Fiqh Bencana: Solusi Kasus
Kredit Syariah Akad IMBT Pasca-Bencana
Kredit mobil baik secara syariah maupun
secara konvensional, pada dasarnya mengikuti proses akad ijarah muntahiyah bi
al-tamlîk atau syirkah musâhamah bi nihâyati al-tamlîk. Purna akad dari sistem
ini adalah kepemilikan barang sepenuhnya oleh pembeli setelah. Proses
perpindahan kepemilikan barang terjadi berangsur-angsur seiring bertambahnya
jumlah pembayaran angsuran oleh debitur kepada kreditur. Kreditur yang dimaksud
dalam kesempatan tulisan ini adalah perbankan atau perusahaan jasa leasing.
Perbedaan kredit ala ijarah muntahiyah bi
al-tamlik dengan kredit yang masuk dalam kategori jual beli taqsith atau jual
beli tempo adalah keberadaan angsuran yang cenderung menurun setiap kali
terjadi pertambahan jumlah angsuran oleh debitur. Selain itu, status
kepemilikan barang pada produk IMBT adalah tidak sama dengan kepemilikan barang
produk taqsith (perkreditan). Barang yang diperoleh lewat akad IMBT adalah
belum sepenuhnya menjadi hak milik debitur. Hal ini berbeda pada kasus jual
beli taqsith atau jual beli dengan harga tunda yang mana status hak milik
barang sudah menjadi wewenang mutlak dari pembeli. Syeikh Wahbah Zuhaily
menyebut sebagai milkun naqish dan milkun tâm.
والملك
الناقص هو ملك العين وحدها أو المنفعة وحدها ويسمى ملك المنفعة حق الإنتفاع
Artinya: “Milkun nâqish adalah suatu
kepemilikan atas dasar barang saja dan bukan manfaatnya, atau manfaatnya saja
dan tidak pada barangnya. Yang dimaksud kepemilikan manfaat adalah hak
pemanfaatan barang.” (Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu,
Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 4/415)
Lawan dari milkun
naqish adalah milkun tâm, yaitu kepemilikan atas barang dan manfaat.
Jadi, dua-duanya, baik manfaat maupun barangnya menjadi hak dari seseorang yang
membeli.
Untuk milkun tâm, seorang pembeli hanya
berhak mengambil manfaat dari barang saja, sementara barangnya tidak ikut
memiliki. Barang masih menjadi hak penjual, sehingga pembeli harus menyewanya
(ijârah) agar bisa mendapatkan manfaat yang dibelinya. Contoh gampang dari
praktik akad ini adalah meteran listrik rumah tangga, yang mana wujud
meterannya masih merupakan hak milik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara),
sedangkan manfaat dari meteran itu dimiliki oleh konsumen rumah tangga
PLN.
Akad IMBT merupakan turunan dari milkun
tâm sebagaimana diuraikan di atas. Bedanya, barang yang dibeli (ain
al-musta’jar) bisa diakuisisi kepemilikannya secara sempurna oleh pihak
penyewa/pembeli setelah purna akadnya. Paripurnanya akad merupakan hal yang
diikat oleh sebuah perjanjian antara pihak lembaga perkreditan dan pembelinya.
Meski ada wujud perjanjiannya, namun akad ini tidak bisa dikategorikan sebagai
akad bai’u al-‘uhdah, yaitu jual beli yang disertai dengan janji akan dijual
kembali kepada penjualnya setelah selang beberapa waktu tertentu. Akad bai’u
al-uhdah sering dikenal sebagai akad sende. Dalam bai’u al-uhdah, peralihan
kepemilikan berlangsung sempurna dari penjual ke pembeli. Begitu juga saat
jatuh tempo, peralihan kepemilikan juga berlangsung sempurna dari pembeli ke
penjual kembali. Sementara dalam IMBT, status kepemilikan barang tidak
berlangsung sempurna sebelum purna akad. Jadi, pada poin transfer of risk (hak
penguasaan barang) inilah, para pakar fiqih muamalah harus memberikan penekanan
perhatian.
Karena kepemilikan barang dalam IMBT tidak
terjadi secara sempurna, maka pihak pembeli hanya memiliki kewajiban atas harga
sewa barang. Mengapa demikian? Karena dalam akad IMBT, pembeli merupakan pihak
yang berperan selaku penyewa barang dan hanya berhak atas manfaat barang.
Sebenarnya, kasus IMBT ini tidak selalu
sebagaimana yang penulis sebutkan di atas dalam wilayah operasionalnya. Ada
juga yang memiliki pola lain yang lebih cocok apabila dikategorikan sebagai
akad syirkah musâhamah bi nihâyati al-tamlîk (SMBT). Namun, dalam catatan
penulis, sejauh ini, pola perkreditan kendaraan lewat jasa syariah atau
konvensional, lebih condong kepada praktik IMBT dengan segenap model
perpindahan kepemilikan barangnya. Ciri khasnya, adalah pihak perusahaan jasa
leasing masih bisa mengambil mobil / kendaraan yang sudah berada di tangan
pembeli apabila terjadi keterlambatan dalam melakukan transaksi untuk alasan
dilelang guna menutup kekurangan tagihan pembeli. Sementara itu, hasil
pelelangan kadang tidak diberitahukan kepada pembeli, sehingga pembeli tidak
mendapat pengembalian dari sisa hasil lelangnya ketika harga pokok barangnya
sudah terpenuhi semua.
Dengan memahami konteks ini, maka apabila
terjadi kasus bencana sehingga menyebabkan hilangnya barang yang diakadkan
dalam IMBT, maka hak dasar dan tanggung jawab pembeli adalah sebatas pada
pembayaran harga sewa sampai dengan waktu terjadinya bencana. Adapun tanggung
jawab rusaknya barang yang disewa adalah menjadi hak dan tanggung jawab
penjual, karena status kepemilikan barang belum berpindah ke
pembeli/penyewa.
Sampai di sini, justru hak dari
pembeli/penyewa adalah mendapatkan hak kembalian (ganti rugi) harga pokok
barang yang telah dibayarkan kepada perusahaan leasing seiring perjanjian akan
dibelinya barang tersebut di akhir akad. Mengapa demikian? Status harga pokok
yang dibayarkan bersama-sama dengan cicilan tiap bulannya adalah ibarat titipan
uang yang diberikan dalam bentuk akad wadi’ah yadu al-amanah seiring
kepercayaan pembeli kepada perusahaan untuk menjaganya sampai purna akad.
Seberapa besar ganti rugi tersebut diberikan
kepada pembeli/penyewa barang? Besaran ganti rugi yang harus diberikan oleh
perusahaan leasing adalah sebesar harga pokok cicilan dikalikan banyaknya bulan
sampai dengan waktu datangnya bencana. Tapi, apa mungkin ini mampu dilaksanakan
oleh perusahaan ya? Bagaimana pula dengan perkreditan mengikut pola akad SMBT?
Insyaallah kita akan kupas pada tulisan-tulisan mendatang. Wallahu a’lam bish
shawab. []
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji
Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar