Doa Kiai Subchi
Parakan saat Menyepuh Bambu Runcing
Perjuangan keras
mengusir penjajah dengan taruhan jiwa dan raga terus dilakukan oleh rakyat
Indonesia terutama peran kiai dan para santri yang turut menguatkan sugesti
spiritual untuk berjihad melawan penjajah sekaligus menguatkan jiwa nasionlisme
sebagai pondasi membebaskan tanah air dari belenggu kolonialisme. Berbagai
langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata tradisional,
bambu runcing.
Karakternya yang
tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas membuat para pejuang berhenti berikhtiar
untuk mengisi bambu runcing dengan kekuatan doa dari seorang ulama sepuh dari
daerah Parakan, Magelang, Jawa Tengah, Kiai Haji Subchi yang pada tahun 1945
telah berusia 87 tahun.
KH Subchi mempunyai
nama lahir Mohamad Benjing. Setelah berumah tangga namanya berganti menjadi R.
Somowardojo. Namanya mengalami perubahan lagi setelah menunaikan ibadah haji,
yaitu Subchi. Ia lahir di Parakan, Temanggung, 31 Desember 1858, juga meninggal
di tempat kelahirannya tersebut pada 6 April 1959 saat ia berusia 100 tahun.
Pada masa perang
mengusir sekutu di Surabaya dan sejumlah daerah lainnya, ratusan bahkan ribuan
tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman
dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu
Runcing tersebut.
Doa yang diucapkan
oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut
(Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya
hafidhu, Allahu Akbar
Dengan
nama Allah
Ya
Tuhan Maha Pelindung
Allah
Maha Besar
Kisah penyepuhan
bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin
Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren. Dalam salah satu buku
memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi
perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10
November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara
Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.
Dari peperangan
tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa
antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di
sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengan niat jihad fi
sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan
penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama
pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.
Setelah berhasil
bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di
Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih
dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri dengan
berbagai macam ilmu kekebalan dari seorang ulama tersohor di daerah Parakan,
Kiai Haji Subchi.
Didorong semangat
jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad NU serta
kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan
cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan
Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan bambu runcingnya
dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ oleh doa Kiai Subchi. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar