Senin, 30 September 2019

(Do'a of the Day) 01 Safar 1441H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Rabbanaaa aamannaa bimaaa anzalta wattaba’ narrasuula faktubnaa ma’asy syaahidiina.

Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).

Dari QS. Ali Imran, Juz 3, Surat ke-3, Ayat 53.

(Buku of the Day) Hafal Al-Quran Semudah dan Secepat Ngopi (Kisah Inspiratif Assabiqunal Awwalun PP Hamalatul Qur'an)


Kisah Pecandu Mobil Legend yang Akhirnya Jadi Penghafal Al-Qur’an


Judul                : Hafal Al-Quran Semudah dan Secepat Ngopi (Kisah Inspiratif Assabiqunal Awwalun PP Hamalatul Qur'an)
Pengarang         : M. Fuad Hasyim, M. Faiq Faizin dkk
Penerbit             : Imtiyaz, Surabaya
Cetakan             : I, April 2019
Tebal                 : xxii+247 hlm
ISBN                  : 978-602-5779-16-9
Peresensi          : Halimatus Sa’adah, dosen Universitas Darul Ulum dan guru SMKN 2 Jombang. Alamat: Kantor SMKN 2 Jombang, Jalan Bupati RAA Soeroadiningrat No. 6 Jombang 61411. E-mail: imahalima39@gmail.com.


Keberadaan Pondok Pesantren Hamalatul Quran (PPHQ) menyita perhatian banyak pihak. Tidak hanya di kalangan umat Islam di Jombang, namun juga se-JawaTimur. Bahkan mungkin se-Indonesia.

PPHQ berlokasi di Desa Jarak Kulon, Kecamatan Jogoroto, Jombang, Jawa Timur. Pondok khusus tahfidz ini didirikan oleh KH Ainul Yaqin. Kiai yang akrab disapa Mbah Yaqin tersebut adalah alumni Madrasatul Qur’an Tebuireng. Dari segi sanad keilmuan, termasuk dalam bidang tahfidz, MbahYaqin memiliki garis yang jelas.

Latar belakang para santri calon hafidz di pesantren ini bervariasi. Mulai siswa SLTA, SLTP, bidan, PNS, sarjana hingga guru. Meski baru berdiri tujuh tahun, sekarang PPHQ memiliki sedikitnya dua ribu santri. Itu belum termasuk yang mukim di beberapa PPHQ cabang.

Ketertarikan banyak orang membincang PPHQ lebih disebabkan metode yang digunakan. Biasanya proses menghapal Al-Qur’an membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Di PPHQ, hanya dalam waktu enam bulan. Bahkan kebanyakan hanya dalam waku empat bulan. Subhanallah.

Metode akselerasi yang “kurang umum” ini menarik banyak kalangan. Tidak heran jika santrinya banyak yang dari luar Jawa. Bahkan ada yang dari Singapura. Mulai tahun 2018  kemarin, PPHQ membuka cabang di Ringin Agung Kepung, Kediri. Unit ini khusus untuk santri putri. Pengasuhnya adalah Ustadz Faiq Faizin, lulusan angkatan pertama PPHQ Jombang.

Buku Hafal Al-Qur’an Semudah dan Secepat Ngopi ini menjawab banyak pertanyaan dan penasaran khalayak tentang program tahfidz versi PPHQ. Buku ini ditulis oleh 67 santri berisi kisah dan pengalaman mereka selama menghafal Al-Qur’an di PPHQ. Ini adalah kumpulan tulisan dari para santri generasi awal atau dikenal dengan sebutan assabiqunal awwalun.

Kisah yang ditampilkan bukan sebuah skenario yang dibuat agar menarik untuk dibaca. Akan tetapi, itu semua adalah hasil pengalaman pribadi mereka yang berkesan untuk dapat diceritakan kepada khalayak lewat tulisan. Tentu saja tulisan mereka menggunakan gaya bahasa masing-masing yang khas sebagai seorang santri.

Banyak kisah mereka yang mengharu biru dan inspiratif dalam proses menjadi hafidz dan hafidzah di PPHQ. Kunci sukses tahfidz di PPHQ terletak pada program kegiatan akselerasi yang tidak biasa. Mulai kegiatan ziyadah, murajaah, shalat tahajjud dan shalat dhuha dengan maqra setengah juz, setoran bin nadhar, bil ghaib, dzikrul Quran satu juz hingga fammy bisyauqin. Kegiatan terakhir ini semacam muraqabah untuk membaca lima juz sekali duduk dengan tartil.

Untuk melancarkan hafalan, santri diwajibkan mengikuti kegiatan tahunan. Yaitu menjadi imam shalat tarawih dengan maqra 30 juz di berbagai masjid. Baik masjid di desa sekitar maupun masjid pondok yang menjalin kerja sama. Ini juga mengasah mental para santri calon hafidz.

Proses menghafal dengan durasi yang cepat, menjadikan santri sering dihinggapi rasa jenuh. Bahkan bosan, malas, mengantuk dan keinginan untuk berhenti mengikuti program, seolah menjadi “makanan keseharian” santri. Termasuk ada yang sakit dan harus pulang selama satu bulan untuk penyembuhan.

Berbagai tantangan itu ternyata dialami oleh hampir semua santri. Namun itu diantisipasidengan pola asuh kiaidan para ustadz yang penuh perhatian dan cara komunikasi yang baik. Sehingga, kesulitan tersebut dapat segera diatasi. Santri akhirnya menjadi kembali kepada tujuan awal mereka untuk menjadi seorang hamilil Quran lafdhan wa ma’nan wa amalan

Ada ungkapan yang menjadi motto di pondok ini.Yaitu Allahumma pekso. Ini didasari karena menghafal Al-Qur’an bukan masalah bakat atau tidak. Tapi siapa yang mau dialah yang bisa. Para santri sangat terkesan dengan dawuh sang pengasuh ini. Semua berawal dari beban dan paksaan hingga akhirnya menjadi cinta.

Buku ini cukup menarik untuk dibaca. Dengan bermacam latar belakang mereka sebelum menghafal Al-Qur’an, isi buku ini makin berwarna. Sebut saja Karyn Shabrina Lym, santri dari Singapura dengan julukan Queen of Mobile Legend. Awalnya dia seorang pecandu game online mobil legend. Akhirnya membulatkan tekad untuk hijrah menghafal Al-Qur’an, karena ingin membanggakan kedua orang tuanya.

Cerita menarik lainnya dari Ainaul Rizki. Dia seorang bidan lulusan D-3 Poltekes Kemenkes Semarang, yang memutuskan untuk mengambil program tahfidz sebelum melanjutkan ke jenjang S-1 kebidanan.

Kisah menarik berikutnya datang dari seorang santri yang dalam proses menghafal Al-Qur’an dinyatakan lolos tes PNS. Dia adalah Ema Yusrina Fahmidah.Seorang gadis desa lulusan S-1 dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kedua orang tuanya menginginkan agar dia melanjutkan ke S-2.Tapi dia ingin “menebus dosa” saat kuliah yang tidak bisa fokus untuk menghafal Al-Qur’an.

Masih banyak kisah inspiratif lainnya yang dapat membuka mata dan menggugah keinginan para pembaca untuk dapat mengikuti jejak mereka. Kisah para assabiqunal awwalun ini membawa spirit kepada para pembaca. Salah satunya bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Yakin, usaha, sabar, doa, tawakkal dan ikhlas adalah hal yang harus ada pada seorang yang memiliki impian menjadi seorang hafidz. []

(Ngaji of the Day) Fiqih Bencana: Status Utang Nasabah Akad Murabahah Perbankan


Fiqih Bencana: Status Utang Nasabah Akad Murabahah Perbankan

Ada banyak jenis akad pembiayaan dalam perbankan syariah. Beberapa di antaranya adalah akad murâbahah (jual beli), mudhârabah (bagi hasil), musyârakah (kemitraan), ijarah (sewa menyewa), salam (jual beli pesan), istishna’ (jual beli pesan rakit), istitsmar (investasi), dan qiradl (permodalan). Sebenarnya masih banyak lagi akad yang lain seperti musâqah, dan rumpunnya. Kali ini kita akan fokus pada akad nasabah dengan perbankan yang memiliki basis akad jual beli, yang berarti kita fokus pada produk murâbahah. 

Dasar utama akad murâbahah sebagaimana disebutkan dalam keputusan DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa akad ini fungsinya untuk menjembatani kebutuhan nasabah seiring dengan kebutuhan mendapatkan barang-barang dari kelompok usaha non-produktif. Sebagaimana diketahui bahwa pengajuan utang untuk kebutuhan non-produktif pada bank konvensional, NU melalui keputusan Munas Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992, memutuskan bahwa bunga bank diputus haram. Sekali lagi ini diputuskan pada jenis usaha non-produktif. Namun untuk usaha produktif, NU melalui keputusan Munas tersebut menyebut bahwa bunga bank diputus sebagai boleh. Persoalannya kemudian, fakta yang terjadi di masyarakat, mereka masih membutuhkan pinjaman untuk kategori kebutuhan non-produktif. 

Misalnya, untuk kebutuhan skala non-produktif adalah kebutuhan “pelengkap” untuk membiayai modal pertaniannya. Tersedianya modal petani hanya sedikit. Ia membutuhkan kebutuhan semacam pupuk, jaring untuk nelayan, kebutuhan suplai konsumsi rumah tangga mengingat hasil panen hanya cukup untuk modal saja, dan lain sebagainya. 

Akhirnya, berbagai latar belakang ini membutuhkan solusi. Lalu disusunlah produk murâbahah ini sebagai bagian dari produk sub produk alternatif pengganti model utang usaha pada bank konvensional. 

Landasan akad pada produk murâbahah adalah jual beli, yang berarti mutlak terjadinya akad mu’awadlah (pertukaran) dan taqâbudh (saling terima). Sebagai contoh: Pak Ali seorang pengusaha toko buku, mengajuk permohonan pembiayaan modal usahanya dengan akad murabahah, dengan tujuan untuk membeli bahan baku kertas senilai 100 juta rupiah. Setelah dievaluasi oleh Bank syariah, usaha Pak Ali layak untuk dipertimbangkan. Lalu Bank Syariah membeli semua kebutuhan Pak Ali tersebut, lalu bank menjual barang tersebut kepada pak Ali sejumlah Rp-120 juta, dengan jangka waktu 12 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo dengan total angsuran sebanyak 3 kali. Akad jenis ini termasuk akad murabahah dengan mengambil sisi jual beli tempo (bai’ bi al-thamani al-âjil). Jika waktu angsurannya ditetapkan selama sebulan sekali secara rutin dengan besaran tertentu, maka disebut bai’ taqshith, atau jual beli kredit. Baik antara jual beli kredit atau jual beli tempo, keduanya adalah sah secara syara’ manakala khiyar sudah dilakukan saat akad terjadi, antara lain mengambil catatan jual beli tempo, ataukah mengambil catatan jual beli kredit. 

Barang yang sudah dibeli, baik dengan jalan jual beli tempo maupun jual beli kredit, keduanya adalah sudah menjadi milkun tâm bagi pembeli. Dengan demikian, apabila barang sudah diterima oleh pembeli, maka pembeli boleh menjualnya kembali kepada konsumennya meskipun utangnya belum selesai dibayar. 

Bagaimana misalnya, bila di tengah situasi barang tersebut belum lunas diangsur, kemudian terjadi bencana yang menghabiskan (force majeure)? Apakah nasabah tetap terkena beban angsuran? Ataukah bisa ia mengajukan klaim pemutihan? 

Jika menilik dari basis akad jual beli bahwa ketika barang sudah diterima oleh pembeli (nasabah) maka barang tersebut sudah menjadi milik nasabah, maka hak sebenarnya adalah bank masih bisa melakukan klaim tagihan kepada nasabah. Sebab, dalam jual beli ini sudah terjadi perpindahan kepemilikan atau resiko barang ke nasabah sehingga wajib bagi nasabah menanggungnya dalam kondisi apapun. Kecuali bila proses perpindahan kepemilikan tersebut belum sempat terjadi, maka klaim penagihan bank tidak bisa dibenarkan. 

Dengan menilik dari akad ini, maka dispensasi yang mungkin bisa diterapkan atas nasabah produk murâbahah adalah restrukturisasi dan rescheduling (penjadwalan ulang). Apakah boleh bagi bank menerapkan status muflis (bangkrut) kepada nasabah? Atau bolehkah dinyatakan pailit?

Bangkrut merupakan kondisi akibat kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan usaha sehingga mengalami kerugian terus-menerus. Sementara pailit adalah kondisi di mana nasabah tidak bisa membayar utangnya dengan sebab dinyatakan oleh Pengadilan Niaga. Keduanya memiliki asal usul yang sama yaitu berangkat dari kesalahan dalam menjalankan usaha. Hanya beda sedikit terkait dengan keterlibatan qadli/hakim sebagai pemutus perkara. 

Dengan melihat sisi ini, maka tidak mungkin bagi kelompok nasabah terimbas bencana dikelompokkan ke dalam keduanya. Namun, karena pada kondisi pailit dan bangkrut ada kemungkinan untuk diputihkan hak dan tanggung jawabnya oleh perbankan, maka sudah barang tentu, menurut sisi kemanusiaan, nasabah akad murâbahah lebih berhak untuk mendapatkan itu, meskipun hukum asalnya adalah tidak berhak disebabkan faktor sudah terjadi perpindahan milik. Selanjutnya, kearifan pihak perbankan diharapkan bisa terwujud di sini. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim

KH As’ad Syamsul Arifin, Mengomando Santri hingga Preman


PAHLAWAN NASIONAL NU
KH As’ad Syamsul Arifin, Mengomando Santri hingga Preman

“Perang itu harus niat menegakkan agama dan ‘arebbuk negere’ (merebut negara), jangan hanya ‘arebbuk negere! Kalau hanya ‘arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!”

Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) kepada pasukan santri (Hizbullah dan Sabilillah) dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara (Pelopor) untuk melawan penjajah Belanda.

Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional (2016) tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang lengkap.

Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai As’ad juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan Indonesia.

Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan (2003) yang dikutip Munawir Aziz. Kiai yang lahir di daerah Syi’in Ali, Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah ini mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor.

Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin.

Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri.

Barisan Pelopor dan pasukan santri menggunakan taktik ‘serang dan lari’. Strategi ini dilakukan oleh para santri yang tergabung dalam berbagai laskar hingga negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada Desember 1949. Padahal, sejak empat tahun sebelumnya pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memprokalmirkan kemerdekaannya. Tetapi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak kalah beratnya.

Kharismanya di mata para preman dan jawara menyisakan cerita unik. Saat itu Kiai As’ad agak resah soal sering hilangnya sandal para jamaah ketika sedang melakukan shalat Jumat. Setelah mengumpulkan para preman tersebut, Kiai As’ad meminta tolong agar sandal jamaah dijaga. Dedengkot preman sendiko dawuh terhadap permintaan Kiai As'ad.

Namun, si dedengkot preman tersebut makin hari berpikir untuk memerintahkan anak buahnya menjaga sandal. Sementara ia juga ingin melaksanakan shalat sehingga sandal dia pun ikut terjaga. Makin hari, keinginan para preman melaksanakan shalat Jumat semakin tinggi sehingga akhirnya mereka semua melaksanakan shalat melalui washilah menjaga sandal yang diperintahkan Kiai As’ad.

Atas peran penting Kiai As’ad Syamsul Arifin dalam berjuang melawan Belanda dan mempertahankan kemderdekaan itu, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada tahun 2017. Secara umum, gelar pahlawan para kiai merupakan supremasi perjuangan santri dan seluruh rakyat Indonesia.

Peran Kiai As’ad dalam Pendirian NU

Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, kiai yang juga pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.

Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 72) 

Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.

Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.

Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.

Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.

Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. []

(Fathoni)