Selasa, 17 September 2019

Gus Nadir: Nahdlatul Ulama Pasca Wafatnya KH Maimoen Zubair


Nahdlatul Ulama Pasca Wafatnya KH Maimoen Zubair
Oleh: Nadirsyah Hosen

Terpilihnya Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin memicu kekhawatiran sementara pihak bahwa arah perjuangan dan pengabdian NU akan semakin terbawa arus politik praktis. Bagaimana NU setelah Mbah Moen wafat?

Usia KH Maimoen Zubair memang sudah sepuh. Sembilan puluh tahun adalah usia yang panjang. Namun tetap saja berita wafatnya beliau di tanah suci Mekkah menghentak kesadaran kita. Smartphone saya tak berhenti menerima pesan, baik lewat jalur pribadi maupun Whatsapp group, yang mengabarkan wafatnya Mustasyar PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) ini. Bahkan sejumlah sahabat non-Muslim pun menghubungi saya menyatakan dukanya atas kepergian Mbah Moen.

Beberapa detik saya terdiam membaca berita duka ini. Yang segera saya ingat adalah Gus Ghofur, sahabat saya, yang merupakan salah satu putra Mbah Moen. Saya segera mengirimkan ucapan duka dan doa kepada Gus Ghofur. Setelah itu saya kembali terdiam. Ingatan saya melayang pada peristiwa Muktamar NU di Jombang tahun 2015. Ada momen kecil antara saya dengan Mbah Moen.

Kala itu, ditemani Candra Malik (budayawan sufi) dan Muhlason (Rais Syuriah PCI NU Mesir), saya menuju kursi deretan depan tempat KH Ahmad Mustofa Bisri, sang pejabat Rais Am, duduk menjelang pembukaan Muktamar. Setelah menyalami dan berbincang sejenak dengan Gus Mus tiba-tiba Gus Mus menarik tangan saya dan mengantarkan saya ke kursi di mana Mbah Moen berada. Duduk di atas kursi roda, Mbah Moen berada di samping kiai sepuh lainnya, KH Zainuddin Djazuli (Ploso).

Langsung saya cium tangan Mbah Moen bolak-balik seraya memperkenalkan diri dengan penuh ta’zhim: “Saya Nadir dari Australia, kawannya Gus Ghofur.” Mbah Moen tersenyum ramah dan tanpa disangka-sangka mengucapkan, “Terima kasih ya sudah mengundang Ghofur ke Australia tempo hari.” Beliau mengapresiasi bahwa pada tahun-tahun sebelumnya kami mengundang Gus Ghofur bersafari Ramadhan ke Australia dan New Zealand.

Beberapa tahun sebelumnya saat Agus Maftuh Abegebriel ke Australia, beliau juga membawa salam Mbah Moen untuk saya. Sosok yang kemudian menjadi Duta Besar RI di Arab Saudi ini mengabarkan bahwa Mbah Moen sendiri yang menceritakan bahwa Gus Ghofur bersahabat dengan saya. Hal-hal kecil seperti ini rupanya menjadi perhatian Mbah Moen.

Wafatnya Mbah Moen membawa saya berpikir apa dampak dari wafatnya beliau terhadap PBNU. Mbah Moen ini sosok yang komplit di mata para kiai dan santri NU. Beliau bukan saja alim dalam ilmu keagamaan, pengasuh pondok besar, pembawaannya yang kalem dan adem, suaranya yang penuh wibawa, tapi juga seorang Kiai yang terlibat aktif di politik praktis.

Hebatnya, tidak seperti kiai lain yang kehilangan pengaruh atau berkurang simpati umat akibat terjun ke politik, sosok Mbah Moen justru sangat dihormati lintas tokoh, aliran, dan partai politik. Pesona beliau bukannya berkurang, tapi malah semakin moncer.

Muktamar NU akan dilangsungkan sebentar lagi, yaitu pada tahun depan, 2020. Saat ini euforia kemenangan sayap politik NU begitu kuat, setelah terpilihnya Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin di pemilihan presiden kemarin. Suasana euforia ini diprediksi akan terus berlanjut di Muktamar PBNU 2020. Timbul kekhawatiran sementara pihak bahwa arah perjuangan dan pengabdian NU akan semakin terbawa arus politik praktis.

Sementara itu, NU akan segera memasuki era abad keduanya pada tahun 2026. Muktamar NU tahun 2020 sudah sewajarnya melakukan proyeksi ke depan bagaimana PBNU akan membawa umat Nahdliyin bersiap memasuki abad keduanya. Tantangan yang tengah dan kelak dihadapi NU tidaklah sama dengan tantangan yang dihadapi para ulama saat mendirikan NU tahun 1926. Dunia berubah demikian cepat dan ormas mana pun yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman akan menjadi fosil.

Saya menundukkan kepala berdoa untuk Mbah Moen. Sementara itu, smartphone saya terus berbunyi mengabarkan suasana tahlilan dan salat ghaib dari pengurus NU di seluruh dunia. Saya merasakan bahwa wafatnya Mbah Moen seolah menandakan layar perjalanan NU dalam satu abad pertamanya akan segera berganti. Rentetan wafatnya kiai sepuh dalam lima tahun terakhir ini menandakan peralihan antargenerasi tengah berlangsung di tubuh NU.

Wafatnya Mbah Moen sangat pantas ditangisi oleh para kiai dan santri, namun selalu ada hikmah di balik duka nestapa. Kita akan segera melihat tampilnya sejumlah kiai muda yang siap melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan NU memasuki abad keduanya. Akan segera muncul Mbah Moen-Mbah Moen baru. Al-Fatihah… []

GEOTIMES, 7 Agustus 2019
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar