Rabu, 25 September 2019

(Ngaji of the Day) Apakah Suami Berhak Melarang Istri Bercadar?


Apakah Suami Berhak Melarang Istri Bercadar?

Cadar adalah persoalan yang debatable. Para ulama berbeda pandangan tentang wajib dan tidaknya seorang perempuan untuk menutup wajahnya, salah satunya dengan perantara cadar. Perbedaan pendapat ini disinyalir berangkat dari pemahaman para ulama dalam salah satu ayat di Al-Qur’an:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (Auratnya ) kecuali yang biasa terlihat, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An-Nur Ayat 31)

Ulama yang mengatakan wajib menutup wajah, mengarahkan bahwa diksi “janganlah menampakkan perhiasannya” mencakup terhadap bagian wajah wanita, sehingga menutupnya dengan menggunakan cadar adalah suatu kewajiban, pandangan ini misalnya seperti dalam mazhab  Hanbali dan Syafi’i. Sedangkan ulama yang berpandangan tidak wajib menutup wajah mengarahkan bahwa diksi tersebut tidak mencakup terhadap wajah, seperti dalam mazhab Hanafi dan Maliki.

Selain termasuk dalam kategori furu’iyyah fiqih, persoalan cadar juga tidak lepas kaitannya dengan adat atau tradisi yang berlaku di suatu tempat. Di Indonesia misalnya, meski banyak yang mengatakan bahwa penduduk Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i, namun kenyataannya dalam persoalan cadar, para muslimah di Indonesia mayoritas lebih cenderung mengikuti pola adat yang berlaku di tempatnya yaitu dengan menggunakan busana tanpa cadar, sehingga dalam persoalan ini mereka tidak lagi mengikuti pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan cadar sebenarnya bukan murni didasari fanatisme mazhab, tapi juga terdapat pengaruh adat dan tradisi yang berlaku.

Dalam menjelaskan hal ini, ulama kenamaan mesir, Syekh Ali Jum’ah mengatakan:

وقضية الثياب مرتبطة ارتباطا وثيقا بعادة القوم وبالنسبة للواقع المصري فالأنسب له أن يلتزم رأي الجمهور لأن غطاء المرأة وجهها مستغرب في مجتمعنا المعاصر ويتسبب في شرذمة للعائلات, أما المجتمعات الأخرى التي يتناسب معها مذهب الحنابلة, فلا بأس بأن تلتزم النساء فيه بهذا المذهب لموافقته لعاداته وعدم ارتباطه بتديّن المرأة وإنما جرى العرف عندهم والعادة أن تغطي المرأة وجهها 

“Persoalan pakaian sangat memiliki kaitan yang kuat dengan adat dari kaum. Jika dinisbatkan pada realitas yang terjadi di Mesir, maka yang paling pantas adalah mengikuti pandangan mayoritas, sebab perempuan menutup wajahnya merupakan hal yang aneh di masyarakat kami (Mesir) dan hanya digandrungi kelompok kecil dalam beberapa rumah tangga. Adapun dalam masyarakat lainnya yang terbiasa mengamalkan mazhab Hanbali maka bukanlah sebuah persoalan apabila para wanita mengikuti mazhab Hanbali ini sebab sesuai dengan adat di wilayah tersebut dan hal ini (memakai cadar) tidak ada kaitannya dengan sifat agamis dari seorang perempuan, hanya sebatas menjalankan kebiasaan yang berlaku berupa wanita menutup wajahnya.” (Syeikh Ali Jum’ah, Al-Bayan Li Ma Yusygilu al-Adzhan, hal. 351)

Persoalan tentang cadar menjadi lebih kompleks ketika terjadi perbedaan pandangan antara suami dan istri dalam menyikapi kewajiban bercadar. Suami menginginkan agar istri tidak memakai cadar dalam segala aktivitasnya, sedangkan istri lebih cenderung untuk menjaga kehormatan dirinya dengan mengikuti ulama yang mewajibkan menutup wajah dengan cara bercadar. Dalam konteks demikian, apakah suami selaku kepala rumah tangga memiliki hak untuk  melarang istrinya bercadar?

Dalam ketentuan fiqih, terdapat larangan bentuk hamlun nas ala madzhabihi (mengarahkan orang lain untuk mengikuti pendapatnya) larangan ini didasari dari kaidah:

لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه

“Hal yang menjadi silang pendapat (oleh para ulama) tidak dapat diterapkan nahi munkar, hal yang dapat diterapkan nahi munkar hanya pada hal yang telah disepakati ulama.”

Berdasarkan ketentuan ini, seolah-olah orang lain tidak memiliki hak untuk melarang siapa pun untuk bercadar, sebab berarti ia menuntut agar orang lain mengikuti pendapatnya, sedangkan hal ini tidak diperbolehkan. Namun kaidah demikian tidak berlaku bagi seseorang yang memiliki hak atas orang lain, seperti dengan adanya hubungan suami-istri, maka suami memiliki hak melarang istrinya  untuk melakukan perbuatan yang tidak diinginkan oleh suaminya, meskipun menurut mazhab yang dianut oleh istri, perbuatan yang ia lakukan adalah hal yang diperbolehkan. Seperti yang dijelaskan dalam kitab Ar-Rad ala ‘Ushuli Khawarij al-Ashr: 

والقاعدة المقررة وإن كانت أنه "لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه" إلا أن هذه القاعدة الصحيحة في نفسها ليست على إطلاقها بل هي مقيدة بعدة قيود مذكورة في محلها منها أن يكون للمنكر فيه حق، قال السيوطي كالزوج يمنع زوجته من شرب النبيذ إذا كانت تعتقد إباحته 

“Kaidah yang terlaku berupa ‘Hal yang menjadi silang pendapat (oleh para ulama) tidak dapat diterapkan nahi munkar, hal yang dapat diterapkan nahi munkar hanya pada hal yang telah disepakati ulama kaidah ini tidaklah bersifat mutlak, namun dibatasi dengan beberapa batasan di antaranya ketika orang yang melakukan nahi munkar memiliki hak. Imam Suyuthi berkata: “hal ini seperti seorang suami yang melarang istrinya untuk minum Nabidz (minumam memabukkan selain khamr) ketika istrinya berpandangan bahwa Nabidz adalah minuman yang halal. (Syekh Abdullah bin Bayyah, Ar-Rad ala ‘Ushuli Khawarij al-Asr, hal. 70)

Salah satu hak yang dimiliki oleh suami termasuk juga dalam hal melarang istrinya untuk bercadar, sebab menurut pandangan suami bercadar tidaklah wajib bagi wanita, sehingga istri tidak dapat bersikukuh untuk mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa cadar adalah hal yang wajib dalam rangka menaati perintah suaminya yang merupakan suatu kewajiban khusus baginya, hal ini ditegaskan dalam referensi yang sama: 

يحصل في بعض الأحوال أن تكون الزوجة ترى وجوب ستر الوجه ويرى الزوج عدم الوجوب ولا يريد من زوجته أن تستر وجهها فتصر المرأة على التمسك برأيها ومخالفة زوجها حتى قد يتطور الأمر في أنها قد تجعل الأمر يصل الى الطلاق في حال عدم نزوله على رأيها والرضوخ لمذهبها. وهذه مخالفة الشرع من حيث أراد لزوجها أن تطيعه فطاعة الزوج واجبة وهي من مقتضيات ولوازم قوامته على زوجته, وكونه ولي أمرها حتى لو أمرها بشيء في مسائل الخلاف فعليها أن تطيعه وتنزل على رأيه فيه

“Dalam keadaan tertentu, istri berpandangan bahwa menutup wajah adalah hal yang wajib baginya, sedangkan suami berpandangan tidak wajib menutup wajah perempuan, dan ia ingin agar istrinya tidak menutup wajahnya (tidak bercadar), namun istri bersikukuh untuk mengikuti pandangannya bahwa menutup wajah adalah hal yang wajib, hingga urusan ini berlanjut sampai menyebabkan pada talak, sebab sang suami tidak ingin mengikuti pendapat dan mazhab istri. 

Persoalan demikian adalah hal yang melanggar terhadap ketentuan syara’, sebab  syara’ menghendaki agar suami ditaati oleh istri, sebab taat pada suami adalah hal yang wajib dan merupakan bagian dari hak-hak suami atas istri, dan suami menguasai urusan-urusan istri. Bahkan jika suami memerintahkan istri pada permasalahan yang bersifat mukhtalaf fih (diperdebatkan antar ulama) maka wajib baginya untuk mentaati suami dan mengikuti pendapat suami dalam persoalan tersebut.” (Syekh Abdullah bin Bayyah, Ar-Rad ala ‘Ushuli Khawarij al-Asr, Hal. 70)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bercadar adalah persoalan yang terjadi perbedaan di antara ulama dalam menentukan wajib tidaknya, namun jika perbedaan pendapat ini terjadi dalam pasangan suami istri, maka suami memiliki hak untuk melarang istrinya bercadar, namun alangkah baiknya  suami melarang hal ini dengan cara yang halus serta dilandasi dengan alasan yang kuat, sehingga ia juga melaksanakan perintah syara’ berupa berkomunikasi dengan istri dengan cara yang baik. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar