Rabu, 18 Oktober 2017

Doa Kiai Subchi Parakan saat Menyepuh Bambu Runcing



Doa Kiai Subchi Parakan saat Menyepuh Bambu Runcing

Perjuangan keras mengusir penjajah dengan taruhan jiwa dan raga terus dilakukan oleh rakyat Indonesia terutama peran kiai dan para santri yang turut menguatkan sugesti spiritual untuk berjihad melawan penjajah sekaligus menguatkan jiwa nasionlisme sebagai pondasi membebaskan tanah air dari belenggu kolonialisme. Berbagai langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata tradisional, bambu runcing.

Karakternya yang tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas membuat para pejuang berhenti berikhtiar untuk mengisi bambu runcing dengan kekuatan doa dari seorang ulama sepuh dari daerah Parakan, Magelang, Jawa Tengah, Kiai Haji Subchi yang pada tahun 1945 telah berusia 87 tahun.

KH Subchi mempunyai nama lahir Mohamad Benjing. Setelah berumah tangga namanya berganti menjadi R. Somowardojo. Namanya mengalami perubahan lagi setelah menunaikan ibadah haji, yaitu Subchi. Ia lahir di Parakan, Temanggung, 31 Desember 1858, juga meninggal di tempat kelahirannya tersebut pada 6 April 1959 saat ia berusia 100 tahun.

Pada masa perang mengusir sekutu di Surabaya dan sejumlah daerah lainnya, ratusan bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing tersebut.

Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):

Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar
Dengan nama Allah 
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar

Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren. Dalam salah satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.

Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengan niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu.

Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke medan pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun sebelum berangkat, mereka terlebih dahulu mampir ke Kawedanan Parakan guna mengisi dan memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari seorang ulama tersohor di daerah Parakan, Kiai Haji Subchi.

Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad NU serta kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan bambu runcingnya dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ oleh doa Kiai Subchi. []

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar