Rabu, 18 September 2019

KH Zainal Mustafa Menggerakkan Pesantren di Jabar Melawan Penjajah


PAHLAWAN NASIONAL NU
KH Zainal Mustafa Menggerakkan Pesantren di Jabar Melawan Penjajah

Sejarah mencatat, pesantren tidak hanya menjadi tempat penempaan ilmu agama Islam, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional. Di lembaga pendidikan klasik ini, pemahaman agama justru turut memperkuat kecintaan santri dan masyarakat pada tanah airnya. Hal ini berangkat dari prinsip kebersamaan dan tali lita’arafu untuk membebaskan diri dari ketidakperikemanusiaan penjajah.

Perlawanan pesantren belakangan sebelum Jepang menjajah bangsa Indonesia dilakukan melalui perang kebudayaan atau familiar disebut perlawanan kultural. Perlawanan ini berawal dari fatwa KH Hasyim Asy’ari yang saat itu mengharamkan para santri dan masyarakat menyamai segala atribut yang digunakan oleh Belanda terutama busana atau pakaian. Langkah ini tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk melawan segala bentuk penjajahan, tetapi juga menggembosi kekuatan penjajah Belanda.

Perlawanan kultural berlanjut ketika Jepang datang. Ritual seikerei yaitu menyembah dengan membungkuk 90 derajat kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika ditolak oleh umat Islam terutama kalangan pesantren yang saat itu berhadapan langsung dengan penjajah Jepang. Perlawanan itu hadir dari Kiai Hasyim Asy’ari kala dirinya ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. Ia menolak ritual serdadu Jepang yang tiap pagi melakukan seikerei. Penyiksaan pun dialami oleh ayah Kiai Wahid Hasyim ini atas perlawanannya itu.

Selain melakukan perlawanan kultural, perlawanan fisik secara terbuka juga dilakukan oleh para kiai pada masa pendudukan Jepang 1943-1945. Di antaranya dilakukan oleh para ulama pesantren di Jawa Barat. KH Zainal Mustafa dari Singaparna, Tasikmalaya memimpin pergerakan melawan Jepang pada 18 Februari 1944. Sebelumnya, ia juga aktif melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dalam catatan Hary J. Benda (1980) yang dikutip Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, 2016), para petani yang tidak puas terhadap kebijakan Jepang melawan untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial Jepang meminta para petani untuk menyediakan beras secara paksa. Kiai Zainal Mustafa di garda depan petani untuk melakukan perlawanan, bertarung melawan tentara Jepang.

Kiai yang mempunyai nama asli Umri dan Haedami ini melawan kekejaman penindasan Jepang dengan menggerakkan jaringan pesantren di Jawa Barat. Pengalaman kiai yang lahir pada 1899 di Kampung Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya menempa ilmu di sejumlah pesantren Jawa Barat ini turut membantu dalam mengonsolidasikan pergerakannya.

Pada tahun 1943, Kiai Zainal Mustafa mulai melakukan kontak dengan beberapa pesantren di Jawa Barat untuk mengimbangi pergerakan tentara ke-16 Jepang yang bengis dan kejam. Namun, selain para pejuang dari pesantren, Kiai Zainal juga memperkuat pasukan dengan mengajak laskar tentara. Di antara laskar yang dikontak oleh Kiai Zainal ialah Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) yang dikomandani Daidanco Maskun.

Kiai Zainal menyadari, tidak semua santri memiliki keterampilan militer sehingga perlu menggandeng PETA untuk melatih barisan santri dalam bidang militer dan pertahanan fisik. Namun, aksi Kiai Zainal ini tercium oleh Jepang hingga akhirnya PETA dipindahkan Jepang ke kawasan selatan Tasikmalaya.

Tekad Kiai Zainal Mustafa dengan para santri dan masyarakat membuat tekad Jepang semakin kuat untuk menghabisi para pengikut Kiai Zainal di Desa Sukamanah. Tepatnya pada 23 Februari 1944, Jepang mengirim utusan ke Pesantren Sukamanah. Sejumlah utusan yang terdiri dari pejabat lokal pro-kolonial mendapat perlawanan dari santri. Mereka menyita beberapa senjata tentara Jepang.

Melihat perlawanan santri tersebut, Jepang bertambah murka, kontak fisik terjadi pada 25 Februari 1944. Tiga perwira Jepang tewas dan beberapa lainnya melarikan diri. Jepang bertambah naik darah, mereka hingga menghirimkan pasukan hingga 6 kompi tentara untuk mengepung Desa Sukamanah di mana pesantren Kiai Zainal Mustafa menjadi pusat pendidikan dan pergerakan nasional.

Setelah terjadi perlawanan hebat dari para santri dan masyarakat, tentara Jepang berhasil menangkap Kiai Zanal Mustafa dan beberapa pengikutnya. Tentara Jepang juga menangkap warga seiring dengan insiden berdarah ini. Penjara Tasikmalaya penuh karena penangkapan besar-besaran di kawan Pesantren Sukamanah.

Munawir Aziz mencatat, sebanyak 800-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Para santri yang gugur melawan penjajah Jepang sebanyak 86 orang. Korban meninggal di penjara Singaparna 4 orang, di penjara Sukamiskin Bandung 38 orang, 2 orang meninggal di penjara Tasikmalaya dan 10 orang mengalami cacat permanen. Kiai Zainal Mustafa dan 23 orang diinterogasi dan dianggap bersalah. Mereka dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta.

Keberadaan Kiai Zainal Mustafa dan beberapa pengikutnya itu tidak diketahui hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada tahun 1970 terdapat keterangan yang mencatat bahwa Kiai Zainal Mustafa dan pengikutinya dibunuh Jepang pada 25 Oktober 1944.

Kegigihannya melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang berbuah gelar Pahlawan Nasional pada 1973. Di jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Kiai Zainal Mustafa menjabat sebagai Syuriyah NU Tasikmalaya. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar