Rabu, 18 September 2019

(Hikmah of the Day) Kisah Sayyidina Abdullah bin ‘Amr dan Tetangga Yahudi


Kisah Sayyidina Abdullah bin ‘Amr dan Tetangga Yahudi

Dalam kitab Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Berikut riwayatnya:

حدّثنا أبو نعيم قال: حدّثنا بشير بن سليمان, عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَغُلَامُهُ يَسْلُخُ شَاةً فَقَالَ: يَا غُلَامُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: الْيَهُودِيُّ؟ أَصْلَحَكَ اللَّهُ! قَالَ: )إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشِينَا—أَوْ رؤينا—أنه سيورثه( ـ

Diceritakan oleh Abu Nu’aim, ia berkata: diceritakan oleh Basyir bin Sulaiman, dari Mujahid, ia berkata:

Aku bersama Abdullah bin ‘Amr (bin al-‘Ash) dan (ketika itu) pembantunya sedang menguliti kambing. Abdullah bin ‘Amr berkata: “Wahai anak, jika kau telah selesai, berikan kepada tetangga Yahudi kita.” Lalu ada seseorang dari kaumnya berkata: “Orang Yahudi? Semoga Allah memperbaiki keadaanmu!”

Abdullah bin ‘Amr berkata: “Sesungguhnya aku telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berwasiat (untuk berbuat baik) kepada tetangga, sampai kami khawatir—atau (sekadar) anggapan kami—bahwa beliau akan menjadikan (tetangga) sebagai ahli warisnya.” (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, h. 57)

****

Membincangkan kisah di atas, ada benang merah yang harus kita temui pangkalnya, yaitu tafsir Surah an-Nisâ’ ayat 36. Dalam surah tersebut Allah berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan penuh kebanggaan (diri).”

Ayat di atas merupakan salah satu konsep Al-Qur’an dalam mendorong keharmonisan dunia, sekaligus menjadi pegangan dasar yang harus dianut oleh semua umat Islam. Di ayat tersebut, ada sejumlah “perbuatan baik” yang diperintahkan Allah secara berjenjang, dimulai dari yang terdekat, “berbuat baiklah kepada kedua orang tua,” sampai lepas dari sekat-sekat kekeluargaan dalam arti hubungan darah. Lalu kaitannya apa dengan kisah di atas?

Begini, dalam ayat di atas, terdapat kalimat, “wal jâril junub—tetangga jauh.” Para mufassir berbeda pendapat. Dari beragamnya pendapat mufassir, kita bisa kelompokkan dalam dua pandangan besar. Pandangan pertama, Sayyidina Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “tetangga jauh” sebagai, “alladzî laisa bainaka wa bainahu qurâbah—orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan denganmu,” dan Imam Mujahid menafsirkannya sebagai, “jâruka min qaumin âkharîn—tetanggamu dari suku/bangsa yang berbeda.” (Imam al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2013, juz 4, h. 82)

Pandangan kedua, ulama yang menafsirkan kalimat “tetangga jauh” sebagai, “al-jârul musyrik—tetangga yang musyrik.” Menurut Imam Nauf al-Syami “tetangga jauh” dalam ayat tersebut adalah, “al-yahudiy wa al-nashrâniy—orang Yahudi dan Nasrani.” (Imam al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 2013, juz 4, h. 82). Mengenai dua perbedaan penafsiran tersebut, Imam al-Thabari memilih menggabungkan keduanya. Ia berkomentar:

وأولى القولين في ذلك بالصواب، قول من قال: معنى الجنب، في هذا الموضع: الغريبُ البعيد، مسلمًا كان أو مشركًا، يهوديًا كان أو نصرانيًا

“Yang lebih mendekati kebenaran dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang mengatakan, ‘makna jauh’ dalam hal ini adalah: (tetangga) asing yang jauh (tidak memiliki hubungan kekerabatan), baik orang Islam ataupun musyrik, baik orang Yahudi ataupun Nasrani.” (Imam al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 2013, juz 4, h. 82)

Artinya, perintah berbuat baik yang Allah berikan tidak terbatas pada orang yang kita kenal saja, tapi juga pada orang yang paling asing sekalipun. Jika merujuk pada dua pandangan tafsir di atas, kita diperintahkan berbuat baik tanpa memandang agama, suku, dan warna kulit. Kita diperintahkan menjaga keharmonisan dalam hidup bertetangga, karena kehidupan bertetangga merupakan pondasi dari persatuan dan permulaan dari tenggang rasa.

Penjelasan sederhananya begini, jika kita tidak bisa berbuat baik pada orang yang kita kenal atau orang yang paling sering kita jumpai (tetangga kita), bagaimana mungkin kita bisa berbuat baik pada orang yang sama sekali asing dan tidak pernah kita jumpai. Oleh karena itu, berbuat baik kepada tetangga adalah latihan menjadi manusia. Sebagai makhluk yang terus berproses, manusia diharuskan berkembang ke arah yang lebih baik setiap harinya, dan kehidupan bertetangga merupakan permulaannya, hingga para sahabat menganggap Rasulullah akan menjadikan tetangganya sebagai ahli warisnya.

Jadi, apa yang dilakukan Sayyidina Abdullah bin ‘Amr (w. 63 H) merupakan amal keteladanan. Ia sedang mengamalkan salah satu dari sekian banyak aspek penting agamanya, yaitu menjaga keharmonisan antar umat manusia, mulai dari cara yang paling kecil (berbuat baik dengan tetangganya). Perbedaan agama, warna kulit dan suku bangsa tidak menghalangi kebaikannya. Bahkan ketika melakukannya, ia sempat dikritik oleh seseorang, tapi ia tetap melakukannya. Ia menjawab kritikan tersebut dengan ilmu pengetahuan. 

Artinya, sejak dulu sudah ada orang yang memandang salah perilaku orang lain tanpa pengetahuan, hanya berdasarkan asumsi sepihak. Padahal, bisa jadi yang dilakukan orang tersebut adalah amal baik yang diperintahkan agama, seperti yang dilakukan Sayyidina Abdullah bin ‘Amr, seorang sahabat nabi yang mulia. Bahkan di riwayat lain, ia mengulangi pertanyaannya sampai dua kali:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه: أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: )مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالجار حتى ظننت أنه سيورثه( ـ

“Dari Abdullah bin ‘Amr (bin Ash), sesungguhnya ia pernah disembelihkan kambing, maka ia bertanya pada pembantunya: “Kau sudah hadiahkan untuk tetangga kita yang Yahudi? Kau sudah hadiahkan untuk tetangga kita yang Yahudi? (Karena) aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatiku (agar aku berbuat baik) kepada tetangga hingga aku mengira dia (tetangga) akan mendapatkan warisan.” (Imam al-Bukhari, Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, h. 50)

Karena itu, kita harus sudahi semua penghakiman buruk. Alangkah baiknya sebelum menilai, kita cari tahu terlebih dahulu ‘apakah perbuatan orang itu memiliki dasar atau tidak?’ Jangan sampai kesalahan prasangka kita, membawa orang lain turut berprasangka buruk kepadanya. Bukankah begitu seharusnya? Wallahu a’lam. []

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar