Jumat, 20 September 2019

(Ngaji of the Day) Hadits Shahih tentang Amalan Hari Asyura


Hadits Shahih tentang Amalan Hari Asyura

Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram (berasal dari kata ‘asyr yang berarti sepuluh). Dalam sebuah hadits shahih dikatakan, pada hari itu dahulu Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya. Sebagian masyarakat Jawa menyebut bulan Muharram dengan nama bulan ‘Suro’ dengan mengambil nama hari penting pada bulan Muharrram tersebut: Asyura’. 

Bulan Muharram adalah satu di antara empat bulan mulia yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada masa Rasulullah , peperangan pun harus dihentikan demi menghormati bulan-bulan itu, termasuk Muharram. Barangsiapa yang melakukan kebaikan pada bulan-bulan tersebut, pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah subhanahu wata’ala, dan sebaliknya, perilaku maksiat pada bulan-bulan itu, siksanya juga dilipatgandakan.

وَمَعْنَى الْحُرُمِ: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَشَدُّ عِقَابًا، وَالطَّاعَةَ فِيهَا أَكْثَرُ ثَوَابًا،

Artinya: “Yang dimaksudkan dengan bulan-bulan yang dimuliakan di sini, sesungguhnya maksiat dalam bulan ini siksanya lebih berat, dan menjalankan ketaatan di dalam bulan ini pahalanya dilipatgandakan” (Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Ar-Râzi, [Daru Ihya’ at-Turats al-Arabiy: Beirut, 1420 H], juz 16, halaman 14).

Dengan adanya pelipatgandaan pahala seperti ini, dalam rangka menghormati bulan Muharram, misalnya, sebagian masyarakat menelan mentah-mentah informasi tentang keutamaan-keutamaan beribadah pada hari Asyura’, sehingga terkadang ada hadits yang munkar sekalipun disebarkan kepada masyarakat. Ini tidak benar. Ada pula yang karena saking anti terhadap hadits lemah, semua informasi hadits walaupun itu dhaif, ditolak semuanya.

Ahlussunah tidak terlalu ceroboh sebagaimana kelompok yang pertama dan tidak ekstrem sebagaimana yang kedua. Ahlussunnah berpandangan bahwa dalam menentukan halal-haram (hukum agama) harus berdasarkan hadits shahih. Namun apabila untuk pendorong amal ibadah, hadits dhaif boleh digunakan asalkan tidak sampai maudhu’ (palsu). 

Mengisi bulan Asyura dengan berbagai macam ibadah sebagai bentuk kebahagiaan atas kenikmatan-kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada orang-orang shalih terdahulu, selama tidak bertentangan dengan syari’at tentu hukumnya sah-sah saja. Yang tidak boleh adalah meyakini jika amalan tersebut dianjurkan oleh Baginda Nabi Muhammad sedangkan Nabi tidak mengajarkannya. Namun pada prinsipnya beramal baik di hari yang baik nilainya akan baik asalkan tidak sampai meyakini bahwa hal ini dicontohkan secara khusus oleh Nabi Muhammad apalagi sampai menyebarkannya kepada masyarakat. Kedua hal terakhir tersebut tidak diperbolehkan. 

Contoh hadits tak shahih seputar Muharram adalah hadits tentang memakai celak (penggaris mata) pada hari Asyura yang masyhur di tengah masyarakat. Kaum Ahlussunah harus fair bahwa sumber hadits tersebut tidak jelas alias maudhu’ sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Muhammad Mahmud al-Hanafi dalam Umdatul Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari menyebutkan:

النَّوْع السَّادِس: مَا ورد فِي صَلَاة لَيْلَة عَاشُورَاء وَيَوْم عَاشُورَاء، وَفِي فضل الْكحل يَوْم عَاشُورَاء لَا يَصح، وَمن ذَلِك حَدِيث جُوَيْبِر عَن الضَّحَّاك عَن ابْن عَبَّاس رَفعه: (من اكتحل بالإثمد يَوْم عَاشُورَاء لم يرمد أبدا) ، وَهُوَ حَدِيث مَوْضُوع،

Artinya: “Nomor enam: Hadits yang menjelaskan tentang malam Asyura’ dan hari Asyura’, dan dalam keutamaan memakai celak pada hari Asyura’ tidak shahih. Di hadits tersebut terdapat informasi dari Juwaibir dan al-Dhahhak dari Ibnu Abbas yang dianggap marfu’ dengan konten ‘Barangsiapa memakai celak pada hari Asyura’ tidak akan terjangkiti penyakit beleken selamanya’. Hadits ini maudhu’ (palsu).”

Dengan adanya hadits-hadits demikian, masyarakat perlu menyeleksi mana hadits yang shahih, dhaif maupun yang maudhu’.Yang perlu diberikan pemahaman secara utuh kepada masyarakat bahwa dhaif itu bukan maudhu’ dan maudhu' bukan dhaif. Apabila derajatnya baru dhaif, sebagaimana yang masyhur dalam ilmu hadits, ahlus sunnah berpendapat tetap boleh diamalkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhailul a’mal). Namun jika sudah dinyatakan palsu, harus dibuang jauh-jauh. 

Tentang Asyura’, penulis menemukan tiga kriteria hadits. Ada yang sepakat shahih karena diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari, ada yang dhaif, ada pula yang maudhu’. 


Yang sepakat shahih adalah tentang disunnahkannya puasa Asyura tapi tidak dengan bumbu pahala yang bombastis. Misalnya puasa sehari mendapatkan pahala sekian ratus tahun puasa. Penulis belum menemukan dalil pahala yang bombastis tersebut. Dari keshahihan hadits puasa Asyura, bahkan Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari sampai membuat satu bab khusus yang menyebutkan hadits-hadits puasa Asyura’ dengan judul Bab Shiyam Yaumi Asyura’. Berarti puasa Asyura sunnahnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Berikut contoh hadits di dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas yang juga masyhur di tengah masyarakat: 

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya: “Nabi Muhammad datang ke kota Madinah. Beliau kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Lalu Rasul bertanya ‘Ada kegiatan apa ini?’ Para sahabat menjawab ‘Hari ini adalah hari baik yaitu hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas tersebut.’ Rasul lalu mengatakan ‘Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura’ tersebut dan menyuruh pada sahabat menjalankannya.” (HR Bukhari: 2004) 

Puasa Asyura’ awalnya diperintahkan Nabi sebelum ada kewajiban puasa Ramadhan. Setelah disyariatkannya puasa Ramadhan, Nabi memberi kebabasan bagi siapa saja yang ingin menjalankan dan bagi siapa saja yang ingin meninggalkan. Hadits ini diriwayatkan dari Aisyah, istri Nabi Muhammad

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

 Artinya: “Puasa Asyura’ adalah puasa yang dilakukan oleh orang Quraisy pada zaman jahiliyyah dan Rasulullah juga melakukan puasa pada hari itu. Ketika Nabi datang ke Madinah juga melakukan puasa dan menyuruh para sahabat menjalankan puasa Asyura’. Namun ketika puasa Ramadhan mulai diwajibkan, Nabi meninggalkan puasa Asyura’. Maka barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan, dan siapa saja yang ingin meninggalkan, juga silakan,” (HR Bukhari: 2002).

 
Masih ada beberapa hadits yang menyebutkan tentang puasa Asyura’. Namun, sekali lagi, jangan salah paham bahwa bila tak bersumber dari hadits shahih maka sudah pasti haram dilaksanakan, apalagi seolah-olah tindakan kriminal. Kriminalisasi ibadah seperti hal tersebut tidak tepat. Hadits dhaif itu tidak selalu dhaif sesuai kesepakatan ulama. Terkadang, dhaif menurut ulama ahli hadits satu, tapi shahih menurut ulama ahli hadits lainnya. Jadi, urusan dhaif-tidaknya sendiri kita tidak bisa gegabah memberi penilaian. 

Kesimpulannya, amalan yang dilaksanakan masyarakat di Indonesia sangat beragam. Selama amalan tersebut baik, tidak bertentangan syariat, dan terlebih apabila tidak ada dasarnya dari hadits shahih maupun dhaif, asalkan tidak diyakini sebagai perilaku khusus bulan Muharram yang dicontohkan Nabi, hukumnya tetap boleh dijalankan. Tradisi amalan baik itu seperti santunan yatim piatu, mengunjungi orang tua, membahagiakan keluarga. Dari segi substansi kegiatannya itu sendiri, semua amalan tersebut adalah sunnah. Sebab, tanpa menunggu 10 Muharram pun, amalan itu sudah disunnahkan. Lalu mengapa kalau dilaksanakan pada 10 Muharram dihukumi bid’ah? Sebuah vonis aneh yang terkadang dilancarkan oleh sebagian kelompok.

Namun apabila amalan yang dilakukan jelas-jelas bertentangan dengan syariat, sudah seharusnya ditinggalkan. []

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar