Empat
Masalah dalam Buku-buku Anti-Asy'ariyah-Maturidiyah
Ada banyak kitab atau
buku akidah baru yang dibuat khusus sebagai kecaman terhadap Asy'ariyah.
Buku-buku tersebut biasanya menukil pernyataan tokoh-tokoh di masa lalu yang
memojokkan Asy'ariyah-Maturidiyah, dua mazhab teologi yang dianut Ahlussunnah
wal Jamaah. Asy’ariyah dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari, sedangkan
Maturidiyah oleh Abu Mansur al-Maturidi.
Kalau dilihat di menu
update Maktabah Syamilah atau di portal-portal kitab pdf, makin lama makin
banyak jumlah kitab beginian sebab ada kelompok yang alergi sekali dengan
mazhab akidah terbesar dalam sejarah umat Islam ini. Hingga kini, mereka yang
alergi ini terus membuat banyak kitab yang isinya sama saja, hanya
mengulang-ulang kritik yang sudah kuno yang sejatinya sudah dijawab sejak
dahulu kala oleh para ulama.
Satu kekurangan besar
dari kitab-kitab semacam itu, yakni minimnya objektivitas. Meskipun isinya ada
yang tebal hingga lebih dari 500 halaman, objektivitasnya tetap saja sangat
minim, kalau tak mau dibilang tak ada. Contoh minimnya objektivitas itu dapat
dilihat dari hal-hal berikut:
1. Tidak
representatif.
Menukil banyak
nukilan bukan berarti sudah representatif. Ini pelajaran dasar dalam ilmu
penelitian yang anehnya para penulis buku itu seperti tak ada yang paham soal
ini. Karena tidak representatif, tulisan mereka setara dengan klaim bahwa orang
se-indonesia ingin ganti presiden, orang se-indonesia benci tokoh ABC dan
sebagainya. Meskipun klaim-klaim seperti itu diberi nukilan dari pernyataan
ribuan orang hingga dicetak mencapai ribuan halaman, tetap saja tidak
representatif sebab penduduk Indonesia lebih dari 250 juta orang. Kesepakatan
sebagian orang tak bisa digeneralisasi menjadi kesepakatan (ijma‘) seluruh
orang, apalagi hanya kesepakatan segelintir orang.
Demikian juga dalam
hal akidah. Menukil puluhan orang yang mencela Asy'ariyah-Maturidiyah atau
bahkan ratusan orang sekalipun tetap saja tidak representatif sebab kenyataan
sejarahnya adalah selama satu milenium lebih Asy'ariyah-Maturidiyah adalah
mayoritas. Apalagi bila yang dinukil bukan tokoh-tokoh besar yang diakui
sebagai representasi sebuah golongan.
2. Tidak mendudukkan
masalah secara proporsional.
Ambil contoh
sederhana, menukil seluruh pernyataan ulama yang anti terhadap takwil untuk
memojokkan Asy'ariyah. Padahal faktanya hanya sebagian dari Asy'ariyah yang
mentakwil. Umumnya, para imam Asy'ariyah mengajarkan tafwidh (memasrahkan makna
definitif suatu sifat kepada Allah tanpa membahas secara mendalam apa maksudnya
sambil memastikan bahwa bukan makna jismiyah yang dimaksud)
sebagaimana mayoritas ulama salaf juga melakukannya. Ulama Asy'ariyah yang men-tafwidh
ini juga mengkritik keras para penakwil. Adalah kekonyolan bila kemudian
berbagai pernyataan ulama yang anti-tafwidh itu dijadikan serangan pada
Asy'ariyah secara umum ketika faktanya Asy'ariyah sendiri juga tak semua setuju
takwil. Bahkan tak jarang ada nukilan dari ulama anti takwil yang dinukil dalam
konteks memojokkan Asy'ariyah padahal nyata-nyata ulama yang bersangkutan
adalah Asy'ariyah juga.
Ada juga nukilan dari
ulama yang dengan tegas mengaku bukan Asy'ariyah dan bahkan menyatakan tidak
setuju terhadap Asy'ariyah. Namun ternyata pendapat ulama tersebut sama saja
dengan ulama Asy'ariyah pada umumnya, hanya berbeda dalam beberapa hal yang
dalam internal Asy'ariyah sendiri bukanlah sebuah kesepakatan. Ulama Asy'ariyah
tak ada yang mempermasalahkan soal penisbatan sebagai pengikut Asy'ariyah atau
bukan sehingga hal seperti ini tidak penting. Yang penting adalah pendapatnya
tidak keluar dari ruang lingkup Ahlussunnah wal Jama'ah.
Karena itulah,
Asy'ariyah tak mempermasalahkan pengikut Imam Maturidi meskipun menisbatkan
diri bukan pada Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Demikian juga tak masalah bila ada
yang mau menisbatkan diri kepada Imam at-Thahawi atau Imam Ahmad selama
betul-betul konsisten atas pendapat mereka sebab sejatinya para imam besar itu
tidak berselisih paham soal akidah.
3. Tidak tahqiq
(memeriksa secara detail) terhadap istilah atau ungkapan.
Banyak sekali istilah
bersayap dalam bahasan akidah. Istilah atau ungkapan seperti "makna
dhahir", "tanpa tasybih", "tanpa takyif",
"bidzatihi", "haqiqatan" dan sebagainya beda-beda artinya
ketika diucapkan oleh tokoh yang berbeda. Misalnya:
• Ketika seorang ahli
tajsim (percaya bahwa Allah berfisik, red) mengatakan "tanpa tasybih"
itu artinya fisik Allah tidak mirip dengan kita. Namun ketika seorang ahli
tanzih (menolak bahwa Allah berfisik, red) mengatakan "tanpa tasybih"
itu artinya Dzat Allah bukan bentuk fisik.
• Ketika seorang ahli
tasybih mengatakan "bidzatihi", itu artinya dengan organ fisik Allah
sendiri. Namun ketika seorang ahli tanzih mengatakan "bidzatihi", itu
artinya Allah melakukannya sendiri bukan diwakili malaikat atau siapapun.
• Ketika seorang ahli
tajsim mengatakan bahwa sebuah sifat Allah harus dipahami secara "haqiqatan"
itu artinya sebagai makna secara fisikal. Namun ketika seorang ahli tanzih
mengatakan hal yang sama, itu artinya makna yang tak perlu ditakwil tapi cukup
di-tafwidh. Hal yang sama juga berlaku pada ungkapan "dhahir".
Istilah atau ungkapan
yang bersayap ini ketika tidak ditahqiq akan menimbulkan kerancuan. Kitab-kitab
pengkritik Asy'ariyah itu biasanya mencampur adukkan istilah-istilah itu tanpa
tahqiq sehingga seringkali menukil sebuah nukilan yang tidak tepat. Misalnya
saja menukil sebagian ulama Asy'ariyah yang mencela makna dhahir dalam arti
sebagai makna fisikal dengan pernyataan tokoh ulama yang mewajibkan penggunaan
makna dhahir, padahal makna dhahir yang dimaksud ulama yang bersangkutan
bukanlah makna fisikal sehingga sejatinya sama sekali tidak bertentangan.
4. Tidak memilah
keahlian tokoh yang dinukil.
Masing-masing tokoh
punya keahlian atau spesialisasi yang berbeda. Ada yang ahli di bidang fikih,
bidang rijalul hadis, bidang sejarah, bidang ilmu gramatika dan seterusnya.
Ilmu Kalam adalah sebuah disiplin ilmu yang mandiri, sama seperti ilmu-ilmu
lainnya. Yang harus disadari adalah tidak semua tokoh ulama ahli dalam ilmu
kalam, meskipun mereka adalah tokoh besar dalam rumah besar Ahlusunnah Wal
Jama'ah.
Adalah bukan pada
tempatnya menukil pernyataan ulama yang tidak ahli di bidang ilmu kalam untuk
mematahkan pernyataan ulama yang ahli di bidang ilmu ini dalam persoalan
kalamiyah. Bila hal ini dilakukan, tak jarang yang terjadi hanyalah
kesalahpahaman semata.
Itulah empat masalah
yang ada dalam buku-buku akidah Asy'ariyah-Maturidyah. Para pembaca yang kritis
yang kaya literasi tentu akan menyadari keempat masalah tersebut. Namun berbeda
halnya dengan pembaca yang literasinya kurang, apalagi bila tahunya hanya
buku-buku semacam itu saja, maka kemungkinan besar ia akan menganggap
isinya sebagai kebenaran, padahal faktanya tidak demikian.
Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Abdul Wahab Ahmad,
Wakil Katib PCNU Jember sekaligus Aktifis Aswaja NU Center Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar