Galuh. Tragedi
tersebut menyeret Gajah Mada yang pada saat itu bertindak sebagai Mahapatih
menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Sampai pada
akhirnya, Gajah Mada meninggalkan jabatannya dan yang pada awalnya mengambil
sumpah Hamukti Palapa untuk menyatukan Nusantara, kini memilih Hamukti Moksa di
tempat yang selanjutnya dinamakan Madakaripura.
Madakaripura
merupakan tanah perdikan milik mahapatih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.
Tanah perdikan tersebut saat ini lebih terkenal dengan air terjunnya yang
terletak di Dusun Branggah, Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang,Kabupaten
Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
Dalam novel tersebut,
terdapat cuplikan perisitiwa yang menunjukkan bagaimana kuatnya saling
menghormati dan menghargai pada masa Majapahit. Pengarang menceritakan
mahapatih Gajah Mada dalam perjalanannya saat menuju tanah perdikan mengalami
berbagai peristiwa. Salah satunya yaitu peristiwa yang terjadi di Perkampungan
Pamadan. Kampung Pamadan merupakan sebuah desa yang harus dilalui ketika akan
menuju tempat Madakaripura tersebut.
Saat itu, Gajah Mada
mendapati perkampungan dalam keadaan sepi. Padahal ketika beberapa kali
didatanginya merupakan tempat yang amat hidup dan penuh geliat. Gajah Mada
bertanya-tanya dalam hati. Ke mana perginya mereka. Untuk memastikan
penasarannya, ia memutuskan berbelok ke sebuah rumah. Namun, setelah mencoba
masuk ke dalam rumah, ia tidak mendapati seorang pun di sana. Akhirnya, Gajah
Mada memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah berpacu
dengan kudanya beberapa saat, ia melihat ada hal yang berbeda. Sebuah rumah,
merupakan satu-satunya rumah yang mengalami nasib berbeda, hangus terbakar dan
dengan kasat mata terlihat adanya jejak-jejak perusakan. Berbekal pengalaman
yang dimiliki sebagai mantan pasukan khusus Bhayangkara, ia mencoba menelusuri
jejak hangusnya tersebut.
Pada akhirnya, Gajah
Mada terbelalak melihat pemandangan yang mendebarkan dari ketinggian tempatnya
berada. Ia melihat sekelompok orang dalam sebuah barisan berhadapan dengan
kelompok lain yang bersikap sama. Dua kelompok itu terlihat seperti sedang
bersiap untuk berperang habis-habisan. Selanjutnya, mereka diketahui berasal
dari orang-orang yang berasal dari desa Saleces dan desa Pamadan.
Konflik itu tersulut
oleh peristiwa yang bermula dari anak gadis Ki Buyut Saleces yang dibawa lari
oleh Ki Pintasmerti. Hal itu sertamerta dilakukan akibat dari penolakan secara
mentah-mentah dari Ki Buyut Saleces, pemimpin dari desa Saleces, yang anak
gadisnya dipinang oleh Ki Pintasmerti, pemimpin dari desa Pamadan. Penolakan
itu mempunyai dua alasan. Pertama, anak gadisnya telah dijodohkan dengan
kerabat bangsawan Lumajang. Alasan kedua yaitu dari pihak Ki Buyut Saleces
beragama Syiwa, sedangkan Ki Pintasmerti menganut Budha. Akhirnya, imbas dari
perseteruan tersebut adalah bentrok dari kedua warga tersebut.
Sebelum terjadi
perpecahan yang menimbulkan korban, akhirnya Gajah Mada menampakkan diri di
tengah-tengah dua kelompok itu. Ia meminta keterangan lebih lanjut dari dua
pihak yang berseteru. Sampai pada akhirnya, ia mengetahui bahwa sebenarnya
kedua anak mereka saling mencintai. Namun, karena alasan yang sudah disebutkan
di atas, mereka akhirnya melakukan tindakan tersebut. Selain itu, Gajah Mada
juga terkejut dengan fenomena yang ada di warga Saleces, bahwa mereka semua
menganut Syiwa. Setelah Gajah Mada bertanya kepada warga, ternyata Ki Buyut
Saleces sebagai pemimpin melarang warganya menganut ajaran selain Syiwa. Jika
ada yang menganut Budha, Ki Buyut mengancam mereka.
Dari pengakuan
tersebut, pada akhirnya Gajah Mada dengan suara lantang menjelaskan bahwa
Majapahit memberikan pengakuan kepada agama Syiwa dan agama Budha serta meminta
kepada semua penganutnya untuk hidup rukun dan berdampingan. Hal itu semuanya
diatur dalam Tripaksa. Karena mereka udah melakukan kesalahan, mereka disuruh
menghadap ke kotaraja Majapahit untuk menghadap Prabu dan meminta hukuman yang
setimpal.
Pada akhirnya, dengan
karisma yang dimiliki oleh Gajah Mada, mereka menghadap kepada Prabu serta
meminta hukuman yang setimpal atas perbuatannya dalam melanggar aturan
toleransi yang terkandung dalam Tripaksa tersebut.
Gambaran yang
dilakukan oleh penulis buku ini membawa pembaca untuk menyelami kurun waktu
abad ke-13 M. Pembaca dapat memahami Majapahit secara historis, geneologis, dan
ideologis. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam kerajaan Majapahit juga dapat
pembaca temukan di dalam buku yang banyak menghadirkan rujukan buku sejarah dan
kitab kuno yang ditulis oleh Empu Prapanca secara otoritatif ini.
Kajian buku yang
mengupas habis sejarah kebesaran Majapahit pada masa mahapatih Gajah Mada ini,
menggambarkan betapa besar dan luasnya pengaruh yang disebarkan oleh nenek
moyang kita terdahulu. Bahkan, sebelum Pancasila lahir sebagai dasar negara,
fenomena kehidupan yang ditampilkan dalam buku ini sudah menerapkan itu semua.
Bahkan, sila ketiga menyebutkan bahwa negara kita menjadikan asas persatuan
sebagai landasan bangsa, hal itu sudah diajarkan jauh sebelum Indonesia menjadi
seperti sekarang. Persatuan itu tidak hanya kelompok-kelompok tertentu saja,
entah kelompok suku maupun agama, tetapi persatuan yang dibingkai melalui
keragaman budaya serta agama yang menjunjung tinggi toleransi.
Review buku secara
singkat ini tentu belum menghadirkan semua informasi dan gagasan penulis buku
secara utuh sehingga pembaca dapat memahami lebih jauh lagi dengan membaca
bukunya secara langsung. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar