Apakah Suami Berhak
Melarang Istri Bercadar?
Cadar adalah persoalan yang debatable. Para
ulama berbeda pandangan tentang wajib dan tidaknya seorang perempuan untuk
menutup wajahnya, salah satunya dengan perantara cadar. Perbedaan pendapat ini
disinyalir berangkat dari pemahaman para ulama dalam salah satu ayat di
Al-Qur’an:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang
beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (Auratnya ) kecuali yang biasa terlihat, dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS.
An-Nur Ayat 31)
Ulama yang mengatakan wajib menutup wajah,
mengarahkan bahwa diksi “janganlah menampakkan perhiasannya” mencakup terhadap
bagian wajah wanita, sehingga menutupnya dengan menggunakan cadar adalah suatu
kewajiban, pandangan ini misalnya seperti dalam mazhab Hanbali dan
Syafi’i. Sedangkan ulama yang berpandangan tidak wajib menutup wajah
mengarahkan bahwa diksi tersebut tidak mencakup terhadap wajah, seperti dalam
mazhab Hanafi dan Maliki.
Selain termasuk dalam kategori furu’iyyah
fiqih, persoalan cadar juga tidak lepas kaitannya dengan adat atau tradisi yang
berlaku di suatu tempat. Di Indonesia misalnya, meski banyak yang mengatakan
bahwa penduduk Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i, namun kenyataannya dalam
persoalan cadar, para muslimah di Indonesia mayoritas lebih cenderung mengikuti
pola adat yang berlaku di tempatnya yaitu dengan menggunakan busana tanpa
cadar, sehingga dalam persoalan ini mereka tidak lagi mengikuti pendapat yang
kuat dalam mazhab Syafi’i. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan cadar
sebenarnya bukan murni didasari fanatisme mazhab, tapi juga terdapat pengaruh
adat dan tradisi yang berlaku.
Dalam menjelaskan hal ini, ulama kenamaan
mesir, Syekh Ali Jum’ah mengatakan:
وقضية
الثياب مرتبطة ارتباطا وثيقا بعادة القوم وبالنسبة للواقع المصري فالأنسب له أن
يلتزم رأي الجمهور لأن غطاء المرأة وجهها مستغرب في مجتمعنا المعاصر ويتسبب في
شرذمة للعائلات, أما المجتمعات الأخرى التي يتناسب معها مذهب الحنابلة, فلا بأس
بأن تلتزم النساء فيه بهذا المذهب لموافقته لعاداته وعدم ارتباطه بتديّن المرأة
وإنما جرى العرف عندهم والعادة أن تغطي المرأة وجهها
“Persoalan pakaian sangat memiliki kaitan
yang kuat dengan adat dari kaum. Jika dinisbatkan pada realitas yang terjadi di
Mesir, maka yang paling pantas adalah mengikuti pandangan mayoritas, sebab
perempuan menutup wajahnya merupakan hal yang aneh di masyarakat kami (Mesir)
dan hanya digandrungi kelompok kecil dalam beberapa rumah tangga. Adapun dalam
masyarakat lainnya yang terbiasa mengamalkan mazhab Hanbali maka bukanlah sebuah
persoalan apabila para wanita mengikuti mazhab Hanbali ini sebab sesuai dengan
adat di wilayah tersebut dan hal ini (memakai cadar) tidak ada kaitannya dengan
sifat agamis dari seorang perempuan, hanya sebatas menjalankan kebiasaan yang
berlaku berupa wanita menutup wajahnya.” (Syeikh Ali Jum’ah, Al-Bayan Li Ma
Yusygilu al-Adzhan, hal. 351)
Persoalan tentang cadar menjadi lebih
kompleks ketika terjadi perbedaan pandangan antara suami dan istri dalam
menyikapi kewajiban bercadar. Suami menginginkan agar istri tidak memakai cadar
dalam segala aktivitasnya, sedangkan istri lebih cenderung untuk menjaga
kehormatan dirinya dengan mengikuti ulama yang mewajibkan menutup wajah dengan
cara bercadar. Dalam konteks demikian, apakah suami selaku kepala rumah tangga
memiliki hak untuk melarang istrinya bercadar?
Dalam ketentuan fiqih, terdapat larangan
bentuk hamlun nas ala madzhabihi (mengarahkan orang lain untuk mengikuti
pendapatnya) larangan ini didasari dari kaidah:
لا
ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“Hal yang menjadi silang pendapat (oleh para
ulama) tidak dapat diterapkan nahi munkar, hal yang dapat diterapkan nahi
munkar hanya pada hal yang telah disepakati ulama.”
Berdasarkan ketentuan ini, seolah-olah orang
lain tidak memiliki hak untuk melarang siapa pun untuk bercadar, sebab berarti
ia menuntut agar orang lain mengikuti pendapatnya, sedangkan hal ini tidak
diperbolehkan. Namun kaidah demikian tidak berlaku bagi seseorang yang memiliki
hak atas orang lain, seperti dengan adanya hubungan suami-istri, maka suami
memiliki hak melarang istrinya untuk melakukan perbuatan yang tidak
diinginkan oleh suaminya, meskipun menurut mazhab yang dianut oleh istri,
perbuatan yang ia lakukan adalah hal yang diperbolehkan. Seperti yang
dijelaskan dalam kitab Ar-Rad ala ‘Ushuli Khawarij al-Ashr:
والقاعدة
المقررة وإن كانت أنه "لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه" إلا
أن هذه القاعدة الصحيحة في نفسها ليست على إطلاقها بل هي مقيدة بعدة قيود مذكورة
في محلها منها أن يكون للمنكر فيه حق، قال السيوطي كالزوج يمنع زوجته من شرب
النبيذ إذا كانت تعتقد إباحته
“Kaidah yang terlaku berupa ‘Hal yang menjadi
silang pendapat (oleh para ulama) tidak dapat diterapkan nahi munkar, hal yang
dapat diterapkan nahi munkar hanya pada hal yang telah disepakati ulama kaidah
ini tidaklah bersifat mutlak, namun dibatasi dengan beberapa batasan di
antaranya ketika orang yang melakukan nahi munkar memiliki hak. Imam Suyuthi
berkata: “hal ini seperti seorang suami yang melarang istrinya untuk minum
Nabidz (minumam memabukkan selain khamr) ketika istrinya berpandangan bahwa
Nabidz adalah minuman yang halal. (Syekh Abdullah bin Bayyah, Ar-Rad ala
‘Ushuli Khawarij al-Asr, hal. 70)
Salah satu hak yang dimiliki oleh suami
termasuk juga dalam hal melarang istrinya untuk bercadar, sebab menurut pandangan
suami bercadar tidaklah wajib bagi wanita, sehingga istri tidak dapat
bersikukuh untuk mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa cadar adalah hal yang
wajib dalam rangka menaati perintah suaminya yang merupakan suatu kewajiban
khusus baginya, hal ini ditegaskan dalam referensi yang sama:
يحصل
في بعض الأحوال أن تكون الزوجة ترى وجوب ستر الوجه ويرى الزوج عدم الوجوب ولا يريد
من زوجته أن تستر وجهها فتصر المرأة على التمسك برأيها ومخالفة زوجها حتى قد يتطور
الأمر في أنها قد تجعل الأمر يصل الى الطلاق في حال عدم نزوله على رأيها والرضوخ
لمذهبها. وهذه مخالفة الشرع من حيث أراد لزوجها أن تطيعه فطاعة الزوج واجبة وهي من
مقتضيات ولوازم قوامته على زوجته, وكونه ولي أمرها حتى لو أمرها بشيء في مسائل
الخلاف فعليها أن تطيعه وتنزل على رأيه فيه
“Dalam keadaan tertentu, istri berpandangan
bahwa menutup wajah adalah hal yang wajib baginya, sedangkan suami berpandangan
tidak wajib menutup wajah perempuan, dan ia ingin agar istrinya tidak menutup
wajahnya (tidak bercadar), namun istri bersikukuh untuk mengikuti pandangannya
bahwa menutup wajah adalah hal yang wajib, hingga urusan ini berlanjut sampai
menyebabkan pada talak, sebab sang suami tidak ingin mengikuti pendapat dan
mazhab istri.
Persoalan demikian adalah hal yang melanggar
terhadap ketentuan syara’, sebab syara’ menghendaki agar suami ditaati
oleh istri, sebab taat pada suami adalah hal yang wajib dan merupakan bagian
dari hak-hak suami atas istri, dan suami menguasai urusan-urusan istri. Bahkan
jika suami memerintahkan istri pada permasalahan yang bersifat mukhtalaf fih
(diperdebatkan antar ulama) maka wajib baginya untuk mentaati suami dan
mengikuti pendapat suami dalam persoalan tersebut.” (Syekh Abdullah bin Bayyah,
Ar-Rad ala ‘Ushuli Khawarij al-Asr, Hal. 70)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
bercadar adalah persoalan yang terjadi perbedaan di antara ulama dalam
menentukan wajib tidaknya, namun jika perbedaan pendapat ini terjadi dalam
pasangan suami istri, maka suami memiliki hak untuk melarang istrinya bercadar,
namun alangkah baiknya suami melarang hal ini dengan cara yang halus
serta dilandasi dengan alasan yang kuat, sehingga ia juga melaksanakan perintah
syara’ berupa berkomunikasi dengan istri dengan cara yang baik. Wallahu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar