Sejarah Kelompok Khawarij (4): Pemberontakan
terhadap Sayyidina Ali
Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman di rumahnya
sendiri akibat ulah Khawarij, sebagaimana diceritakan dalam artikel sebelumnya,
kaum Muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Secara
umum, Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn terakhir yang secara de
jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam.
Namun demikian, secara de facto,
kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah yang sudah lama dipimpin
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Muhammad Khaldun, Ta’addudal-Khulafâ’ wa
Wahdatal-Ummah Fiqhanwa Târîkhanwa Mustaqbalan, 74). Hal ini disebabkan
oleh tindakan Mu’awiyah yang menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij
yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Gagalnya kubu Khalifah Ali dengan kubu
Mu’awiyah untuk mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan perang saudara yang
dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar sesama kaum muslimin ini
bisa dibilang imbang sehingga hanya menyebabkan korban besar berjatuhan dari
kedua kubu. Akhirnya atas inisiatif Amr bin Ash, pasukan dari Syam yang berada
di kubu Mu’awiyah mengangkat mushaf di ujung tombaknya dan berkata:
هَذَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ قَدْ فَنِيَ النَّاسُ فَمَنْ لِلثِّغُورِ؟ وَمَنْ
لِجِهَادِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ
“Inilah yang terjadi di antara kita;
Orang-orang telah terbunuh. Maka siapa yang menjaga pos pertahanan? Siapa yang
akan berjihad melawan kaum musyrik dan orang kafir?” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah
wan-Nihâyah, VII, 272)
Gayung pun bersambut, pasukan dari Iraq di
kubu Ali mengiyakan ajakan arbitrase tersebut meskipun Khalifah Ali tegas
menolak gagasan tersebut. Bagi Khalifah Ali, seruan arbitrase tak lebih dari
siasat perang dari kubu Mu’awiyah dan Amr. Baginya, justru perang itu sendiri
dilakukan untuk menegakkan hukum Allah yang dilanggar oleh Mu’awiyah dan
sekutunya dengan pemberontakan mereka. Namun, sebagaimana diceritakan Ibnu
Katsir, para penghafal Al-Qur’an (qurrâ’) melawan khalifah Ali dan
bahkan mengancamnya sebagai berikut:
فَقَالَ
لَهُ مسعر بن فدكي التميمي وزيد بن حصين الطائي ثم السبائى فِي عِصَابَةٍ
مَعَهُمَا مِنَ الْقُرَّاءِ الَّذِينَ صَارُوا بَعْدَ ذَلِكَ خَوَارِجَ، يَا
عَلِيُّ أَجِبْ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ إِذْ دُعِيتَ إِلَيْهِ وَإِلَّا دَفَعْنَاكَ
بَرُمَّتِكَ إِلَى الْقَوْمِ أَوْ نَفْعَلُ بِكَ مَا فعلنا بابن عفان، إنه غلبنا
أن يعمل بكتاب الله فقتلناه، وَاللَّهِ لَتَفْعَلَنَّهَا أَوْ لَنَفْعَلَنَّهَا
بِكَ
“Mus’in bin Fadakiat-Tamimi dan Zaid bin
Hushainat-Tha’i as-Siba’i dan kelompoknya masing-masing, dari kalangan para
penghafal Al-Qur’an yang dikemudian hari menjadi Khawarij, berkata: “Hai Ali
Terimalah kita berlima Ketika engkau diajak kepadanya. Kalau tidak, kami akan
menyerahkanmu seutuhnya kepada musuh atau kami akan melakukan kepadamu apa yang
telah kami lakukan kepada Utsman bin Affan. Dahulu Utsman menolak kami untuk
beramal dengan kitabullah sehingga kami membunuhnya. Demi Allah kami akan
menyerahkanmu atau membunuhmu.” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah,
VII, 273)
Selang beberapa lama, ketika Khalifah Ali
hendak mengutus Abu Musa al-Asy’ari atas desakan mereka, ada dua orang Khawarij
bernama Zur'ah bin al-Barajat-Tha'i dan Hurqush bin Zuhair as-Sa'di
mendatanginya yang berusaha membatalkan arbitrase. Terjadilah dialog
sebagaimana diceritakan oleh at-Thabari berikut:
Keduanya berkata pada Ali: "Tidak
ada hukum kecuali milik Allah.”
"Tidak ada hukum kecuali milik
Allah," kata Ali.
"Bertobatlah engkau dari
kesalahanmu dan cabut kembali keputusanmu dan keluarlah bersama kami kepada
musuh kita untuk kita perangi sampai kita bertemu dengan Tuhan," kata
Hurqush.
Ali menjawab: "Aku sudah
berkehendak seperti itu tetapi kalian membangkang terhadapku dan sekarang kita
telah mengadakan perjanjian antara kita dengan mereka, telah mensyaratkan
beberapa syarat dan kita pun telah berjanji beberapa hal. Allah telah
berfirman: "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu
itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamuperbuat."
Hurqush berkata: "Itulah dosa
yang mesti engkau tobati."
Ali menjawab: "Itu bukan dosa
melainkan ketidakmampuan berpikir dan kelemahan dalam bertindak. Aku sudah
membahas itu dan melarangnya sebelumnya".
Kemudian Zur'ah bin al-Barajberkata:
"Demi Allah, wahai Ali! Apabila engkau tak meninggalkan mengangkat hakim
atas kitabullah, maka aku akan memerangimu. Dengan hal itu aku akan mencari keridhaan
Allah."
(at-Thabari, Tarikh at-Thabari, V, 72)
Namun Khalifah Ali tetap melanjutkan
arbitrase sebab telah ada perjanjian yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian
terjadilah arbitrase yang ternyata menghasilkan keputusan untuk mengangkat
Mu’awiyah sebagai khalifah berikutnya. (As-Suyuthi, Târîkhal-Khulafâ’,
15). Melihat kenyataan itu, kaum Khawarij lagi-lagi tak menepati komitmen
mereka. Mereka menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang kemudian
menerima hasil tersebut yang sejatinya adalah desakan mereka sendiri. Imam Abu
Musa al-Asy’ari menceritakan perkataan mereka kepada Sayyidina Ali sebagai
berikut:
وقالوا: قال الله تعالى: فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله
ولم يقل حاكموهم وهم البغاة فإن عدت إلى قتالهم وأقررت على نفسك بالكفر إذ أجبتهم
إلى التحكيم وإلا نابذناك وقاتلناك
“Mereka berkata: “Allah berfirman ‘hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah’, bukan berfirman maka angkatlah hakam, padahal mereka adalah
pemberontak. Kamu harus kembali memerangi mereka dan mengaku telah kafir ketika
kamu menyetujui arbitrase. Bila tidak, maka kami akan menurunkanmu dan
memerangimu.” (Abu Musa al-Asy’ari, Maqâlâtal-Asy’âriyyîn, 4)
Puncak aksi Khawarij itu adalah majunya
seorang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali. Ia
menyerang Ali yang hendak shalat subuh dan berhasil melukai dahi beliau hingga
parah dan akhirnya meninggal. Ketika dieksekusi, Ibnu Muljam sama sekali tak
mengeluh sakit ketika kedua tangan dan kakinya dimutilasi dan matanya ditusuk.
Ia malah membaca Surat al-‘Alaq hingga khatam. Kemudian tatkala lidahnya hendak
dipotong, barulah ia mengeluh lantaran merasa sedih tak bisa mati dalam keadaan
berdzikir pada Allah. Dahi Ibnu Muljam terlihat hitam sebab banyak sujud.
(Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 85). Bagi para Khawarij lainnya, Ibnu Muljam
bagaikan sosok pahlawan. Mereka memuji aksi Ibnu Muljam tersebut dan
menganggapnya sebagai orang yang menjual dirinya sendiri demi menggapai ridha
Allah. (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 120).
Dari kejadian tersebut nampak sekali bahwa
Al-Qur’an bagi Khawarij hanya menjadi tameng bagi nafsu politiknya saja. Mereka
memaksa agar Khalifah Ali menerima arbitrase atas nama al-Qur’an tetapi memaksa
beliau mengurungkan dan menolak hasil arbitrase juga atas nama al-Qur’an.
Semuanya disertai ancaman bunuh sebab bagi mereka penentang pendapat mereka
sudah kafir. Dalam nalar mereka, tindakan seperti itu adalah perjuangan yang
bisa menghasilkan ridha Allah. Mereka sama sekali tak berpikir bahwa Khalifah
Ali yang mereka lawan jauh lebih memahami al-Qur’an dari mereka. Mereka juga
lupa bahwa para sahabat yang mereka kafirkan jauh lebih layak merepresentasikan
ajaran kitabullah daripada mereka.
Ketika penafsiran ulama ahli ilmu tentang
al-Qur’an dianggap sesat oleh orang-orang yang hanya tekun beribadah saja namun
tak menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an, ketika orang-orang awam sudah merasa
kelompoknya sebagai satu-satunya representasi al-Qur’an, ketika vonis kafir
dengan mudahnya muncul sebab perbedaan ijtihad politik, maka saat itulah nalar
Khawarij nampak. Itulah nalar-nalar Khawarij yang layak diwaspadai
keberadaannya di setiap masa. []
Bersambung...
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar