Kealiman Syekh Muhammad Ahyad Bogor Bergema
di Masjidil Haram
Muhammad Ahyad Al-Bughuri dikenal sebagai
ulama yang multi dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan. Meskipun sudah
diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, Ahyad masih mengaji kepada
Masyayikh Haramain, khususnya Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri. Ketika Syekh
Mukhtar wafat, Ahyad diminta untuk menggantikan posisinya dalam mengajar
berbagai disiplin keilmuan di Masjidil Haram. Halaqahnya terbilang besar. Ada
sekitar 300 thalabah yang setia mendengarkan butiran ilmu darinya. Selain
mengajar di Masjidil Haram, Ahyad juga mengajar di Masjid an-Nabawi dan
memimpin majlis dzikir di Makkah.
Muhammad Ahyad lahir di Bogor, Jawa Barat
pada malam Rabu tanggal 21 Ramadhan 1302 (1884). Ia adalah putra dari Kiai
Muhammad Idris ibn Abi Bakar bin Tubagus Mustofa al-Bakri al-Bughuri.
Dalam mendidikan putra-putrinya, Kiai Idris
sangat mengutamakan pengajaran agama dibanding dengan yang lainnya. Ketika
sendi-sendi ajaran Islam sudah tertanam baik, maka Kiai Idris memerintahkan anaknya
seperti Ahyad untuk mengkaji pelajaran umum supaya antara ilmu agama dan umum
dapat selaras dan seimbang. Mulanya Ahyad menerima didikan ilmu agama dari
ayahnya dan ulama-ulama yang ada di daerahnya. Dasar-dasar ilmu agama Islam
seperti membaca Al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Hadist, dan lain-lain
dikuasainya dengan baik. Metode menghafal, sorogon, dan bandongan selalu
menjadi makanan keseharian Ahyad ketika masih dalam prosesi belajar di kampung
halamannya.
Untuk sekolah umum, Kiai Idris memasukkan Ahyad
di Volk School hingga tamat di Meer Uietgebreid Leger Orderwijs (MULO), yakni
sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP. Di sekolah buatan Belanda
ini, Ahyad dapat menguasai bahasa Belanda, Matematika, Biografi, dan ilmu umum
lainnya.
Pada tahun 1899, saat umur Ahyad 15 tahun, ia
berangkat ke Haramain untuk mematangkan keilmuannya kepada ulama yang menggelar
halaqah di Masjidil Haram. Rihlah ini sudah menjadi idamannya sejak kecil,
sebab ayahnya sering bercerita tentang kelebihan belajar di Haramain dibanding
dengan yang lainnya. Terlebih di sana, sang ayah mempunyai sahabat yang menjadi
pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syekh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri.
Kegiatan belajar mengajar di Haramain sangat berbeda jauh jika dibandingkan
dengan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Kompeni selalu mengawasi setiap
kegiatan agama Islam yang dianggapnya berbahaya semenjak terjadinya perlawanan
para Kiai Banten pada 1888 yang dikenal dengan pemberontakan Cilegon.
Pemberontakan ini terjadi sebab kompeni telah menghina sebagian ajaran Islam
dan kelakuannya yang selalu menyensarakan rakyat petani.
Setibanya di Haramain, Ahyad ikut bergabung
dengan halaqah Masyayikh Haramain, baik yang ada di Masjidil Haram, Masjid
an-Nabawi, dan di kediaman mereka. Di antara guru Ahyad ketika belajar di
Haramain adalah Syekh Muhtar ibn Atharid al-Bughuri, Syekh Baqir ibn Muhammad
Nur al-Jukjawi, Syekh Ahmad Sanusi, Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan
al-Madani, Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan (putra Syekh Ahmad
Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani), dan Syekh Muhammad Abdul Hayyi
al-Kittani. Kepada ulama Haramain ini, terlebih Syekh Mukhar yang menjadi
umdah-nya (guru sandaran utamanya), Ahyad mendalami ilmu Fiqih Syafii, Tafsir,
Hadist, Ushul, Faraidh, Falak, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Arûdh. Jika sudah
menghatamkan satu disiplin ilmu dari awal hingga akhir, maka Syekh Mukhtar akan
membacakan sanad atau silsilah keilmuan kitab tersebut kepada santri-santrinya
termasuk Ahyad.
Dengan penuh ketekunan dan kesungguhan, Ahyad
mempelajari apa yang transmisikan oleh Masyayikh Haramain. Ia kelihatan lebih
menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kealiman yang tersemat dalam
dirinya, Syekh Mukhtar mengusulkan kepada Masyayikh Masjidil Haram agar
mengikut sertakan Ahyad dalam mengajar di tempat yang penuh dengan keberkahan
tersebut. Usulan tersebut diterima. Akhirnya Ahyad diberi amanah untuk ikut
mengajar di Masjidil Haram pada 1346 H (1927), tepatnya di Bab al-Nabi Muhammad
SAW Adapun waktunya adalah sebelum shalat Dzuhur, sesudah shalat Shubuh,
sesudah shalat Magrib, dan sesudah shalat Isya. Untuk materi yang diajarkan
adalah bermula tentang seputar Faraidh dan Fiqih asy-Syafii.
Meskipun Ahyad sudah diangkat menjadi
pengajar di Masjidil Haram, ia tetap merasa masih haus dengan kajian keilmuan.
Ia sering mendatangi halaqah Masyayikh Haramain, terlebih Syekh Mukhtar hingga
akhir hayatnya (1930). Ketika Syekh Mukhar wafat, maka Ahyad diamanahi untuk
menggantikan posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram yang mempunyai
tanggung jawab banyak dalam mengajar berbagai disiplin ilmu, sebab ia adalah
Masyayikh Haramain yang halaqahnya paling ramai dihadiri di Masjidil Haram,
yaitu ada sekitar 400 thalabah dari penjuru dunia, khususnya kalangan Jawah
(Asia Tenggara/ Melayu).
Ketika tugas Syekh Mukhtar dilimpahkan kepada
Ahyad, maka kebanyakan santri-santrinya pindah belajar kepadanya. Halaqah Ahyad
meskipun tidak seramai dengan halaqah Syekh Mukhtar, namun terbilang besar
sebab dihadiri sekitar 300 thalabah. Di antara santrinya yang menjadi ulama
besar adalah Syaik Husein al-Palimbani, Syekh Abdul Qodir ibn Muthalib
al-Mindili, Syekh Sodiq ibn Muhammad al-Jawi, Syekh Zakaria Bela, Syekh Yasin
ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhsin ibn Ali al-Musawa, Sayyid Hamid ibn Alawi al-Kaff,
Syekh Zain ibn Abdullah al-Baweani, dan Syekh Abdul Karim al-Banjari.
Saat mengajar santri-santrinya, Ahyad sering
mempraktikkan sebagian amalan ibadah yang perlu untuk dipraktikkan, seperti
tayamum, maka Ahyad mengambil debu suci untuk bertayamum yang dikerjakan di
hadapan santri-santrinya yang sesusai dengan apa yang ia pelajari dari
guru-gurunya hingga sanadnya muttasil sampai Rasulullah SAW. Praktikum juga
dilakukan Ahyad ketika mengajar Falak dengan pedoman kitab karya Syekh Mukhtar
yang berjudul al-Rubu’ al-Mujayyab.
Untuk mengetahui nama bintang-bintang yang
ada di langit, Ahyad mengajak santri-santrinya supaya mengamati langsung dengan
mata telanjang atas pemandangan langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang
yang beraneka ragam. Metode mengajar Ahyad ini, yakni teori dan praktikum telah
diwarisi oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Syekh Yasin ibn Isa
al-Fadani yang sering mengajak santrinya untuk mengamati bintang-bintang di
padang pasir ketika matahari tenggelam hingga waktu fajar menyongsong.
Dikenalkanlah nama-nama bintang dan planet satu persatu dan tanda-tanda yang
melekat padanya.
Mengenai sumbangsih Ahyad dalam mengajar ilmu
di Masjidil Haram, Syekh Yasin al-Fadani berkata, “Kitab-kitab yang diajarkan
oleh Syekh Muhammad Ahyad Al-Bughuri di Masjidil Haram seperti halnya Jâmi
al-Tirmidzî, Iqna’ li al-Khatîb al-Syarbinî, Umdatu al-Abrâr fi al-Manâsiki
al-Hajji wa al-Umrah, Syarah ibn Aqîl ala al-Fiyah ibn Malik, Mandzumâtu
al-Qawâ’idu al-Fiqhiyyah, al-Mawâhibu al-Staniyyah Syarh Mandzumâtu al-Qawâ’idu
al-Fiqhiyyah, dan Risâlah Adab wa al-Bahats.”
Saat mengajar di Masjidil Haram, banyak
thalabah yang terkesan dengan materi yang disampaikan Ahyad. Mereka merasakan
betul bagaimana petuah keilmuan Ahyad merasuk dalam hati sanubari. Tiada
bosan-bosan mereka menghadiri majlis Ahyad. Karena merasa masih haus dengan
keilmuan Ahyad, maka sebagian thalabah, khususnya yang dari Melayu,
Indonesia-Malaysia meminta jadwal tambahan agar Ahyad berkenan membuka majlis
taklim di kediamannya. Akhirnya permintaan itupun disanggupinya.
Gema kealiman Ahyad yang menjadi bahan
pembicaraan ahlu al-ilmi di kalangan ulama dan thalabah Makkah terdengar hingga
ke Madinah al-Munawarah, tempat yang pernah disinggahinya dalam menuntut ilmu
kepada ulama terkemuka di sana, yaitu Syekh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan
al-Madani dan Syekh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani. Oleh sang guru
yang merupakan ulama terhormat di Madinah, Ahyad diminta untuk ikut serta
mengajar di Masjid an-Nabawi. Dengan penuh ketaatan, Ahyad menjalankan titah
yang diperintahkan gurunya.
Amanah yang diemban Ahyad selama berkiprah di
Haramain tidak hanya mengajar, akan tetapi ia juga aktif memimpin majlis dzikir
dan menyampaikan mawaid yang dahulunya dipimpin oleh gurunya, Syekh Mukhtar
Atharid. Majlis dzikir peninggalan Syekh Mukhtar ini jamaahnya mayoritas
mengikuti tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah. Ahyad menerima baiatan tarekat
tersebut dari Syekh Mukhtar dan ia juga diangkat menjadi khalifahnya
(penggantinya).
Hampir semua tugas yang diemban Syekh Mukhtar
dilimpahkan kepada Ahyad, sebab selain dirinya adalah santri kesayangannya, ia
juga adalah menantu Syekh Mukhtar. Ketika membina rumah tangga dengan putri
Syekh Mukhtar, Ahyad dikarunia keturunan 7, di antaranya adalah Muhammad
Thayyib, Idris, Sa’dullah, dan Abdullah.
Dalam sumbangsih masalah keilmuan yang
dituangkan ke dalam karya tulis, Ahyad pernah mengarang beberapa kitab di
antaranya adalah, Ta’lîqat alâ Kitab Jâmi al-Tirmidzî, Hasiyah alâ al-Kitab
Umdati al-Abrâr fi Manâsiki al-Hajji wa al-I’timâr li Sayyid Ali al-Wanâ’i,
Ta’liqatu ala Nadzmi al-Qawâ’idi al-Fiqhiyyati, dan Tsabat bi Asânidihi.
Karya-karya ini dan beberapa kitab koleksi pribadinya, banyak yang diwakafkan
di Madrasah Dar al-Ulum supaya bisa bermanfaat lebih luas.
Dalam kesehariannya, Ahyad sering menggunakan
waktunya untuk kemanfaatan, seperti mengajar, belajar, beribadah, dan mengarang
sebuah kitab. Aktifitas mulianya ini dijalani hingga ia kembali ke Rahmatullah
pada malam Sabtu tanggal 9 bulan Shafar 1372 (1952) dengan usia kurang lebih 70
tahun. Ia dimakamkan di Ma’la. []
Penulis adalah dosen Sejarah Islam Nusantara
di STIBI Syeikh Jangkung
(Amirul Ulum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar