Kenapa Bacaan Al-Qur’an
Disandarkan kepada Imam Qira'at, Bukan Nabi?
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam,
mengimaninya adalah bagian dari rukun iman. Ia adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, melalui malaikat Jibril dengan versi dan variasi yang
berbeda-beda. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Sesunguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah (Al-Qur’an) itu yang
mudah darinya.” (Imam Bukhari, Shahih Bukhariy, Beirut: Idar Al-Tiba’at
Al-Miniriyyah, tt, juz 6, h. 227)
Adanya variasi bacaan dalam Al-Qur’an ini
merupakan karunia Allah yang diberikan secara khusus kepada umat Nabi Muhammad ﷺ, sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap mereka agar mudah
melafalkan dan membacanya. Dalam kajian Islam, studi tentang variasi bacaan
Al-Qur’an ini kemudian dikenal dengan disiplin Ilmu Qira’at Al-Qur’an.
Pada masa Nabi, para sahabat menerima bacaan
Al-Qur’an secara langsung dari beliau dan secara serius dan antusias mereka
mempelajarinya dengan versi bacaan qira’atnya. Pada masa ini lahirlah ahli
qira’at (qurra’) dari kalangan sahabat Nabi, seperti: Ubay bin Ka’ab (w. 20 H),
Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H), Abu Al-Darda’ (w. 32 H) Ustaman bin Affan (w. 35
H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Abu Musa Al-Asy’ariy (w. 44 H), dan Zaid bin
Tsabit (w. 45 H). (Abdul Hadi Al-Fadhliy, Al-Qira’at Al-Qur’aniyat: Tarikh wa
Ta’rif, Beirut: Dar Al-Qalam, 1985, h. 18)
Para ahli qira’at dari kalangan para sahabat
ini dalam mempelajari dan mendalami qira’at Al-Qur’an dari Nabi berbeda-beda;
ada yang memiliki satu, dua versi bacaan, ada yang memiliki tiga versi bacaan
dan bahkan ada yang lebih dari itu. (Abdul Adhzim Al-Zurqaniy, Manahil Al-Irfan
fi Ulum Al-Qur’an, Mesir: Isa Al-Halabiy, tt, juz 1, h. 406)
Setelah sepeninggal Nabi, pada sahabat
berpencar-pencar hijrah ke berbagai negara dunia Islam. Ada yang ke Syam,
seperti Abu Al-Darda’, ada yang ke Kufah seperti Ibnu Mas’ud dan Sayyidina Ali.
Oleh sebab itu, para ahli qurra’ dari kalangan sahabat mengajarkan bacaan
Al-Qur’an dengan berbagai versi yang mereka terima dari Nabi kepada generasi
para tabi’in. Dari para sahabat inilah kemudian para tabi’in memiliki dan
menguasai versi qira’at yang berbeda-beda pula.
Setelah masa sahabat berlalu, para ahli
qira’at dari generasi tabi’in mengajarkan Al-Qur’an sesuai dengan versi dan
variasi qira’at yang mereka kuasai dan mereka terima dari para sahabat.
Namun demikian, dalam perjalanan sejarahnya,
muncul qira’at Al-Qur’an atau bacaan Al-Qur’an yang diragukan keberadaannya,
dan diduga tidak bersumber dari Nabi. Hal ini disebabkan meluasnya daerah
kekuasaan Islam dan semakin banyaknya penduduk Islam dari luar kalangan bangsa
Arab. (Ibnu Al-Jazari, Al-Nasyr fi Al-Qira’at Al-Asyr, Mesir: Dar Al-Fikr, tt,
h. 9)
Oleh karena itu, pertengahan kedua abad
pertama hijriah dan pertengahan awal abad kedua hijriah, para ulama ahli
qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai versi dan variasi
qira’at Al-Qur’an yang berkembang waktu itu. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh para ahli qurra’ secara selektif dan akurat, maka dapat
disimpulkan bahwa tujuh versi qira’at yang populer dan kemudian dilesrtarikan
oleh para imam qira’at dinilai sebagai bacaan (qira’at) yang mutawatir,
bersumber dari Nabi ﷺ Bacaan yang populer
inilah kemudian dikenal dengan sebutan “qira’at sab’ah” atau tujuh qira’at.
(Manna’ AL-Qatthan, Mabahits fi Ulum AL-Qur’an, Beirut: Mansyurat Al-Ashr
Al-Hadits, 1973, h. 131)
Tujuh qira’at ini atau qira’at sab’ah ini
kemudian dinisbahkan (disandarkan) kepada para Imam Qira’at yang berjumlah
tujuh, yaitu: Pertama, Imam Nafi’ bin Abdurrahman (w. 169 H). Kedua, Imam
Abdullah bin Katsir (w. 120 H). Ketiga, Imam Abu Amr, Zabban bin Al-Ala’
Al-Bashriy (w. 154 H). Keempat, Imam Abdullah Ibnu AmirAl-Syamiy (w. 118 H).
Kelima, Imam Ashim bin Abi Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H). Keenam, Imam Hamzah
bin Al-Zayyat (w. 156 H). Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 189
H).
Penisbahan qira’at Al-Qur’an kepada para Imam
Qira’at sab’ah ini bukan berarti qira’at itu adalah hasil ijtihad mereka (hasil
karya dan rekayasa mereka). Ungkapan seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibnu
Katsir, qira’at Ashim, dan yang lain, hanya menunjukkan bahwa qira’at yang
dinisbahkan kepada mereka adalah hasil penelitian dan seleksi mereka terhadap
berbagai qira’at yang ada. Kemudian mereka secara rutin dan secara
berkesinambungan membaca, mengajarkan dan melestarikannya.
Oleh karena itu, penisbahan qira’at ini
kepada para imam qira’at sama halnya dengan penisbahan hadits Nabi kepada imam
Bukhari, Imam Muslim dan Imam Al-Tirmidziy. Apabila disebutkan hadits Bukhari,
Muslim, Al-Tirmidziy, maka sependek pengetahuan kita menyimpulkan bahwa hadits
itu bukan hasil karya dan rekayasa Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Tirmidzy.
Dalam hal ini para imam itu hanya menyeleksi dan meriwayatkannya. Demikian pula
qira’at Al-Qur’an yang dinisbahkan kepada Imam Qira’at. []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar