Rekonsiliasi Fatah dan Hamas
Oleh: Zuhairi Misrawi
Inisiatif Fatah dan Hamas untuk menempuh jalur rekonsiliasi
merupakan kabar penting bagi masa depan Palestina. Momentum luar biasa telah
ditorehkan oleh kedua faksi terbesar di Palestina. Pasalnya, upaya apa pun
tidak akan bermakna apa-apa bagi kemerdekaan Palestina jika Fatah dan Hamas
tidak mau duduk bersama dalam satu meja untuk sebuah rekonsiliasi.
Perdana
Menteri Rami Hamdallah akan melaksanakan tugasnya di Jalur Gaza sebagai bukti
konkret jalan menuju rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas. Selama ini, Hamdallah
melaksanakan tugasnya di Tepi Barat akibat konflik dan perseteruan yang
berkepanjangan antara Fatah dan Hamas sejak 2007.
Rekonsiliasi Hamas-Fatah
Situasi global saat ini sangat menguntungkan Palestina. Faktanya,
Palestina telah dapat dukungan luas dari banyak negara, termasuk negara-negara
Eropa. Dalam sidang tahunan PBB terakhir, Palestina telah resmi menjadi anggota
interpol. Dalam sidang sebelumnya, Palestina disahkan sebagai anggota UNESCO
dan menjadi anggota pemantau non-anggota PBB yang kedudukannya sama dengan
Vatikan. Bendera Palestina pun berkibar di kantor PBB.
Namun, semua itu sia-sia belaka jika tidak didukung oleh Palestina
yang bersatu dan berdaulat. Problem yang paling akut dihadapi Palestina adalah
friksi dan fragmentasi politik di kalangan internal mereka yang tidak kunjung
mencapai kata mufakat untuk mengedepankan kepentingan Palestina. Problem ini
sebenarnya jadi batu sandungan serius bagi kemerdekaan Palestina. Ada dua
matahari kembar di Palestina: Fatah yang berkuasa penuh di Tepi Barat dan Hamas
di Jalur Gaza. Keduanya selama ini ibarat air dan minyak yang sulit
dipersatukan.
Karena itu, langkah besar yang diambil Fatah dan Hamas untuk
rekonsiliasi dan mewujudkan persatuan mendapatkan apresiasi luas. Mesir
memainkan peran yang sangat signifikan bagi terwujudnya rekonsiliasi.
Pertanyaannya, kenapa rekonsiliasi ini bisa terwujud dengan mulus?
Pertama, pada tahun 2014, Fatah dan Hamas sudah mencapai kata
sepakat untuk membentuk pemerintahan bersama. Namun, kesepakatan tersebut
terkendala perihal tidak tercapainya titik temu di antara kedua belah pihak
untuk membahas hal-hal krusial. Butuh waktu tiga tahun untuk menerjemahkan
kesepakatan dalam sebuah kenyataan.
Kembalinya PM Hamdallah berkantor di Jalur Gaza merupakan sebuah
kemajuan bagi upaya persatuan antara Fatah dan Hamas. Pemandangan tersebut
membuktikan bahwa tidak ada lagi matahari kembar di Palestina. Fatah dan Hamas
sudah memulihkan kembali hubungan yang retak di masa lalu.
Kedua, momentum persatuan warga Palestina dalam melawan
kesewenang-wenangan Israel, khususnya dalam peristiwa Masjid Al-Aqsha.
Perlawanan yang dilakukan warga Palestina terhadap Israel tanpa membawa bendera
kelompok merupakan tamparan serius bagi para elite Palestina yang saling
berseteru. Tanpa elite, sebenarnya warga Palestina mampu mengalahkan Israel.
Warga Palestina berhasil mempertahankan hak mereka untuk beribadah di kawasan
suci Masjid Al-Aqsha.
Secara simbolis, warga Palestina ingin mengatakan kepada Israel
bahwa jika Palestina merdeka pada suatu hari nanti, kawasan suci Masjid
Al-Aqsha akan menjadi ibu kota mereka. Israel yang sudah lama ingin menguasai
penuh kawasan Masjid Al-Aqsha harus menelan kekalahan karena adanya perlawanan
keras dari warga Palestina.
Momentum tersebut membuka mata hati para elite Palestina bahwa
pada tataran akar rumput warga Palestina jauh lebih maju dan dewasa dalam
bersikap. Mereka memikirkan kepentingan bersama Palestina. Mereka melakukan
perlawanan terhadap Israel tanpa membawa bendera kelompok dan golongan. Yang
mereka perjuangkan Palestina.
Oleh karena itu, Fatah dan Hamas sangat menggarisbawahi aspirasi
warga Palestina bahwa tak ada jalan lain mewujudkan kemerdekaan Palestina
kecuali melalui rekonsiliasi. Warga Palestina telah memberikan pelajaran
berharga bahwa yang ditakutkan oleh Israel adalah warga Palestina bersatu padu.
Peta geopolitik Timteng
Ketiga, peta geopolitik Timur Tengah mengalami perubahan
signifikan, khususnya sejak musim semi Arab. Negara-negara Arab menghadapi
masalah cukup akut akibat gagalnya konsolidasi demokrasi. Akibatnya, isu
Palestina kerap terbengkalai, bahkan hampir tak diperbincangkan lagi.
Terakhir, konflik antara Arab Saudi dan Qatar semakin membuka
kesadaran elite Palestina perihal perlunya untuk menentukan masa depan mereka
sendiri. Hamas yang selama ini mendapatkan sokongan penuh dari Qatar merasakan
dampak serius dari realitas politik tersebut. Hamas akhirnya tunduk pada Mesir
yang bertanggung jawab penuh atas perbatasan Rafah.
Mau tak mau, Hamas harus berpikir jauh ke depan untuk mempercepat
rekonsiliasi dengan Fatah. Apalagi kabarnya Hamas sedang menghadapi krisis
keuangan serius karena tekanan Fatah dan krisis politik yang melanda
negara-negara Teluk. Posisi Mesir yang saat ini bersama Arab Saudi menekan
Qatar berhasil meyakinkan Hamas dan memediasi rekonsiliasi dengan Fatah.
Apa pun, kabar rekonsiliasi Fatah dan Hamas merupakan peristiwa
yang sangat luar biasa. Gedung Putih, melalui Jason Greenblatt menulis dalam
laman Facebook, menyambut baik inisiatif tersebut karena Gaza akan di bawah
kendali Otoritas Palestina. Yang terpenting, menurut Gedung Putih, Pemerintah
Palestina tidak menggunakan kekerasan, mengakui negara Israel, dan mematuhi
kesepakatan bersama melalui negosiasi damai.
Memang tidak ada jalan lain bagi Fatah dan Hamas selain duduk
bersama di meja perundingan untuk menyamakan dan menentukan langkah-langkah
strategis untuk masa depan Palestina. Haluan baru politik Hamas yang mengakui
wilayah Palestina sesuai kesepakatan 1967 merupakan modal politik yang dapat
menjadi pijakan bersama untuk memulai perbincangan perihal agenda lain yang
tentu saja tidak mudah.
Dari perspektif Hamas, persoalan perbatasan, tersedianya listrik
yang cukup, dan gaji pegawai yang tertunda merupakan persoalan-persoalan yang
harus mendapatkan penyelesaian secara serius. Isu-isu ini melibatkan pihak
Israel yang selama ini menyediakan listrik, Mesir yang mempunyai otoritas penuh
atas perbatasan Rafah, dan pihak otoritas Palestina yang bertanggung jawab
penuh atas gaji pegawai.
Perbincangan agenda-agenda tersebut sangat terkait dengan isu
sentral yang tak mudah dipecahkan, yaitu adanya pengakuan resmi Palestina
terhadap Israel. Hamas dan Jihad Islami merupakan dua faksi yang sangat keras
terhadap Israel. Hingga sekarang keduanya punya ideologi politik yang secara
eksplisit tidak mengakui eksistensi Israel.
Karena itu, rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas akan memasuki
pembahasan yang rumit di masa mendatang. Perlu kedewasaan dan kemampuan para
elite Palestina untuk memahami realitas politik, dan sekali lagi mengedepankan
kepentingan Palestina di atas segala-galanya. []
KOMPAS, 10 Oktober 2017
Zuhairi Misrawi | Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah di The
Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar