Hadits Shahih tentang
Amalan Hari Asyura
Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh pada bulan
Muharram (berasal dari kata ‘asyr yang berarti sepuluh). Dalam sebuah hadits
shahih dikatakan, pada hari itu dahulu Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuhnya. Sebagian masyarakat Jawa menyebut bulan Muharram dengan nama bulan
‘Suro’ dengan mengambil nama hari penting pada bulan Muharrram tersebut:
Asyura’.
Bulan Muharram adalah satu di antara empat
bulan mulia yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Pada masa
Rasulullah ﷺ,
peperangan pun harus dihentikan demi menghormati bulan-bulan itu, termasuk
Muharram. Barangsiapa yang melakukan kebaikan pada bulan-bulan tersebut,
pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah subhanahu wata’ala, dan sebaliknya,
perilaku maksiat pada bulan-bulan itu, siksanya juga dilipatgandakan.
وَمَعْنَى
الْحُرُمِ: أَنَّ الْمَعْصِيَةَ فِيهَا أَشَدُّ عِقَابًا، وَالطَّاعَةَ فِيهَا
أَكْثَرُ ثَوَابًا،
Artinya: “Yang dimaksudkan dengan bulan-bulan
yang dimuliakan di sini, sesungguhnya maksiat dalam bulan ini siksanya lebih
berat, dan menjalankan ketaatan di dalam bulan ini pahalanya dilipatgandakan”
(Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Ar-Râzi, [Daru Ihya’ at-Turats al-Arabiy:
Beirut, 1420 H], juz 16, halaman 14).
Dengan adanya pelipatgandaan pahala seperti
ini, dalam rangka menghormati bulan Muharram, misalnya, sebagian masyarakat
menelan mentah-mentah informasi tentang keutamaan-keutamaan beribadah pada hari
Asyura’, sehingga terkadang ada hadits yang munkar sekalipun disebarkan kepada
masyarakat. Ini tidak benar. Ada pula yang karena saking anti terhadap hadits
lemah, semua informasi hadits walaupun itu dhaif, ditolak semuanya.
Ahlussunah tidak terlalu ceroboh sebagaimana
kelompok yang pertama dan tidak ekstrem sebagaimana yang kedua. Ahlussunnah
berpandangan bahwa dalam menentukan halal-haram (hukum agama) harus berdasarkan
hadits shahih. Namun apabila untuk pendorong amal ibadah, hadits dhaif boleh
digunakan asalkan tidak sampai maudhu’ (palsu).
Mengisi bulan Asyura dengan berbagai macam
ibadah sebagai bentuk kebahagiaan atas kenikmatan-kenikmatan yang diberikan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada orang-orang shalih terdahulu,
selama tidak bertentangan dengan syari’at tentu hukumnya sah-sah saja. Yang
tidak boleh adalah meyakini jika amalan tersebut dianjurkan oleh Baginda Nabi
Muhammad ﷺ sedangkan Nabi tidak
mengajarkannya. Namun pada prinsipnya beramal baik di hari yang baik nilainya
akan baik asalkan tidak sampai meyakini bahwa hal ini dicontohkan secara
khusus oleh Nabi Muhammad ﷺ apalagi sampai
menyebarkannya kepada masyarakat. Kedua hal terakhir tersebut tidak
diperbolehkan.
Contoh hadits tak shahih seputar Muharram
adalah hadits tentang memakai celak (penggaris mata) pada hari Asyura yang
masyhur di tengah masyarakat. Kaum Ahlussunah harus fair bahwa sumber
hadits tersebut tidak jelas alias maudhu’ sebagaimana yang dikatakan oleh Abu
Muhammad Mahmud al-Hanafi dalam Umdatul Qari’ Syarah Shahih
al-Bukhari menyebutkan:
النَّوْع
السَّادِس: مَا ورد فِي صَلَاة لَيْلَة عَاشُورَاء وَيَوْم عَاشُورَاء، وَفِي فضل
الْكحل يَوْم عَاشُورَاء لَا يَصح، وَمن ذَلِك حَدِيث جُوَيْبِر عَن الضَّحَّاك
عَن ابْن عَبَّاس رَفعه: (من اكتحل بالإثمد يَوْم عَاشُورَاء لم يرمد أبدا) ،
وَهُوَ حَدِيث مَوْضُوع،
Artinya: “Nomor enam: Hadits yang menjelaskan
tentang malam Asyura’ dan hari Asyura’, dan dalam keutamaan memakai celak pada
hari Asyura’ tidak shahih. Di hadits tersebut terdapat informasi dari Juwaibir
dan al-Dhahhak dari Ibnu Abbas yang dianggap marfu’ dengan konten ‘Barangsiapa
memakai celak pada hari Asyura’ tidak akan terjangkiti penyakit beleken
selamanya’. Hadits ini maudhu’ (palsu).”
Dengan adanya hadits-hadits demikian,
masyarakat perlu menyeleksi mana hadits yang shahih, dhaif maupun yang
maudhu’.Yang perlu diberikan pemahaman secara utuh kepada masyarakat
bahwa dhaif itu bukan maudhu’ dan maudhu' bukan dhaif.
Apabila derajatnya baru dhaif, sebagaimana yang masyhur dalam ilmu hadits,
ahlus sunnah berpendapat tetap boleh diamalkan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan keutamaan amal (fadhailul a’mal). Namun jika sudah dinyatakan palsu,
harus dibuang jauh-jauh.
Tentang Asyura’, penulis menemukan tiga
kriteria hadits. Ada yang sepakat shahih karena diriwayatkan dalam kitab Shahih
Bukhari, ada yang dhaif, ada pula yang maudhu’.
Yang sepakat shahih adalah tentang
disunnahkannya puasa Asyura tapi tidak dengan bumbu pahala yang bombastis.
Misalnya puasa sehari mendapatkan pahala sekian ratus tahun puasa. Penulis
belum menemukan dalil pahala yang bombastis tersebut. Dari keshahihan hadits
puasa Asyura, bahkan Imam Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari sampai
membuat satu bab khusus yang menyebutkan hadits-hadits puasa Asyura’ dengan
judul Bab Shiyam Yaumi Asyura’. Berarti puasa Asyura sunnahnya tidak perlu
diperdebatkan lagi. Berikut contoh hadits di dalam shahih Bukhari dari Ibnu
Abbas yang juga masyhur di tengah masyarakat:
قَدِمَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ
هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ
مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ
Artinya: “Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota
Madinah. Beliau kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Lalu
Rasul bertanya ‘Ada kegiatan apa ini?’ Para sahabat menjawab ‘Hari ini adalah
hari baik yaitu hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka
kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas tersebut.’ Rasul lalu mengatakan ‘Saya
lebih berhak dengan Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura’
tersebut dan menyuruh pada sahabat menjalankannya.” (HR Bukhari: 2004)
Puasa Asyura’ awalnya diperintahkan Nabi
sebelum ada kewajiban puasa Ramadhan. Setelah disyariatkannya puasa Ramadhan,
Nabi memberi kebabasan bagi siapa saja yang ingin menjalankan dan bagi siapa
saja yang ingin meninggalkan. Hadits ini diriwayatkan dari Aisyah, istri Nabi
Muhammad ﷺ :
كَانَ
يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ
صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Artinya: “Puasa Asyura’ adalah puasa
yang dilakukan oleh orang Quraisy pada zaman jahiliyyah dan Rasulullah ﷺ juga melakukan puasa
pada hari itu. Ketika Nabi datang ke Madinah juga melakukan puasa dan menyuruh
para sahabat menjalankan puasa Asyura’. Namun ketika puasa Ramadhan mulai
diwajibkan, Nabi meninggalkan puasa Asyura’. Maka barangsiapa yang ingin
berpuasa, silakan, dan siapa saja yang ingin meninggalkan, juga silakan,” (HR
Bukhari: 2002).
Masih ada beberapa hadits yang menyebutkan
tentang puasa Asyura’. Namun, sekali lagi, jangan salah paham bahwa bila tak
bersumber dari hadits shahih maka sudah pasti haram dilaksanakan, apalagi
seolah-olah tindakan kriminal. Kriminalisasi ibadah seperti hal tersebut tidak
tepat. Hadits dhaif itu tidak selalu dhaif sesuai kesepakatan ulama. Terkadang,
dhaif menurut ulama ahli hadits satu, tapi shahih menurut ulama ahli hadits
lainnya. Jadi, urusan dhaif-tidaknya sendiri kita tidak bisa gegabah memberi
penilaian.
Kesimpulannya, amalan yang dilaksanakan
masyarakat di Indonesia sangat beragam. Selama amalan tersebut baik, tidak
bertentangan syariat, dan terlebih apabila tidak ada dasarnya dari hadits
shahih maupun dhaif, asalkan tidak diyakini sebagai perilaku khusus bulan Muharram
yang dicontohkan Nabi, hukumnya tetap boleh dijalankan. Tradisi amalan baik itu
seperti santunan yatim piatu, mengunjungi orang tua, membahagiakan keluarga.
Dari segi substansi kegiatannya itu sendiri, semua amalan tersebut adalah
sunnah. Sebab, tanpa menunggu 10 Muharram pun, amalan itu sudah disunnahkan.
Lalu mengapa kalau dilaksanakan pada 10 Muharram dihukumi bid’ah?
Sebuah vonis aneh yang terkadang dilancarkan oleh sebagian kelompok.
Namun apabila amalan yang dilakukan
jelas-jelas bertentangan dengan syariat, sudah seharusnya ditinggalkan. []
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar