Rabu, 18 September 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Memanfaatkan Barang Gadai


Hukum Memanfaatkan Barang Gadai

Pertanyaan:

Asalamualaikum wr wb. Tim redaksi yang terhormat, saya dari Karawang, mau bertanya tentang masalah hukum gadai. Ada dua pertanyaan: Pertama, misalnya teman saya punya sawah/kendaraan, lalu digadaikan ke saya, apakah saya bisa menggarap/menggunakan sawah/kendaraan tersebut atau tidak? Kedua, misalnya teman saya punya sawah lalu digadaikan ke saya, lalu oleh saya sawah tersebut disewakan kepada orang lain, apakah boleh atau tidak? Mohon penjelasan hukumnya secara detil. Terima kasih.

Gufron

Jawaban:

Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barakâtuh. Penanya budiman yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala. Perlu diketahui bahwa akad rahn (gadai), awal mulanya disyariatkan adalah untuk maksud menjaga kepercayaan dari orang yang memberi utang orang lain, bahwa utang tersebut akan dilunasinya tepat waktu. 

لأن الرهن إيفاء الدين والإرتهان استيفاؤه

Artinya: "Karena sesungguhnya gadai berhubungan dengan pemenuhan utang, sementara menerima gadai berhubungan dengan cara meminta dipenuhinya utang." (al-Kasâny, Badâi' u al-Shanâi' fi Tartîb al-Syarâi', Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt., 6/135)

Berhubung utang tersebut nilainya besar sehingga sulit untuk melepaskannya/memberikannya kepada pihak pengutang bila tanpa disertai adanya jaminan, maka disyariatkanlah sistem gadai tersebut dengan ciri utama adanya barang gadai (marhûn) sebagai jaminan kepercayaan (li al-tautsiq). Berangkat dari sini, maka lalu muncul dua kondisi:

1. Bilamana utang dengan jaminan tersebut bisa ditunaikan/dilunasi tepat waktu

2. Bilamana utang dengan jaminan tersebut tidak bisa dilunasi dengan tepat waktu (molor)

Berangkat dari dua kondisi ini, lalu muncul tradisi yang berlaku (adat mutharid) akan boleh tidaknya pemanfaatan barang gadai.

Pertama, menurut ulama yang membolehkan dan alasan dasarnya (illat)

Ulama yang membolehkan pemanfaatan barang gadai ini juga dibagi dua, yaitu:

1. Boleh melalui jalan jual beli dengan janji bahwa barang akan dibeli kembali oleh orang yang menjual (pihak pengutang). Akad ini dinamakan akad sende. Para fuqaha' menamainya dengan istilah bai'u-l 'uhdah (transaksi jual beli dengan tempo) 

وَصُوْرَتُهُ اَنْ يَتَّفَقَ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى اَنَّ اْلبَائِعَ مَتَى اَرَادَ رُجُوْعَ الْمَبِيْعَ اِلَيْهِ اَتَى بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ وَلَهُ اَنْ يُقَيَّدَ الرُّجُوْعَ بِمُدَّةٍ فَلَيْسَ لَهُ اْلفَكُّ اِلاَّبَعْدَ مُضِيِّهَا ثُمَّ بَعْدَ الْمُوَاطَأَةِ يُعْقِدَانِ عَقْدًا صَحِيْحًا بَلاَشَرْطٍ

Artinya: “Gambaran dari [akad bai’ul ‘uhdah] ini adalah kedua pihak penjual dan pembeli telah bersepakat apabila penjual sewaktu-waktu ingin menarik kembali barang yang telah dijual maka ia harus menyerahkan harga umumnya (tsaman mitsil-nya) ia boleh membatasi untuk penarikan kembali barang yang sudah dijual itu dengan suatu masa tertentu sehingga ia tidak boleh lepas kecuali telah melewati masa itu, kemudian setelah terjadi serah terima kedua penjual dan pembeli itu melakukan transaksi dengan transaksi yang sah tanpa ada satu syarat.” (Abdullah Ba'alawy, Bughyatu al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 133).

2. Boleh dengan syarat adanya izin atau diduga pasti diizinkan oleh pihak yang menggadaikan (râhin). Untuk pendapat yang kedua ini berlaku syarat bahwa kebolehan pemanfaatan tersebut tidak disyaratkan sebelumnya oleh penerima gadai (al-murtahin) saat terjadinya akad (fi shulbi al-'aqdi). Apabila berlaku pemanfaatan tersebut disyaratkan saat aqad ditetapkan, maka tidak syak lagi bahwa pemanfaatan tersebut adalah masuk unsur riba. Namun, bila tidak disyaratkan saat berlangsungnya akad, maka hal tersebut tidak disebut sebagai riba. (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 258)

Kedua, menurut ulama yang tidak membolehkan

Ulama yang tidak membolehkan pemanfaatan barang yang digadaikan ini pada dasarnya beralasan bahwa mengambil manfaat terhadap barang jaminan, adalah sama dengan mengambil manfaat terhadap utang. Dan ini masuk lingkup bahasan yang kedua sebagaimana di atas. Jadi, letak illatnya adalah pada keberadaan syarat pemanfaatan. Jika disyaratkan saat akad, maka hukumnya tidak boleh, dan bila tidak ada syarat sebelumnya serta diduga ada izin sebelumnya dari pihak penggadai, maka hukumnya menjadi boleh. (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 258)

Inti utama kewajiban dari pemberi utang/penerima gadai adalah menjaga agar barang yang dijadikan jaminan untuk gadai tidak mengalami rusak akibat disia-siakan. Misalnya, yang digadaikan adalah berupa hewan ternak perah. Bila tidak diperah susu hewan tersebut, justru akan berakibat pada kesehatan hewan. Maka dalam hal ini, memerah susu hewan gadai hukumnya menjadi wajib bagi murtahin (penerima gadai) karena apabila dibiarkan justru bisa berakibat pada itlâf (kerusakan) serta tadlyî'u al-amwâl (menyia-nyiakan harta). 

Sama posisinya dalam hal ini adalah tanah. Bilamana tanah itu adalah berupa tanah persawahan atau tanah ladang, membiarkannya tidak dikelola, justru dapat berakibat pada rusaknya struktur tanah dan bahkan bisa berubah fungsi. Yang asalnya merupakan tanah ladang, karena tidak dikelola dapat berubah menjadi tanah liar dipenuhi semak belukar. 

Kondisi perubahan fungsi ini bisa dipahami sebagai itlâf atau tadlyi'u al-amwal. Hukumnya justru haram membiarkannya bahkan wajib mengelolanya sehingga tetap terjaga fungsinya. Sekali lagi kunci utamanya adalah pemanfaatan tersebut tidak disyaratkan di awal dan ada izin atau diduga pasti diizinkan oleh orang yang menggadaikan. 

Bilamana tidak ada izin atau tidak ada tanda-tanda diizinkan oleh penggadai, maka tugas murtahin adalah menjaga tetapnya fungsi dan sekaligus kondisi barangnya. Di saat pihak penerima gadai melakukan perawatan atau penjagaan fungsi dari barang yang digadaikan, maka ia berhak menerima upah (ujrah) perawatan. Hal ini sama dengan bilamana barang yang digadaikan adalah berupa hewan. Merawat dan mencarikan rumput bagi hewan tersebut merupakan illat bisanya murtahin menerima upah atau keuntungan. 

Apa yang barusan kita jelaskan di muka, ketentuannya juga bisa berlaku pada kendaraan. Namun, ada dua hal yang penting dan harus diperhatikan adalah bahwa:

1. Bilamana terjadi kerusakan pada barang yang digadaikan akibat dibiarkan itlaf (rusak) sebab tidak dirawat maka pihak murtahin harus memberikan ganti rugi (dlamman). 

2. Demikian pula rusaknya barang gadai yang disebabkan karena pemanfaatan di luar ketentuan menjaga fungsinya agar tetap normal, maka pihak murtahin juga harus memberikan ganti rugi. 

Kerusakan pada barang gadai - di luar dua ketentuan ini - sepenuhnya adalah tanggung jawab râhin (pihak penggadai). (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 259)

Menyewakan Sawah yang Digadaikan

Setiap barang adalah sah disewakan manakala barang tersebut sah untuk dijual. Semua barang yang sah dijual adalah harus berupa barang 'milik' atau 'mendapatkan amanah' untuk menjualkan dari pemilik asli barang. Sementara itu, dalam gadai, barang yang digadaikan (al-marhun) adalah masih tetap milik penggadai (râhin). Jadi, dalam hal ini tidak ada perpindahan status kepemilikan dari râhin kepada murtahin. Walhasil, barang yang digadaikan tidak sah disewakan, apalagi dijual dan ini adalah hukum asalnya.

Masalahnya kemudian adalah bahwa penerima gadai (murtahin) 'wajib' menjaga fungsi dari barang yang digadaikan. Dan ini kita sepakati.

Lantas, bagaimana bila murtahin tidak bisa sendiri dalam menjaga fungsi barang tersebut. Bolehkah ia menyuruh orang yang diupah? Sudah pasti dalam hal ini adalah boleh dengan besar ongkos pertanggungan upahnya (ujrah) adalah dibebankan kepada râhin (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 259).

Sampai di sini, bilamana perawatan fungsi sawah tersebut harus menyuruh orang lain yang diupah, dan sebagai wasilah perawatannya adalah tanah tersebut harus ditanami, maka milik siapakah hasil tanaman tersebut? Dalam hal ini, kita mengambil qiyas dengan hasil perahan susu hewan yang digadaikan. Bilamana susu tersebut dijual, maka hasil susu tersebut milik siapa? Karena hewan yang diperah adalah milik penggadai (râhin), maka susu hasil perahan tersebut adalah milik râhin, dan bisa digunakan untuk menggaji orang yang memerah dan sekaligus membayar biaya perawatan, yang pengelolaannya diserahkan kalkulasinya kepada murtahin

Kondisi yang sama bisa berlaku pada sawah. Bilamana penjagaan fungsi sawah harus dengan jalan menanami, maka hasil tanaman sawah hakikatnya adalah milik râhin dan bisa diambil oleh murtahin untuk menggaji orang yang merawat fungsinya melalui mekanisme pemberian ujrah. Dan bila yang merawat adalah murtahin sendiri, maka murtahin bisa memungut tagihan ke rahin atau mengambil upah dari hasil perawatan dengan seizin râhin

Wah, jika demikian berlakunya, bukankah itu sama saja dengan boleh disewakan? Sekali lagi, tugas murtahin adalah menjaga fungsi barang yang digadaikan agar tidak rusak. Meskipun, dalam menjaga fungsi tersebut memang ada mekanisme yang hampir sama dengan sewa menyewa. 

Yang jelas, boleh bagi murtahin untuk mengongkosi orang guna menjaga fungsinya. Hasil perawatan adalah milik penggadai (râhin), dikelola oleh penerima gadai (murtahin). Perawatnya berhak menerima akumulasi upah (ujrah). Syarat ujrah itu harus maklum dan tidak boleh memakai taksiran berupa hasil tanaman menjadi milikmu semua. Seperti ini adalah tidak boleh. Wallahu a'lam bish shawab. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar