Kisah Sayyidina Abdullah bin ‘Amr dan
Tetangga Yahudi
Dalam kitab Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari
memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Berikut
riwayatnya:
حدّثنا
أبو نعيم قال: حدّثنا بشير بن سليمان, عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَغُلَامُهُ يَسْلُخُ شَاةً فَقَالَ: يَا غُلَامُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا
الْيَهُودِيِّ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: الْيَهُودِيُّ؟ أَصْلَحَكَ
اللَّهُ! قَالَ: )إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُوصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشِينَا—أَوْ رؤينا—أنه سيورثه( ـ
Diceritakan oleh Abu Nu’aim, ia berkata:
diceritakan oleh Basyir bin Sulaiman, dari Mujahid, ia berkata:
Aku bersama Abdullah bin ‘Amr (bin al-‘Ash)
dan (ketika itu) pembantunya sedang menguliti kambing. Abdullah bin ‘Amr
berkata: “Wahai anak, jika kau telah selesai, berikan kepada tetangga Yahudi
kita.” Lalu ada seseorang dari kaumnya berkata: “Orang Yahudi? Semoga Allah
memperbaiki keadaanmu!”
Abdullah bin ‘Amr berkata: “Sesungguhnya aku
telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berwasiat (untuk berbuat
baik) kepada tetangga, sampai kami khawatir—atau (sekadar) anggapan kami—bahwa
beliau akan menjadikan (tetangga) sebagai ahli warisnya.” (Imam al-Bukhari,
Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, h. 57)
****
Membincangkan kisah di atas, ada benang merah
yang harus kita temui pangkalnya, yaitu tafsir Surah an-Nisâ’ ayat 36. Dalam
surah tersebut Allah berfirman:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian
menyekutukan-Nya dengan sesatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua,
kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga
jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang sombong dan penuh kebanggaan (diri).”
Ayat di atas merupakan salah satu konsep
Al-Qur’an dalam mendorong keharmonisan dunia, sekaligus menjadi pegangan dasar
yang harus dianut oleh semua umat Islam. Di ayat tersebut, ada sejumlah
“perbuatan baik” yang diperintahkan Allah secara berjenjang, dimulai dari yang
terdekat, “berbuat baiklah kepada kedua orang tua,” sampai lepas dari
sekat-sekat kekeluargaan dalam arti hubungan darah. Lalu kaitannya apa dengan
kisah di atas?
Begini, dalam ayat di atas, terdapat kalimat,
“wal jâril junub—tetangga jauh.” Para mufassir berbeda pendapat. Dari
beragamnya pendapat mufassir, kita bisa kelompokkan dalam dua pandangan besar.
Pandangan pertama, Sayyidina Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “tetangga jauh”
sebagai, “alladzî laisa bainaka wa bainahu qurâbah—orang yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan denganmu,” dan Imam Mujahid menafsirkannya sebagai,
“jâruka min qaumin âkharîn—tetanggamu dari suku/bangsa yang berbeda.” (Imam
al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2013, juz 4, h. 82)
Pandangan kedua, ulama yang menafsirkan
kalimat “tetangga jauh” sebagai, “al-jârul musyrik—tetangga yang musyrik.”
Menurut Imam Nauf al-Syami “tetangga jauh” dalam ayat tersebut adalah,
“al-yahudiy wa al-nashrâniy—orang Yahudi dan Nasrani.” (Imam al-Thabari, Tafsîr
al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 2013, juz 4, h. 82). Mengenai
dua perbedaan penafsiran tersebut, Imam al-Thabari memilih menggabungkan
keduanya. Ia berkomentar:
وأولى
القولين في ذلك بالصواب، قول من قال: معنى الجنب، في هذا الموضع: الغريبُ البعيد،
مسلمًا كان أو مشركًا، يهوديًا كان أو نصرانيًا
“Yang lebih mendekati kebenaran dari dua
pendapat tersebut adalah pendapat yang mengatakan, ‘makna jauh’ dalam hal ini
adalah: (tetangga) asing yang jauh (tidak memiliki hubungan kekerabatan), baik
orang Islam ataupun musyrik, baik orang Yahudi ataupun Nasrani.” (Imam
al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 2013, juz 4,
h. 82)
Artinya, perintah berbuat baik yang Allah
berikan tidak terbatas pada orang yang kita kenal saja, tapi juga pada orang
yang paling asing sekalipun. Jika merujuk pada dua pandangan tafsir di atas,
kita diperintahkan berbuat baik tanpa memandang agama, suku, dan warna kulit.
Kita diperintahkan menjaga keharmonisan dalam hidup bertetangga, karena
kehidupan bertetangga merupakan pondasi dari persatuan dan permulaan dari
tenggang rasa.
Penjelasan sederhananya begini, jika kita
tidak bisa berbuat baik pada orang yang kita kenal atau orang yang paling
sering kita jumpai (tetangga kita), bagaimana mungkin kita bisa berbuat baik
pada orang yang sama sekali asing dan tidak pernah kita jumpai. Oleh karena
itu, berbuat baik kepada tetangga adalah latihan menjadi manusia. Sebagai
makhluk yang terus berproses, manusia diharuskan berkembang ke arah yang lebih
baik setiap harinya, dan kehidupan bertetangga merupakan permulaannya, hingga
para sahabat menganggap Rasulullah akan menjadikan tetangganya sebagai ahli
warisnya.
Jadi, apa yang dilakukan Sayyidina Abdullah
bin ‘Amr (w. 63 H) merupakan amal keteladanan. Ia sedang mengamalkan salah satu
dari sekian banyak aspek penting agamanya, yaitu menjaga keharmonisan antar
umat manusia, mulai dari cara yang paling kecil (berbuat baik dengan
tetangganya). Perbedaan agama, warna kulit dan suku bangsa tidak menghalangi
kebaikannya. Bahkan ketika melakukannya, ia sempat dikritik oleh seseorang,
tapi ia tetap melakukannya. Ia menjawab kritikan tersebut dengan ilmu
pengetahuan.
Artinya, sejak dulu sudah ada orang yang
memandang salah perilaku orang lain tanpa pengetahuan, hanya berdasarkan asumsi
sepihak. Padahal, bisa jadi yang dilakukan orang tersebut adalah amal baik yang
diperintahkan agama, seperti yang dilakukan Sayyidina Abdullah bin ‘Amr,
seorang sahabat nabi yang mulia. Bahkan di riwayat lain, ia mengulangi
pertanyaannya sampai dua kali:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه:
أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: )مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي
بالجار حتى ظننت أنه سيورثه( ـ
“Dari Abdullah bin ‘Amr (bin Ash),
sesungguhnya ia pernah disembelihkan kambing, maka ia bertanya pada
pembantunya: “Kau sudah hadiahkan untuk tetangga kita yang Yahudi? Kau sudah
hadiahkan untuk tetangga kita yang Yahudi? (Karena) aku mendengar Rasulullah
bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatiku (agar aku berbuat baik) kepada
tetangga hingga aku mengira dia (tetangga) akan mendapatkan warisan.” (Imam
al-Bukhari, Adab al-Mufrad, Kairo: Darul Basyar al-Islamiyyah, 1989, h. 50)
Karena itu, kita harus sudahi semua
penghakiman buruk. Alangkah baiknya sebelum menilai, kita cari tahu terlebih
dahulu ‘apakah perbuatan orang itu memiliki dasar atau tidak?’ Jangan sampai
kesalahan prasangka kita, membawa orang lain turut berprasangka buruk
kepadanya. Bukankah begitu seharusnya? Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar