Hukum Fiqih Memandang
Fenomena Selfi
Siapa yang tidak mengenal selfie pada zaman
modern ini? Jika dahulu berfoto hanya sebagai kebutuhan sekunder maka kini
telah menjadi gaya hidup dalam kegiatan sehari-hari. Bahkan dalam melaksanakan
setiap aktivitas tidak dapat lepas dari kegiatan selfie hanya untuk
mengabadikan suatu momen.
Jika dahulu orang mengambil foto ketika
mendapati suatu momen yang bagus dan hanya dijadikan hiasan rumah, sekarang
dapat melibatkan si pelaku atau digunakan untuk potret diri. Dengan fasilitas
internet selfie atau potret diri dengan mudahnya menghiasi linimasa atau
halaman media sosial. Fenomena selfie seolah menjadi candu dan kebutuhan
membudayayang telah mengakar di masyarakat. Selanjutnya, bagaimana fenomena
tersebut bisa terjadi?
Selfie merupakan tentang bagaimana kita
mendefinisikan diri kita sendiri dan merupakan suatu cara untuk mencari jati
diri kita. Faktor lainnya karena didukung oleh derasnya kemajuan teknologi yang
semakin canggih, yang menyajikan perangkat dan modifikasi foto dengan kualitas
yang lebih baik.
Media sosial merupakan faktor yang sangat
memengaruhi hal tersebut, dengan mengambil foto dan membaginya dengan ribuan
orang secara online kapan saja dan di mana saja, dan berdampak pada penilaian
orang lain terhadap kita. Hal itu lah yang membuat pelaku sosial media
ketagihan dengan selfie. Akan tetapi kebanyakan dari mereka menyalahgunakan hal
tersebut untuk sekedar mencari perhatian, membuat sensasi, mendongkrak
popularitas, riya’hingga pamer. Dan apabila kita tidak berhati-hati ketika
ber-selfie, hal tersebut dapat mencelakai kita, bahkan tak jarang jika selfie
berujung pada kematian.
Fenomena selfie semakin marak dan seolah
seperti fenomena global, sebuah fenomena untuk sekedar pencitraan terhadap diri
sendiri kepada seluruh penjuru dunia. Citra yang ditampilkan bukan cerminan
asli dirinya sendiri, seakan hanya ingin di ekspresikan kepada orang lain yang
melihat kita. Peminat selfie tidak dikelilingi remaja saja, akan tetapi tak
terbatas baik dari ras, agama, usia, maupun kondisi ekonomi masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa selfie lebih
banyak digandrungi oleh kaum hawa yakni muslimah. Kebanyakan dari mereka
melakukan hal tersebut tanpa menjaga adab-adab Islami, baik kurang sempurnanya
menutup aurat dan melakukan pose-pose yang diduga dapat menimbulkan fitnah atau
mendorong kemaksiatan.
Lalu, bagaimana menurut kacamata fiqh perihal
fenomena tersebut? Berfoto merupakan perkara mu’amalah yang hukum asalnya
boleh. Menurut kaidah fiqh
الأَصْلُ
فِى الْمُعَامَلَةُ الْإِبَاحَة حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمها
(Asal hukum mu’amalah adalah boleh sampai ada
dalil yang mengharamkannya).
Namun, di kutip dari KaryaTulis.com, menurut
hasil Bahtsul Masail para santri se-Jawa dan Madura di Pondok Pesantren
Lirboyo, Kediri pada 15 April 2015), selfie menjadi haram jika menimbulkan
fitnah dan mengundang orang lain untuk bekomentar negatif.
الفقه
الإسلامي وأدلته الجزء الرابع, ص: ٢٢٤الكتاب:
أما
التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في
المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها
غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضا على صور
التلفاز . وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي
(Adapun hukum gambar dari hasil kamera itu
boleh selama tidak mendatangkan fitnah seperti gambar wanita yang tampak
sesuatu dari jasadnya selain wajah dan kedua telapak tangan).
الكتاب:
توشيح على ابن قاسم, ص:١٩٧
الفتنة
هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع أو مقدماته والشهوة هو أن يلتذ بالنظر
(Yang dinamakan fitnah adalah ketertarikan
hati untuk melakukan zina atau pendahuluannya dan mengundang orang lain untuk
berkomentar yang yang negatif).
Jadi, hukum selfie adalah boleh apabila yakin
atau ada dugaan kuat bahwa hal tersebut tidak akan menimbulkan fitnah. Fitnah
di sini yang dikehendaki berarti suatu hal yang dapat mendorong kemaksiatan
atau ketertarikan hati untuk mendekati zina bahkan melakukannya, dan mengundang
orang lain berkomentar senonoh yang tidak sesuai syariat Islam. Adapun haram tidaknya
selfie tergantung dari niat dan tujuan si mukallaf(pelaku), apabila digunakan
untuk menipu, menghina, dan melecehkan orang lain yang dapat menimbulkan
penyakit hati, maka hukumnya haram.
Seiring berkembangnya teknologi dan tuntutan
zaman kebutuhan foto sangatlah tinggi. Seperti dalam foto surat kabar, sarana
berbisnis, dokumentasi instansi pendidikan, bahan investigasi pihak kepolisian,
urgensi pencacatan sipil warga negara, serta hal-hal penting lainnya, semuanya
mutlak membutuhkan foto. []
Saqifa Robi'ah Al Adawy, mahasiswi
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar