Fiqih Bencana: Problematika
Akad Sewa-Menyewa
Ijarah diartikan sebagai akad sewa menyewa
antara orang yang memiliki jasa dengan orang yang butuh jasa dengan besaran
harga sewa tertentu dan jangka waktu tertentu. Dalam proses sewa menyewa
terdapat beberapa unsur yang terlibat antara lain barang yang disewakan, waktu
jatuh tempo sewa, dan solusi purna akad. Keberadaan solusi purna akad ini yang
kelak membedakan antara akad ijarah antar individu, dengan ijarah antara
individu dan perbankan. Insyaallah keduanya akan menjadi obyek kajian kita ke
depan.
Saat seorang individu menyewa sebuah rumah,
maka ketika telah sampai masa jatuh tempo persewaan, pihak yang menyewa wajib
mengembalikan rumah kepada orang yang menyewakan tanpa adanya cacat sedikitpun.
Jika terdapat cacat akibat pemakaian penyewa terhadap barang, maka pihak
penyewa wajib memberikan arsyun (ganti rugi) kepada pemilik. Ketika
penyewa diminta untuk mengembalikan barang yang disewa sebelum masa jatuh
tempo, maka pihak yang menyewakan harus memberikan kembalian (‘aud) atau ganti
rugi kepada penyewa dengan jalan menghitung nisbah waktu atas harga ketika
jatuh tempo kontrak.
Solusi problem sewa-menyewa untuk kasus
pribadi saat kondisi normal, tanpa adanya sebab dalam yang bisa merusak akad
sudah digariskan oleh para ulama’ dan mudah diselesaikan. Yang sulit adalah
ketika harus ada akibat yang berada di luar akad yang menjadi penyebab.
Misalnya, di tengah masa perjalanan sewa, tiba-tiba ada bencana yang
menyebabkan rusaknya barang tanpa adanya kesalahan penyewa dan yang menyewakan.
Apakah penyewa atau orang yang menyewakan wajib dikenai membayar ganti rugi
atau sebaliknya berhak menerima ganti rugi?
Problem yang sama juga dihadapi oleh
perbankan. Kasus kredit mobil lewat Lembaga Perkreditan Syariah, sering
menerapkan akad ijarah pada produk ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT), yaitu
akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan. Di sisi lain, untuk kasus
istishna’, ada juga penerapan pengembangan dari IMBT ini dengan akad syirkah
musyahamah bi nihayati al-tamlik, yaitu akad kemitraan dengan purna akad berupa
100 persen kepemilikan menjadi hak pengelola. Akad ini sebenarnya merupakan
modifikasi dari akad kredit mobil pada lembaga perkreditan konvensional, yang
menekankan akad jual beli secara kreditnya. Apabila terjadi kasus dlarurat
kemacetan nasabah dalam membayar cicilan, maka akad berubah menjadi akad ijarah
(sewa-menyewa). Dan apabila nasabah mampu melunasi cicilannya sesuai dengan
waktu yang ditentukan, maka akad mengikut pada bai’ taqshith atau bai’ bi
al-thamani al-ājil. Pelelangan barang merupakan solusi akhir penyelesaian
kredit. Intinya bahwa, kedua praktik perkreditan konvensional dan syariah ini
memiliki mekanisme yang sama apabila terjadi kemacetan barang yang dikredit,
yaitu pelelangan.
Nah, yang jadi soal kemudian adalah ketika
terjadi kasus bencana, sementara barang belum selesai dilunasi oleh peserta
(nasabah). Objek transaksi sendiri sudah lenyap dan hilang. Kendala terjadi
pada solusi akad, apakah akad diputus dengan jalan ijarah, ataukah diputus
dengan jalan jual beli? Jika diputus sebagai akad ijarah, maka pihak yang
menyewakan bisa berlaku sebagai penanggung ganti rugi. Dan apabila diputus
sebagai akad jual beli, maka nasabah debitur berperan sebagai pihak yang
terbebani ganti rugi. Ambiguitas ini muncul seiring akad IMBT dan syirkah
musyahamah, kedua-duanya memiliki akad ganda, yaitu antara jual beli dan
sewa-menyewa. Tentu dalam hal ini, dibutuhkan sebuah solusi yang adil bagi
nasabah dan perbankan.
Masalah yang lain muncul bilamana objek
transaksi berasal dari luar daerah. Daerah asal kedua pihak yang bertransaksi
berada di luar daerah terimbas bencana. Hanya faktor kebetulan, objek transaksi
dibawa ke lokasi bencana saat itu, sehingga termasuk salah satu korban bencana.
Apakah dibenarkan apabila nasabah debitur mengajukan klaim bencana?
Banyak problem terkait dengan bencana ini
khususnya pada penerapan praktik ijarah di masyarakat. Solusi fiqih dibutuhkan
dengan tidak memberatkan salah satu pihak. Bagaimanapun juga, bencana adalah
kejadian yang berada di luar kendali manusia. Semuanya datang dari Allah
subhānahu wa ta’āla dan manusia hanya bisa berencana dan menjalaninya.
مَا
أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ
قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Tiada ditimpakan suatu musibah
kecuali seidzin Allah. Barang siapa beriman kepada Allah maka Allah tunjukkan
hartinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Thaghābun: 11)
Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji
Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar