Islam Dan Kesejahteraan Rakyat
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam ushul fiqh (teori Hukum Islam), dikemukakan keharusan
seorang pemimpin agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, sebagai
tugas yang tidak dapat tidak harus dilaksanakan: “kebijaksanaan dan tindakan
Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang
dipimpin” (tasyarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuutun bi al-maslahah),
menetapkan hal ini dengan sangat jelas. Tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu
sendiri, melainkan sesuatu yang lain, yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan
(al-maslahah). Prinsip kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan
kata “kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen Harvard dan
mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk India, sebagai “the affluent
society”.
Dalam bahasa pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata
kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan lain, yaitu masyarakat sejahtera
yang dirumuskan dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah tujuan dari
berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus
berikut: hak setiap bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, guna
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna
mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan
bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan/keadilan-kemakmuran
sebagai sesuatu yang esensial bagi kehidupan kita.
Dalam hal ini, menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan oleh ushul-fiqh. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, akan merusak rumusan tujuan bernegara tersebut?
*****
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian menjadi
sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negara-negara teluk lainnya
telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negeri-negeri tersebut
masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada
keadilan hukum belaka, hingga keadilan politik dan budaya belum terwujud.
Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah negara-negara tersebut
demokratis ataukah belum?. Memang terasa, jawaban atas pertanyaan di atas
bersifat sangat pelik, apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah
pertanyaan besar: benarkah demokrasi berdasarkan hak bersuara bagi tiap
individu (one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi yang
sesungguhnya?Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar ia dibicarakan
secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum muslimin. Haruskah kita menerima
pencapaian kesejahteraan dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai
persyaratan demokrasi? Jawaban yang sungguh-sungguh dan benar-benar berbobot
akan menentukan nilai wacana kaum muslimin atas hal ini, hingga kesimpulan yang
didapatpun akan mempunyai nilai penuh bagi kehidupan kita. Pemikiran yang jujur
tentang hal ini memang sangat diperlukan, jika diinginkan wacana itu sendiri
mempunyai nilai dan arti yang tinggi.
Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting
bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi kaum santri yang
melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya arti upaya
tersebut dapat dilihat pada tidak tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di
negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh
negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru-paru dunia,
kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut yang kini banyak dicuri orang.
Kegagalan mencapai kesejahteraan hidup bagi rakyat banyak itu, dapat
dikembalikan sebabnya kepada kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak
kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang
kaya/cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.
*****
Karena eratnya hubungan antara kebijakan/tindakan pemerintah di
bidang ekonomi dan pencapaian kesejahteraan, jelas bagi kita ajaran Islam
memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini.
Dikombinasikan dengan korupsi dan pungutan-pungutan liar yang ada maka secara
keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset kekayaan bangsa,
dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan
yang merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menunjukkan
keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi dalam upaya mencapainya.
Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di
bawah garis kemiskinan atau tidak jauh dari garis tersebut. Inginkah kita hal
itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Jelaslah bagi kita bahwa, pencapaian kesejahteraan yang merata
bagi seluruh bangsa kita, merupakan amanat agama juga? Bukankah kita menjadi
berdosa jika hal ini dilupakan dan kita tetap tidak melakukan perbaikan?
Bukankah penjualan tanah dan aset-aset lain di pedesaan kita oleh rakyat kecil,
sekedar untuk memperoleh makanan saja, pada saat tulisan ini dibuat, merupakan
kejahatan agama yang tidak dapat dimaafkan?Jawaban atas rangkaian pertanyaan di
atas, membawa kita kepada keharusan menempuh kebijakan dan tindakan baru di
bidang ekonomi: pengembangan ekonomi rakyat dalam bentuk memperluas dengan
cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Dalam hal ini, segenap sumber-sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya
tersebut, yang berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Ini tidak
berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri
sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun.
Selain itu, kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan
permodalan swasta dalam dan luar negeri. Jelaslah dari uraian di atas, upaya
menegakkan ekonomi rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau
ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran Islam dan
pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut UUD 1945 adalah sesuatu yang
esensial bagi kita. Tanpa hal itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan
dengan kedua-duanya. Cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat sulit dalam
pelaksanaan, untuk melakukan upaya banting setir/kemudi di bidang ekonomi,
bukan? []
Jakarta, 1/6/2002
KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syura DPP PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar