PAHLAWAN NASIONAL NU
KH Zainal Mustafa
Menggerakkan Pesantren di Jabar Melawan Penjajah
Sejarah mencatat,
pesantren tidak hanya menjadi tempat penempaan ilmu agama Islam, tetapi juga
menjadi wadah pergerakan nasional. Di lembaga pendidikan klasik ini, pemahaman
agama justru turut memperkuat kecintaan santri dan masyarakat pada tanah
airnya. Hal ini berangkat dari prinsip kebersamaan dan tali lita’arafu untuk
membebaskan diri dari ketidakperikemanusiaan penjajah.
Perlawanan pesantren
belakangan sebelum Jepang menjajah bangsa Indonesia dilakukan melalui perang
kebudayaan atau familiar disebut perlawanan kultural. Perlawanan ini berawal
dari fatwa KH Hasyim Asy’ari yang saat itu mengharamkan para santri dan
masyarakat menyamai segala atribut yang digunakan oleh Belanda terutama busana
atau pakaian. Langkah ini tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk melawan
segala bentuk penjajahan, tetapi juga menggembosi kekuatan penjajah Belanda.
Perlawanan kultural
berlanjut ketika Jepang datang. Ritual seikerei yaitu menyembah dengan
membungkuk 90 derajat kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika ditolak oleh umat Islam
terutama kalangan pesantren yang saat itu berhadapan langsung dengan penjajah
Jepang. Perlawanan itu hadir dari Kiai Hasyim Asy’ari kala dirinya ditangkap
dan dipenjara oleh Jepang. Ia menolak ritual serdadu Jepang yang tiap pagi
melakukan seikerei. Penyiksaan pun dialami oleh ayah Kiai Wahid Hasyim ini atas
perlawanannya itu.
Selain melakukan
perlawanan kultural, perlawanan fisik secara terbuka juga dilakukan oleh para
kiai pada masa pendudukan Jepang 1943-1945. Di antaranya dilakukan oleh para
ulama pesantren di Jawa Barat. KH Zainal Mustafa dari Singaparna, Tasikmalaya
memimpin pergerakan melawan Jepang pada 18 Februari 1944. Sebelumnya, ia juga
aktif melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam catatan Hary J.
Benda (1980) yang dikutip Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang Punggung
Pergerakan Nasional, 2016), para petani yang tidak puas terhadap kebijakan
Jepang melawan untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial Jepang meminta
para petani untuk menyediakan beras secara paksa. Kiai Zainal Mustafa di garda
depan petani untuk melakukan perlawanan, bertarung melawan tentara Jepang.
Kiai yang mempunyai
nama asli Umri dan Haedami ini melawan kekejaman penindasan Jepang dengan
menggerakkan jaringan pesantren di Jawa Barat. Pengalaman kiai yang lahir pada
1899 di Kampung Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya menempa ilmu di
sejumlah pesantren Jawa Barat ini turut membantu dalam mengonsolidasikan
pergerakannya.
Pada tahun 1943, Kiai
Zainal Mustafa mulai melakukan kontak dengan beberapa pesantren di Jawa Barat
untuk mengimbangi pergerakan tentara ke-16 Jepang yang bengis dan kejam. Namun,
selain para pejuang dari pesantren, Kiai Zainal juga memperkuat pasukan dengan
mengajak laskar tentara. Di antara laskar yang dikontak oleh Kiai Zainal ialah
Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) yang dikomandani Daidanco Maskun.
Kiai Zainal menyadari,
tidak semua santri memiliki keterampilan militer sehingga perlu menggandeng
PETA untuk melatih barisan santri dalam bidang militer dan pertahanan fisik.
Namun, aksi Kiai Zainal ini tercium oleh Jepang hingga akhirnya PETA
dipindahkan Jepang ke kawasan selatan Tasikmalaya.
Tekad Kiai Zainal
Mustafa dengan para santri dan masyarakat membuat tekad Jepang semakin kuat
untuk menghabisi para pengikut Kiai Zainal di Desa Sukamanah. Tepatnya pada 23
Februari 1944, Jepang mengirim utusan ke Pesantren Sukamanah. Sejumlah utusan
yang terdiri dari pejabat lokal pro-kolonial mendapat perlawanan dari santri.
Mereka menyita beberapa senjata tentara Jepang.
Melihat perlawanan
santri tersebut, Jepang bertambah murka, kontak fisik terjadi pada 25 Februari
1944. Tiga perwira Jepang tewas dan beberapa lainnya melarikan diri. Jepang
bertambah naik darah, mereka hingga menghirimkan pasukan hingga 6 kompi tentara
untuk mengepung Desa Sukamanah di mana pesantren Kiai Zainal Mustafa menjadi
pusat pendidikan dan pergerakan nasional.
Setelah terjadi
perlawanan hebat dari para santri dan masyarakat, tentara Jepang berhasil
menangkap Kiai Zanal Mustafa dan beberapa pengikutnya. Tentara Jepang juga
menangkap warga seiring dengan insiden berdarah ini. Penjara Tasikmalaya penuh
karena penangkapan besar-besaran di kawan Pesantren Sukamanah.
Munawir Aziz
mencatat, sebanyak 800-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Para
santri yang gugur melawan penjajah Jepang sebanyak 86 orang. Korban meninggal
di penjara Singaparna 4 orang, di penjara Sukamiskin Bandung 38 orang, 2 orang
meninggal di penjara Tasikmalaya dan 10 orang mengalami cacat permanen. Kiai
Zainal Mustafa dan 23 orang diinterogasi dan dianggap bersalah. Mereka
dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta.
Keberadaan Kiai
Zainal Mustafa dan beberapa pengikutnya itu tidak diketahui hingga Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada tahun 1970 terdapat keterangan yang mencatat
bahwa Kiai Zainal Mustafa dan pengikutinya dibunuh Jepang pada 25 Oktober 1944.
Kegigihannya
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang berbuah gelar
Pahlawan Nasional pada 1973. Di jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Kiai Zainal Mustafa
menjabat sebagai Syuriyah NU Tasikmalaya. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar