Senin, 23 Oktober 2017

(Hikmah of the Day) Memilih Berdamai dengan Tikus



Memilih Berdamai dengan Tikus

Kasih sayang Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)—biasa dipanggil Mbah Ngis— kepada sesama manusia sulit dibantah karena sejarah hidup beliau amat dekat dengan kisah-kisah seperti itu. Misalnya, bagaimana Mbah Ngis banyak bergaul dan memberikan sedekah kepada orang-orang lemah seperti pengemis, janda miskin, buruh,  para santri yang kehabisan uang, dan sebagainya. Namun, belum banyak orang mengetahui bahwa Mbah Ngis juga bisa “berdamai” dengan binatang tertentu yang umumnya orang ingin membinasakannya karena kesal. Apalagi ada ajaran  yang menyatakan binatang itu boleh dibunuh, yakni tikus, sebagaimana hadits berikut:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحِلِّ وَالْحَرَمِ الْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الأَبْقَعُ وَالْفَارَةُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ وَالْحُدَيَّا

Artinya: Lima (hewan) perusak yang boleh dibunuh di luar tanah suci dan di tanah suci yaitu: ular, gagak, tikus, serigala dan rajawali. (Muttafaqun ‘alaihi)

Mbah Ngis sadar betul bahwa membinasakan tikus dari dalam rumah tidak mudah. Jika dengan cara diracun, pasti bisa mati di mana saja, termasuk di atas atap atau “pyan” rumah. Jika matinya di tempat sulit seperti itu maka mengambil bangkainya sering kali tidak mudah dan baunya bisa sangat mengganggu. Jika menggunakan jebakan berupa per atau kurungan pasti berarti menggunakan kekerasan untuk membunuhnya atau dengan menenggelamkannya ke dalam air. Sebagai perempuan, Mbah Ngis sering kali merasa tidak sampai hati melihat tikus-tikus dibunuh dengan cara-cara seperti itu. 

Menyadari permasalahan-permasalahan tersebut, Mbah Ngis memilih “berdamai”. Dalam pandangan Mbah Ngis tikus-tikus itu naik ke meja atau masuk ke almari makan hanya untuk mencari makan. Di sini Mbah Ngis berpikir tikus-tikus itu sejatinya tidak bermaksud mengganggu manusia atau merusak barang-barang miliknya. Mereka hanya mencari makan atau rezeki yang oleh Allah SWT  memang sudah dijamin ketersediaannya. 

Jadi apa yang dilakukan tikus-tikus itu, dalam pandangan Mbah Ngis, hanyalah berikhtiar menemukan rezeki dari  Sang Khalik  untuk dimakan bersama anak-anaknya. Maka, bagi Mbah Ngis,  persoalannya adalah bagaimana tikus-tikus itu dapat menemukan rezekinya  secara mudah sehingga tidak perlu keluyuran ke atas meja atau membobol almari makan. Mbah Ngis cukup paham apa yang dimakan manusia biasanya tikus juga mau memakannya. Karena itulah banyak tikus memilih indekos gratis di rumah-rumah manusia. 

Jika seperti itu permasalahannya, maka sebetulnya ini hanyalah masalah berbagi rezeki dengan sesama makhluk. Allah SWT menjamin ketersediaan rezeki bagi setiap makhluk yang diciptakan-Nya sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, surah Hud, ayat 6:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.”

Untuk itu Mbah Ngis setiap malam memberikan jatah untuk tikus dengan cara menaburkan makanan di bawah kolong meja dan almari. Jatah itu  diambilkan dari makanan keluarga. Maksud Mbah Ngis adalah untuk mempermudah mereka menemukan makanannya. Pagi harinya Mbah Ngis memeriksa kolong meja dan almari apakah masih ada makanan yang tersisa. Jika masih ada, Mbah Ngis akan segera membersihkannya dan akan menaburkan lagi makanan di situ pada malam harinya. Pada saat yang sama Mbah Ngis membiarkan kucing-kucing dari mana pun asalnya keluar masuk rumah siang dan malam mencari tikus-tikus itu untuk dimangsa. 

Walhasil, populasi tikus di dalam rumah Mbah Ngis mengalami penurunan dari waktu ke waktu hingga mencapai jumlah wajar. Sebagian besar tikus muda atau kecil berhasil  dimangsa oleh kucing-kucing yang selalu siap memangsanya kapan saja. Itu juga adalah rezeki bagi mereka yang telah dijamin ketersediannya oleh Sang Khalik sebagaimana ditegaskan-Nya di dalam Al-Qur’an, surah Hud, ayat 6 di atas. Sementara tikus-tikus besar yang kurang diminati kucing-kucing itu mati dengan sendirinya karena faktor usia.  Kullu nafsin dzaiqatul maut (tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati). []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar