Kisah Santri Putri
yang Akhirnya Jadi Kiai
Di kantor PWNU Jawa
Timur, sewaktu masih di Jalan Darmo 96 Surabaya, Kiai Imron Hamzah ketamuan
wartawan yang menanyakan masalah mahram bagi kaum "khuntsa" ketika
mereka menunaikan ibadah haji.
Kiai Imron
menjelaskan bahwa untuk menetapkannya, lihatlah kecenderungan sehari harinya.
"Kalau dalam kesehariannya itu lebih dominan perilaku laki-lakinya, maka
dia dihitung laki-laki."
"Kalau dalam
kesehariannya lebih dominan perilaku perempuan, maka dihitung perempuan."
Persoalan terjadi
ketika ada orang yang "angin-anginan" yang disebut "khuntsa
musykil". Pagi kelihatan perilaku laki-laki, lha kok sorenya
berperilaku perempuan. Namanya saja "musykil" jelas sulit
menentukannya.
Terkait "khuntsa
musykil" ternyata Kiai Imron punya cerita.
Pada masa Kiai Imron
nyantri di Peterongan, Jombang Kiai Imron mendapat kebebasan dari Kiai Romli
Tamim untuk bisa keluar masuk ndalem. Hal itu karena hubungan baik Kiai Hamzah
(Abahnya Kiai Imron) dengan Kiai Romli.
Di pesantren putri,
Kiai Imron mendapati seorang santri yang badannya gempal dan suaranya
menunjukkan maskulinitas. Tapi dia dimasukkan santri putri karena perilakunya
yang menunjukkan feminin.
Setelah beberapa
tahun berlalu, di Bandara Juanda Kiai Imron ditemui seseorang yang dipanggil
kiai oleh para santrinya. Sang kiai tersebut menerangkan bahwa ia adalah santri
putri di Pesantren Peterongan. Sontak Kiai Imron kaget, dan beliau bertasbih.
Kenyataan itu
memberikan penegasan bagi Kiai Imron bahwa kecenderungan "khuntsa"
itu memang bisa berubah-ubah. Sehingga seorang santri putri pada akhirnya bisa
menjelma jadi kiai. []
(Muhammad Nuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar