Imam Nawawi Tidak Mewajibkan Menegakkan Sistem Khilafah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Belakangan pimpinan HTI Hafizh Abdurrahman mengutip kitab
“al-Majmu’” karya Imam Nawawi tentang khilafah. Ini menggelikan karena
menyingkap fakta bahwa Hafizh tak paham isi kitab “al-Majmu’”.
Imam Nawawi (1233-1277) adalah seorang ulama besar dalam tradisi
mazhab Syafi’i, yang kitab-kitab karyanya dibaca oleh kalangan pesantren.
Belakangan ini opininya seringkali dipelintir oleh kelompok pro-khilafah.
Seolah-olah Imam Nawawi mewajibkan untuk mendirikan negara khilafah berdasarkan
sistem khilafah.
Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk kesekian kalinya
melakukan upaya pemelintiran ini demi menarik simpati kalangan pesantren.
Tulisan ini hendak menegaskan bahwa HTI keliru besar memahami kitab karya Imam
Nawawi.
Berbeda dengan klaim HTI, umumnya kitab fikih klasik sebenarnya
tidak membahas sistem khilafah. Yang dibahas itu soal pengangkatan khalifah.
Sampai di sini terjadi pemelintiran pertama antara “pengangkatan khalifah” yang
dibahas kitab fikih klasik, dengan “menegakkan sistem khilafah” yang
dipropagandakan oleh HTI. Kitab fikih klasik tidak bicara soal sistem khilafah!
Imam Nawawi, misalnya, tidak membahas topik khilafah ini di
mayoritas karya-karyanya. Buka saja dari mulai kitab at-Tahqiq sampai kitab Minhaj at-Thalibin. Tidak
ada bab khusus tentang khilafah yang ditulis oleh Imam Nawawi. Belakangan
pimpinan HTI Hafizh Abdurrahman mengutip kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi soal
khilafah. Ini menggelikan karena menyingkap fakta bahwa Hafizh Abdurrahman
tidak paham isi kitab al-Majmu’.
Kitab al-Majmu’
aslinya ditulis oleh Imam an-Nawawi hanya sampai bab riba, lalu beliau keburu
wafat. Maka, jilid selanjutnya diteruskan oleh Imam as-Subki dan Syekh
Muthi’iy. Jadi, kutipan Hafizh Abdurrahman dari kitab al-Majmu’ itu bukan
dari Imam Nawawi.
Pelintiran kedua oleh Hafizh Abdurrahman adalah saat menerjemahkan
keterangan Imam Nawawi dalam Raudhatut
Thalibin. Dalam teks aslinya tidak ada kata dalam kurung khalifah
dan khilafah di bawah ini:
“Mengenai wajibnya Imamah dan penjelasan tentang metodenya, maka
umat wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan agama, membela
Sunnah, membela orang-orang yang dizalimi, serta memenuhi hak, dan
mengembalikannya pada posisinya. Saya tegaskan, pengangkatan Imamah (Khilafah)
hukumnya fardhu kifayah” (terjemahan Hafizh Abdurrahman)
Perhatikan selipan kata “Khalifah” dan “Khilafah” dalam tanda
kurung di atas, yang dilakukan oleh Hafizh. Ketidakjujurannya ini amat
memalukan.
Teks aslinya:
فِي
وُجُوبِ الْإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا، لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ
يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ،
وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا قُلْتُ: تَوَلِّيِ
الْإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ،
Terjemahan yang tepat adalah: “tentang wajibnya kepemimpinan dan
penjelasan mengenai cara pengangkatannya, sebuah keharusan buat umat untuk
memiliki seorang Imam yang menegakkan agama, membela sunnah Nabi, dan membela
kaum yang dizalimi, memenuhi dan mengembalikan hak mereka. Saya berkata:
mengangkat pemimpin itu fardhu kifayah.”
Titik tekannya adalah pada pengangkatan seorang pemimpin, bukan
pada sistem khilafah. Itu sebabnya, di bagian berikutnya dari kitab Raudhatut Thalibin, Imam
Nawawi mengatakan:
يَجُوزُ
أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ: الْخَلِيفَةُ وَالْإِمَامُ وَأَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ،
“Boleh menyebut pemimpin
itu dengan istilah Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin.”
Ini artinya Imam Nawawi tidak pusing dengan gelar atau istilah
yang dipakai oleh para pemimpin, disesuaikan dengan konteks perkembangan
sejarah, karena yang terpenting baginya adalah adanya seorang pemimpin. Akan
kacau balau kalau kita tidak punya pemimpin. Alhamdulillah
NKRI sudah punya pemimpin yang baru saja terpilih untuk periode kedua: Joko
Widodo. Ini sudah sah secara fikih.
Saya akan tunjukkan bukti lebih jauh bahwa Imam Nawawi tidak
membahas sistem khilafah, tapi hanya soal mengangkat pemimpin. Bahasan tentang
pemimpin dalam kitab tebalnya, Raudhatut
Thalibin, hanya beberapa halaman saja. Itu pun bukan dalam bab
khusus, tapi dalam bab:
كِتَابُ
الْإِمَامَةِ وَقِتَالُ الْبُغَاةِ
“Bab Kepemimpinan dan
Membunuh Pemberontak”
Lantas kita lihat apa saja bahasan Imam Nawawi. Ini outline pembahasan beliau:
Pertama, Imam Nawawi menguraikan mengenai syarat seorang pemimpin.
Kedua, tentang wajibnya mengangkat pemimpin. Dijelaskan pula cara
pengangkatannya melalui tiga metode: baiat, penunjukan, atau kudeta.
Ketiga, hukum-hukum seputar pemimpin. Wajib taat kepada pemimpin,
dan juga bahasan bolehkah ada dua pemimpin dalam waktu bersamaan. Bagaimana
kalau pemimpin yang naik dengan cara kudeta, lantas dikudeta lagi, apakah sah
pemimpin yang terakhir ini?
Keempat, tidak boleh memakzulkan pemimpin tanpa sebab. Dan dibahas
juga bolehkah Imam mencopot putra mahkota?
Kelima, pemimpin tidak bisa dilengserkan karena kefasikan dan
ketidaksadaran, tetapi bisa dilengserkan dengan sakit yang membuatnya lupa dan
gila.
Imam Nawawi menambahkan pembahasan berikut ini: pertama, apa yang
terjadi kalau pemimpin ditawan? Bisakah dicopot dari kekuasaannya saat ditawan
yang tidak ada harapan lagi untuk bisa diselamatkan? Masalah kedua, wajib
memberikan nasihat kepada Imam sesuai kemampuannya. Masalah ketiga, boleh
menyebut pemimpin dengan istilah yang berbeda seperti Khalifah, Imam atau
Amirul Mukminin.
Total hanya 7 halaman dari sekitar 300 halaman kitab Raudhatut Thalibin di mana
Imam Nawawi membahas soal kepemimpinan ini. Dan kalau kita simak outline yang sudah saya
cantumkan di atas, Imam Nawawi hanya fokus pada soal pemimpin, bukan pada
sistem khilafah. Yang dibahas soal kepemimpinan juga hanya prinsip umum saja
seperti kewajiban taat pada pemimpin, menasihati pemimpin, cara
pengangkatannya, dan topik terkait lainnya seperti sudah disampaikan di atas.
Sistem khilafah? Ternyata tidak dibahas. Buktinya, tidak dibahas
oleh Imam Nawawi tentang keberadaan Wazir, Amirul Umara, dan pejabat negara
lainnya. Juga beliau tidak membahas lembaga lain semisal Wilayatul Mazhalim,
dan institusi lainnya serta bagaimana relasi antara satu institusi dengan
lainnya. Bagaimana soal hubungan luar negeri, bagaimana mengatur soal pajak,
dan bagaimana mengatur soal militer? Imam Nawawi tidak membahasnya.
Ini artinya, selama kita sudah memilih pemimpin, maka secara fikih
tugas kita (fardhu kifayah)
sudah ditunaikan. Apalagi Imam Nawawi tidak mempersoalkan apa istilah yang
digunakan untuk menyebut pemimpin. Kalau sekarang tentu namanya ada Presiden
atau Perdana Menteri. Jadi, kesimpulannya yang dijadikan fokus oleh Imam Nawawi
dan ulama klasik lainnya adalah soal pemimpin, bukan soal sistem khilafah.
Jangan mau kena tipu pelintiran HTI, ya!
Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74. Mari kita isi
kemerdekaan bangsa kita dengan nilai dan prinsip keislaman, bukan malah hendak
menggantinya dengan sistem khilafah. []
GEOTIMES, 16 Agustus 2019
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New
Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar