Hukum Memanfaatkan Barang
Gadai
Pertanyaan:
Asalamualaikum wr wb. Tim redaksi yang
terhormat, saya dari Karawang, mau bertanya tentang masalah hukum gadai. Ada
dua pertanyaan: Pertama, misalnya teman saya punya sawah/kendaraan, lalu
digadaikan ke saya, apakah saya bisa menggarap/menggunakan sawah/kendaraan
tersebut atau tidak? Kedua, misalnya teman saya punya sawah lalu
digadaikan ke saya, lalu oleh saya sawah tersebut disewakan kepada orang lain,
apakah boleh atau tidak? Mohon penjelasan hukumnya secara detil. Terima kasih.
Gufron
Jawaban:
Wa'alaikum salam warahmatullahi wa
barakâtuh.
Penanya budiman yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala. Perlu diketahui bahwa
akad rahn (gadai), awal mulanya disyariatkan adalah untuk maksud menjaga
kepercayaan dari orang yang memberi utang orang lain, bahwa utang tersebut akan
dilunasinya tepat waktu.
لأن
الرهن إيفاء الدين والإرتهان استيفاؤه
Artinya: "Karena sesungguhnya gadai
berhubungan dengan pemenuhan utang, sementara menerima gadai berhubungan dengan
cara meminta dipenuhinya utang." (al-Kasâny, Badâi' u al-Shanâi' fi
Tartîb al-Syarâi', Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt., 6/135)
Berhubung utang tersebut nilainya besar
sehingga sulit untuk melepaskannya/memberikannya kepada pihak pengutang bila
tanpa disertai adanya jaminan, maka disyariatkanlah sistem gadai tersebut
dengan ciri utama adanya barang gadai (marhûn) sebagai jaminan
kepercayaan (li al-tautsiq). Berangkat dari sini, maka lalu muncul dua
kondisi:
1. Bilamana utang dengan jaminan tersebut
bisa ditunaikan/dilunasi tepat waktu
2. Bilamana utang dengan jaminan tersebut
tidak bisa dilunasi dengan tepat waktu (molor)
Berangkat dari dua kondisi ini, lalu muncul
tradisi yang berlaku (adat mutharid) akan boleh tidaknya pemanfaatan
barang gadai.
Pertama, menurut ulama yang
membolehkan dan alasan dasarnya (illat)
Ulama yang membolehkan pemanfaatan barang
gadai ini juga dibagi dua, yaitu:
1. Boleh melalui jalan jual beli dengan janji
bahwa barang akan dibeli kembali oleh orang yang menjual (pihak pengutang).
Akad ini dinamakan akad sende. Para fuqaha' menamainya dengan istilah bai'u-l 'uhdah (transaksi jual beli dengan tempo)
وَصُوْرَتُهُ
اَنْ يَتَّفَقَ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى اَنَّ اْلبَائِعَ مَتَى اَرَادَ رُجُوْعَ
الْمَبِيْعَ اِلَيْهِ اَتَى بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ وَلَهُ
اَنْ يُقَيَّدَ الرُّجُوْعَ بِمُدَّةٍ فَلَيْسَ لَهُ اْلفَكُّ اِلاَّبَعْدَ
مُضِيِّهَا ثُمَّ بَعْدَ الْمُوَاطَأَةِ يُعْقِدَانِ عَقْدًا صَحِيْحًا
بَلاَشَرْطٍ
Artinya: “Gambaran dari [akad bai’ul
‘uhdah] ini adalah kedua pihak penjual dan pembeli telah bersepakat apabila
penjual sewaktu-waktu ingin menarik kembali barang yang telah dijual maka ia
harus menyerahkan harga umumnya (tsaman mitsil-nya) ia boleh membatasi
untuk penarikan kembali barang yang sudah dijual itu dengan suatu masa tertentu
sehingga ia tidak boleh lepas kecuali telah melewati masa itu, kemudian setelah
terjadi serah terima kedua penjual dan pembeli itu melakukan transaksi dengan
transaksi yang sah tanpa ada satu syarat.” (Abdullah Ba'alawy, Bughyatu
al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 133).
2. Boleh dengan syarat adanya izin atau
diduga pasti diizinkan oleh pihak yang menggadaikan (râhin). Untuk pendapat
yang kedua ini berlaku syarat bahwa kebolehan pemanfaatan tersebut tidak
disyaratkan sebelumnya oleh penerima gadai (al-murtahin) saat terjadinya akad
(fi shulbi al-'aqdi). Apabila berlaku pemanfaatan tersebut disyaratkan saat
aqad ditetapkan, maka tidak syak lagi bahwa pemanfaatan tersebut adalah masuk
unsur riba. Namun, bila tidak disyaratkan saat berlangsungnya akad, maka hal tersebut
tidak disebut sebagai riba. (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh,
Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 258)
Kedua, menurut ulama yang
tidak membolehkan
Ulama yang tidak membolehkan pemanfaatan
barang yang digadaikan ini pada dasarnya beralasan bahwa mengambil manfaat
terhadap barang jaminan, adalah sama dengan mengambil manfaat terhadap utang.
Dan ini masuk lingkup bahasan yang kedua sebagaimana di atas. Jadi, letak
illatnya adalah pada keberadaan syarat pemanfaatan. Jika disyaratkan saat akad,
maka hukumnya tidak boleh, dan bila tidak ada syarat sebelumnya serta diduga
ada izin sebelumnya dari pihak penggadai, maka hukumnya menjadi boleh.
(Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt.,
Juz 5: 258)
Inti utama kewajiban dari pemberi
utang/penerima gadai adalah menjaga agar barang yang dijadikan jaminan untuk
gadai tidak mengalami rusak akibat disia-siakan. Misalnya, yang digadaikan
adalah berupa hewan ternak perah. Bila tidak diperah susu hewan tersebut,
justru akan berakibat pada kesehatan hewan. Maka dalam hal ini, memerah susu
hewan gadai hukumnya menjadi wajib bagi murtahin (penerima gadai) karena
apabila dibiarkan justru bisa berakibat pada itlâf (kerusakan) serta tadlyî'u
al-amwâl (menyia-nyiakan harta).
Sama posisinya dalam hal ini adalah tanah.
Bilamana tanah itu adalah berupa tanah persawahan atau tanah ladang,
membiarkannya tidak dikelola, justru dapat berakibat pada rusaknya struktur
tanah dan bahkan bisa berubah fungsi. Yang asalnya merupakan tanah ladang,
karena tidak dikelola dapat berubah menjadi tanah liar dipenuhi semak
belukar.
Kondisi perubahan fungsi ini bisa dipahami
sebagai itlâf atau tadlyi'u al-amwal. Hukumnya justru haram
membiarkannya bahkan wajib mengelolanya sehingga tetap terjaga fungsinya.
Sekali lagi kunci utamanya adalah pemanfaatan tersebut tidak disyaratkan di
awal dan ada izin atau diduga pasti diizinkan oleh orang yang
menggadaikan.
Bilamana tidak ada izin atau tidak ada
tanda-tanda diizinkan oleh penggadai, maka tugas murtahin adalah menjaga
tetapnya fungsi dan sekaligus kondisi barangnya. Di saat pihak penerima gadai
melakukan perawatan atau penjagaan fungsi dari barang yang digadaikan, maka ia
berhak menerima upah (ujrah) perawatan. Hal ini sama dengan bilamana barang
yang digadaikan adalah berupa hewan. Merawat dan mencarikan rumput bagi hewan
tersebut merupakan illat bisanya murtahin menerima upah atau
keuntungan.
Apa yang barusan kita jelaskan di muka,
ketentuannya juga bisa berlaku pada kendaraan. Namun, ada dua hal yang penting
dan harus diperhatikan adalah bahwa:
1. Bilamana terjadi kerusakan pada barang
yang digadaikan akibat dibiarkan itlaf (rusak) sebab tidak dirawat maka
pihak murtahin harus memberikan ganti rugi (dlamman).
2. Demikian pula rusaknya barang gadai yang
disebabkan karena pemanfaatan di luar ketentuan menjaga fungsinya agar tetap
normal, maka pihak murtahin juga harus memberikan ganti rugi.
Kerusakan pada barang gadai - di luar dua
ketentuan ini - sepenuhnya adalah tanggung jawab râhin (pihak
penggadai). (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr
al-Fikr, tt., Juz 5: 259)
Menyewakan Sawah yang Digadaikan
Setiap barang adalah sah disewakan manakala
barang tersebut sah untuk dijual. Semua barang yang sah dijual adalah harus
berupa barang 'milik' atau 'mendapatkan amanah' untuk menjualkan dari pemilik
asli barang. Sementara itu, dalam gadai, barang yang digadaikan (al-marhun)
adalah masih tetap milik penggadai (râhin). Jadi, dalam hal ini tidak
ada perpindahan status kepemilikan dari râhin kepada murtahin. Walhasil, barang
yang digadaikan tidak sah disewakan, apalagi dijual dan ini adalah hukum
asalnya.
Masalahnya kemudian adalah bahwa penerima
gadai (murtahin) 'wajib' menjaga fungsi dari barang yang digadaikan. Dan
ini kita sepakati.
Lantas, bagaimana bila murtahin tidak bisa
sendiri dalam menjaga fungsi barang tersebut. Bolehkah ia menyuruh orang yang
diupah? Sudah pasti dalam hal ini adalah boleh dengan besar ongkos
pertanggungan upahnya (ujrah) adalah dibebankan kepada râhin (Al-Zuhaily, al-Fiqh
al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 259).
Sampai di sini, bilamana perawatan fungsi
sawah tersebut harus menyuruh orang lain yang diupah, dan sebagai wasilah
perawatannya adalah tanah tersebut harus ditanami, maka milik siapakah hasil
tanaman tersebut? Dalam hal ini, kita mengambil qiyas dengan hasil perahan susu
hewan yang digadaikan. Bilamana susu tersebut dijual, maka hasil susu tersebut
milik siapa? Karena hewan yang diperah adalah milik penggadai (râhin), maka
susu hasil perahan tersebut adalah milik râhin, dan bisa digunakan untuk
menggaji orang yang memerah dan sekaligus membayar biaya perawatan, yang
pengelolaannya diserahkan kalkulasinya kepada murtahin.
Kondisi yang sama bisa berlaku pada sawah.
Bilamana penjagaan fungsi sawah harus dengan jalan menanami, maka hasil tanaman
sawah hakikatnya adalah milik râhin dan bisa diambil oleh murtahin untuk
menggaji orang yang merawat fungsinya melalui mekanisme pemberian ujrah. Dan
bila yang merawat adalah murtahin sendiri, maka murtahin bisa
memungut tagihan ke rahin atau mengambil upah dari hasil perawatan
dengan seizin râhin.
Wah, jika demikian berlakunya, bukankah itu
sama saja dengan boleh disewakan? Sekali lagi, tugas murtahin adalah menjaga
fungsi barang yang digadaikan agar tidak rusak. Meskipun, dalam menjaga fungsi
tersebut memang ada mekanisme yang hampir sama dengan sewa menyewa.
Yang jelas, boleh bagi murtahin untuk
mengongkosi orang guna menjaga fungsinya. Hasil perawatan adalah milik
penggadai (râhin), dikelola oleh penerima gadai (murtahin).
Perawatnya berhak menerima akumulasi upah (ujrah). Syarat ujrah itu
harus maklum dan tidak boleh memakai taksiran berupa hasil tanaman menjadi
milikmu semua. Seperti ini adalah tidak boleh. Wallahu a'lam bish shawab.
[]
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang
Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar