Istishna’: Akad Inden Barang Rakitan
Akad merakitkan barang termasuk dalam kelompok
akad jual beli barang yang bisa disifati dan ada dalam tanggungan/kewajiban.
Akad ini ada seiring kebiasaan masyarakat yang ingin tahu beres terhadap barang
yang dipesan dan selesai. Jika akad ini tidak dipergunakan, maka biaya bisa
semakin membengkak karena pemilik harus mengawasi orang yang bekerja setiap
harinya.
Dengan keberadaan akad inden ini, pemilik bisa
cukup dengan jalan memasrahkan apa yang diinginkan kepada perusahaan
jasa/kontraktor yang kompeten dan kredibel, atau orang yang bisa dipercaya,
untuk membuatkan barang yang dipesan. Dengan pasrah kepada jasa kontraktor atau
orang yang bisa dipercaya ini, ia bisa bekerja, dan mencari kembali nafkah
untuk menutup kemungkinan defisit anggaran rumah tangga akibat membangun.
Bagi para pekerja kantor yang harus setiap hari
bekerja di kantor, tidak mungkin ia melakukan pengawasan secara langsung ke
pekerja di rumah. Ia perlu mengambil cara agar apa yang diinginkan terwujud,
sementara pekerjaan wajibnya tidak terbengkalai. Salah satu caranya adalah
pesan inden barang, atau lelang jasa konstruksi, atau juga lelang borongan. Ia
tinggal melakukan tawar menawar harga, menyerahkan harganya, lalu meminta agar
orang tersebut bekerja mewujudkannya.
Jika ditilik dari model dan sifat akad inden
ini, maka pada dasarnya akad inden masuk dalam kelompok akad jual beli barang
yang bisa disifati atau manfaat yang bisa disifati. Dalam konteks fiqih, ia
masuk ke dalam rumpun kelompok akad salam (akad pesan). Bedanya dengan akad
salam, barang dalam akad salam sudah wujud. Sementara dalam akad inden ini,
barangnya belum wujud. Hanya kriteria barangnya saja yang disodorkan. Ra’su
al-maal (harga kontrak) sudah ditentukan sedari awal.
Karena wujud barangnya yang belum terbentuk ini,
jumhur fuqaha’ dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menghukuminya
sebagai akad yang tidak boleh (ghairu jaizah) karena termasuk rumpun jual beli
barang ghaib. Namun, karena jumhur fuqaha’ ketiga madzhab ini juga sama-sama
menerima bai’u mashufin fi al-dzimmah maka ketiganya menerima perluasan makna
dari keberadaan akad ini dengan menyebutnya sebagai akad istishna’. Seperti
misalnya, fuqaha’ kontemporer kalangan Syafi’iyah, seperi Doktor Kasib Abdul
Karim, beliau menyebut akad ini sebagai:
عقد على
بيع في الذمة يشترط فيه العمل على وجه مخصوص
Artinya: “Suatu akad jual beli dalam
tanggungan/kewajiban yang diikuti dengan syarat melaksanakan pekerjaan tertentu
menurut cara-cara yang telah ditentukan.” (Lihat: Kâsib Abdu al-Karîm, ‘Aqdu
al-Ishtishnâ’ fi al-Fiqhi al-Islâmy; Dirâsah Muqâranah, Iskandariyah: Daru
Al-Da’wah, 1980, hal. 59).
Jadi, kalangan fuqaha’ Syafi’iyah kontemporer
memasukkannya dalam kelompok akad bai’un fi al-dzimmah (jual beli dalam
tanggungan/kewajiban). Para ulama ini mengelompokkan akad inden (istishna’)
dengan teknik qiyas musâwy (penyamaan illat hukum). Bagaimana dengan fuqaha’
Hanafiyah?
Sejak awal, jumhur fuqaha’ Hanafiyah menerima
akad inden ini dengan dalil istihsân. Hal ini bisa kita ikuti dari salah satu
pendapat ulama’nya, seperti al-Kassâny dalam Badai’u al-Shanâi’, beliau
menjelaskan:
أما جوازه
فالقياس أن لا يجوز, لأنه باع ما ليس عند الإنسان لا على وجه السلم وقد نهى رسول
الله صلى الله عليه وسلم عن بيع ما ليس عند الإنسان وأرخص في السلم
ويحوز
استحسانا لإجماع الناس على ذلك لأنهم يعملون ذلك في سائر الأعصار من غير نكير,
والقياس يترك بالإجماع
Artinya: “Yang membolehkan akad inden ini, maka
teknik qiyas menetapkan ketidakbolehannya, karena ia merupakan jual beli
sesuatu yang tidak ada di sisi manusia sebagaimana akad salam. Dasarnya adalah
hadits Rasulullah SAW yang telah melarang jual beli sesuatu yang tidak ada di
sisi manusia, namun memberi keringanan untuk jual beli salam. Kebolehan akad
inden ini adalah ditetapkan atas dasar istihsân seiring umumnya masyarakat dalam
menerapkannya di semua daerah tanpa ada yang mengingkari. Oleh karena itu jalan
qiyas dalam hal ini ditinggalkan berdasarkan kesepakatan ulama’.” (‘Alâuddin
Abu Bakar bin Mas’ud Al-Kassâny, Badai’u al-Shanâi’ fî Tartîbi al-Syarâi’ li
al-Imâm al-Kassâny, Beirut: Dâru al-Kitâb al-‘Araby, 1982, Juz 6, hal.
1678).
Pendapat yang sama dengan al-Kassâny bisa
ditemui dalam Fathu al-Qadîr juz 7, halaman 114, Kitab al-Fatâwy al-Hindiyyah
Juz 4, halaman 517, dan sejumlah kitab lainnya. Kesepakatan kebiasaan masyarakat
yang berjalan turun-temurun dengan ketiadaan penolakan atas maslahahnya,
merupakan dasar utama penetapan hukum bolehnya akad inden.
Dasar lain dari kebolehan penetapan akad ini
adalah hadits Rasulillah SAW:
مارآه
المسلمون حسنا فهو حسن رواه أحمد
Artinya: “Apa yang dipandang sebagai baik oleh
kaum muslimin, maka ia adalah baik.” HR. Ahmad.
Al-Hazimy dalam al-I’tibâr fi Bayâni al-Nâsikh
wa al-Mansūkh mengomentari bahwa hadits ini sebagai shahîhun tsâbit. Imam Ahmad
menyebut derajat haditsnya adalah marfu’. Dalam Syarah Fathul Qadir, juga
disebutkan sebuah hadits bahwa Baginda Rasulillah SAW pernah memesan sebuah
cincin, lalu dipergunakannya.
Lebih lanjut, Al-Kassâny menjelaskan bahwa
dalam akad inden ini, terdapat gabungan dua akad yang diperbolehkan, yaitu akad
salam dan akad ijarah. Beliau menjelaskan:
لأنه فيه
معنى عقدين جائزين وهما السلم والإجارة لأن السلم عقد على بيع في الذمة
واستئجارالصانع يشترط فيه العمل وما اشتمل على عقدين جائزين كان جائزا
Artinya: “Karena sesungguhnya di dalam akad
inden ini terdapat dua akad yang boleh digabungkan, yaitu akad salam dan akad
ijarah. Salam adalah akad jual beli dalam tanggungan dan membayar shani’
merupakan yang disyaratkan dalam akad karena amalnya. Dan segala amal yang
didalamnya memuat dua akad yang boleh digabungkan, maka hukumnya boleh juga
dilakukan.” (‘Alâuddin Abu Bakar bin Mas’ud Al-Kassâny, Badai’u al-Shanâi’ fî
Tartîbi al-Syarâi’ li al-Imâm al-Kassâny, Beirut: Dâru al-Kitâb al-‘Araby,
1982, Juz 7, hal. 115).
Karena akad inden ini berkaitan erat dengan
unsur membuatkan sesuatu yang dipesan, maka kita menyebutnya dalam fiqih
sebagai akad istishna’. Akad ini umum digunakan dalam akad infrastruktur,
proyek, pengapalan (shipment). Dan saat ini, telah dilakukan introduksi akad
istishna’ dalam jasa pengembang (developer) perumahan. Wallâhu a’lam bish
shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar