Ragam Bacaan Ta’awudz
Menurut Qira’at Asyrah
Isti’adzah atau ta’awudz sebagai
doa dan pembuka dalam melantunkan Al-Qur’an memiliki banyak ragam redaksi.
Ragam redaksi ini tidak lepas dari hasil ijtihad para ulama berdasarkan pada
beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
Pertama, Surat al-A’raf ayat 200 (وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللهِ إِنَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ).
Kedua, Surat An-Nahl ayat 98 (فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ). Ketiga, Surat Ghafir ayat 56, (فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ). Keempat, Surat Fussilat ayat 36, (وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ).
Sebagaimana telah disinggung pada artikel
sebelumnya bahwa redaksi yang populer dan paling unggul menurut kebanyakan
ulama adalah (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ). Menurut Abdul
Fattah Al-Qadhiy, dalam komentarnya pada kitab Hirz Al-Amaniy wa Wajh
Al-Tahaniy atau yang dikenal dengan matan Al-Syathibiy, redaksi ta’awwudz
ini tidak hanya bergantung pada kalimat di atas, boleh mengurangi dari redaksi
di atas atau menambahkannya, seperti contoh (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ)
atau (أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ). (Lihat: Abdul
Fattah Al-Qadhiy, al-Wafiy fi Syarh al-Syathibiyyah fi al-Qira’at al-Sab’i,
Jeddah, Maktabah Al-Sawadiy, 1992, hlm, 43)
Sebelum menjelaskan redaksi yang dipakai oleh
para imam qira’at, alangkah baiknya dijelaskan terlebih dahulu tentang profil
imam-imam di atas berikut perawinya agar mudah dipahami dan terhindar dari
keserupaan. Urutan profil imam-imam qira’at ini sesuai dengan apa yang ditulis
oleh Imam Al-Qadhiy.
Pertama, Imam Nafi’ bin
Abdurrahman (w. 169 H). Beliau juga dikenal dengan panggilan imam “Al-Madaniy”.
Perawinya yang paling terkenal adalah: Imam Qalun (w. 220 H) dan Imam Warsy (w.
197 H). Kedua perawi ini belajar dan meriwayatkan langsung dari Imam Nafi’.
Imam Qalun, menurut sebagian riwayat adalah anak tiri Imam Nafi’, sedangkan
Imam Warsy adalah santri dari Mesir, yang sudah matang dalam ilmu qira’at
sebelum datang ke Madinah. Meskipun keduanya belajar kepada satu guru, yaitu
Imam Nafi’, namun dalam metode bacaan (ushul Al-Qira’at) banyak
perbedaan.
Kedua, Imam Abdullah bin
Katsir (w. 120 H). Beliau lebih dikenal dengan panggilan Ibnu Katsir atau Imam
“Al-Makkiy”. Perawinya yang paling terkenal adalah: Imam Al-Bazziy (w. 250 H)
dan Imam Qanbul (w. 291). Kedua perawi ini tidak langsung meriwayatkan dari
Imam Ibnu Katsir tapi melalui beberapa jalur perantara.
Ketiga, Imam Abu Amr
Al-Bashriy (w. 154 H). Namanya adalah Zabban bin Al-Ala’. Beliau lebih sering
disebut oleh kalangan ahli qurra’ sebagai imam “Al-Bashriy”. Kedua perawinya yang
paling terkenal adalah: Imam Al-Duriy (w, 246 H) dan Imam Al-Susiy (w. 261 H).
Kedua perawi ini meriwayatkan qira’at Imam Al-Bashriy melalui jalur perawi,
yaitu dari Imam Yahya Al-Yazidiy.
Keempat, Imam Ibnu Amir (w.
118 H). Nama beliau Abdullah bin Amir. Panggilan yang melekat pada beliau
adalah Ibnu Amir atau “Al-Syamiy”. Kedua perawi yang meriwatkan bacaannya
adalah: Hisyam (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwan (w. 242 H). Kedua perawi ini
meriwatkan qira’at Imam Ibnu Amir melalui jalur perantara.
Kelima, Imam Ashim bin Abi
Al-Najud Al-Kufiy (w. 128 H). Kedua perawinya yang paling terkenal adalah: Imam
Syu’bah (w. 193 H) dan Imam Hafsh (180 H). Kedua perawi ini meriwayatkan
langsung dari Imam Ashim tanpa melalui jalur perantara. Namun, Perawi yang
kedua adalah paling terkenal dan banyak dibaca di belahan dunia Islam, utamanya
di benua Asia. Pada artikel berikutnya, insyaAllah, penulis akan menguraikan
tentang kronologis kemasyhuran riwayat ini.
Keenam, Imam Hamzah bin
Al-Zayyat (w. 156 H). Imam Syatibiy menjulukinya dengan sebutan “Imam Shobur”
(pemimpin yang sabar atau tahan menderita). Kedua perawinya yang paling
terkenal adalah: Imam Khalaf (w. 229 H) dan Imam Khallad (w. 220 H). Kedua
perawi ini tidak langsung belajar kepada Imam Hamzah tapi melalui jalur Imam
Sulaim.
Ketujuh, Imam Ali bin Hamzah
Al-Kisa’i (w. 189 H). Kedua perawi yang paling terkenal dan belajar langsung
kepada beliau tanpa perantara perawi adalah: Imam Abi Al-Harits (w. 240 H) dan
Imam Al-Duriy (telah disebutkan di atas; perawi Imam Abu Amr Al-Bashriy).
Ketiganya ini (Imam Ashim, Hamzah dan Ali Al-Kisa;i) berasal dari Kufah
(sekarang daerah Irak dan sekitarnya).
Kedelapan, Imam Abu Jakfar,
namanya adalah Yazid bin Al-Qa’qa’ (w. 128 H). Beliau merupakan salah satu guru
dari Imam Nafi’. Kedua perawinya yang terkenal adalah: Ibnu Wardan (w. 160 H)
dan Ibnu Jammaz (w. 170 H).
Kesembilan, Ya’kub bin Ishaq
bin Zaid Al-Hadramiy (w. 205 H). Kedua perawinya yang terkenal adalah: Imam
Ruwais (238 H) dan Imam Rauh (w. 235 H).
Kesepuluh, Imam Khalaf
Al-Asyir (w. 229 H). Namanya adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzar.
Namun beliau lebih dikenal dengan sebutan “Khalaf al-Asyir”. Imam Khalaf ini
selain sebagai Imam Qira’at juga sebagai perawi dari Imam Hamzah. Kedua
perawinya adalah: Imam Ishaq Al-Warraq (w. 280 H) dan Imam Idris Al-Haddad (w.
290 H). (Lihat: Abdul Fattah Al-Qadhiy, Al-Budur Al-Zahirah, Beirut: Dar
al-Kitab Al-Arabiy, tt) hlm 7-9.
Redaksi Ta’awudz Menurut Ahli Qurra’ Asyrah.
Ada beberapa redaksi isti’adzah atau
ta’awwudz yang digunakan oleh ulama qira’at. Sebagian imam qira’at dengan imam
qira’at lainnya memiliki redaksi isti’adzah yang sama, namun ada pula yang
berbeda. Di samping itu juga, antara perawi dengan perawi yang lainnya meskipun
satu guru ada yang berbeda redaksinya, sebab para imam qira’at tidak hanya
mengajarkan dan meriwayatkan satu redaksi kepada murid-muridnya. Demikian
inilah keindahan perbedaan dalam studi ilmu qira’at. Berikut adalah redaksi
isti’adzah menurut ulama qira’at:
Pertama, Imam Abi Amr
Al-Bashriy, Imam Ashim Al-Kufiy dan Imam Ya’kub Al-Hadhramiy memilih
menggunakan redaksi sebagai berikut:
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم
Redaksi ini, bagi mereka, sesuai dengan
firman Allah ﷻ,
dalam Surat an-Nahl ayat 98:
فَإِذَاقَرَأْتَ
الْقُرْأَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Sementara Imam Hafsh, perawi Imam Ashim,
sebagaimana disampaikan oleh Imam Hubairah, memilih menggunakan redaksi
isti’adzah sebagai berikut:
أَعُوْذُ
بِاللهِ العَظِيْمِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم
Pemilihan redaksi ini karena menggabungkan
tiga ayat, yaitu: Surat an-Nahl 98, al-Haqqah 33 dan Fusshilat 36.
Kedua, Imam Nafi’, Imam
Jakfar Al-Qa’qa’, Imam Ibnu Amir Al-Syamiy, Imam Ali Al-Kisa’i dan Imam Khalaf
Al-Asyir memilih menggunakan redaksi sebagai berikut:
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم، إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Mereka memilih menggunakan redaksi ini karena
menggabungkan dua ayat dalam dua surat yang berbeda: Surat Al-A’raf (وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللهِ إِنَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ)
dan surat Fusshilat (وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ
الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ).
Ketiga, Imam Ibnu Katsir
memilih menggunakan redaksi sebagai berikut:
أَعُوْذُ
بِاللهِ العَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم
Tambahan kata (العَظِيْمِ), sifat dari lafadz jalalah, ini karena
sesuai dengan firman Allah yang termaktub dalam surat al-Haqqah ayat 33 (إِنَّهُ كَانَ لاَيُؤْمِنُ بِاللهِ العَظِيْمِ ). Dalam hal ini Imam Ibnu Katsir juga
mengawinkan dua ayat, yaitu Surat An-Nahl 98 dan Al-Haqqah 33. Imam Al-Hadzaliy
menambahkan satu riwayat dari jalur Al-Zinabiy, yaitu (أَعُوْذُ بِاللهِ العَظِيْمِ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ).
Keempat, Imam Hamzah
menggunakan redaksi sebagai berikut:
أَسْتَعِيْذُ
بِاللهِ العَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ
Pada kalimat isti’adzahnya, Imam Hamzah
menggunakan sesuai dengan versi lafadz yang tertera dalam empat surat di atas
yang menjadi sumber utama penggalian redaksi ta’awwudz, yaiut: Al-A’raf 200,
An-Nahl 98, Fusshilat 36 dan Ghafir 56. Menurut Imam Al-Hadzaliy, Imam Hamzah
memiliki tiga redaksi, yaitu: (اِسْتَعَنْتُ بِاللهِ) (أَسْتَعِيْذُ
بِاللهِ) (نَسْتَعِيْذُ بِاللهِ).
(Lihat: Ahmad bin Al-Husain Al-Ashbahaniy, Al-Ghayat fi al-Qir’at Al-Asyr,
Riyadh, Dar Al-Syawaf, 1990, halaman 453)
Dari sembilan Imam Qira’at, semuanya
menggunakan redaksi (أَعُوْذُ) kecuali Imam Hamzah menggunakan redaksi (أَسْتَعِيْذُ), padahal
redaksi yang menjadi rujukan dalam Al-Qur’an berbunyi (فَاسْتًعِذْ ). Artinya
jika kita mengikuti aturan sesuai teks yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an
yang telah disebutkan di atas, maka yang tepat adalah menggunakan redaksi (أَسْتَعِيْذُ).
Namun tidak demikian, para ulama dalam melakukan istimbath yang berhubungan
dengan agama sangat hati-hati dan teliti. Tidak hanya berkutat pada satu teks,
dan meninggalkan teks yang lain.
Dalam hal ini ulama qira’at memilih redaksi (أًعُوْذُ)
karena redaksi tersebut banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai
ungkapan permohonan dan doa. Dalam Al-Qur’an, redaksi (أًعُوْذُ) ini diulang
setidaknya enam kali; surat Al-Baqarah, ayat 67 (أَعُوذُ
بِاللهِ أَنْ أَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ), surat Hud, ayat 47 (أَعُوذُ بِكَ
أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ), surat Maryam ayat 18 (قَالَتْ إِنِّي
أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا), surat Al-Mu’minun ayat 97 (وَقُلْ
رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيِنِ), Surat Al-Falaq ayat 1 (قُلْ أَعُوذُ
بِرَبِّ الْفَلَقِ) dan Surat
An-Nas ayat 1 (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ). (Lihat juga: Al-Idha’at fi Usul
Al-Qira’at, Kairo, Maktabah Al-Azhariyah, 1999, halaman 7)
Sementara dalam sunnah, ada beberapa redaksi
tersebut yang dipakai oleh Nabi, yaitu: pertama, diriwayatkan oleh Imam
Turmudziy dari Said Al-Khudriy bahwa Nabi ketika bangun pada malam hari, beliau
membaca (أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ).
Kedua, dalam Shahih Ibnu
Khuzaimah dijelaskan pula bahwa Nabi berdoa sebagai berikut: (اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمْ
وَهَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ).
Ketiga, diriwayatkan bahwa
Ibnu Mas’ud membaca al-Qur’an kepada Nabi, dan membaca (أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم), kemudian Nabi berkata: “ wahai Ibnu Ummi
Abd, bacalah (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْم).
Keempat, diriwayatkan dari
Nafi’ dari Jubair bin Muth’im bahwa Nabi membaca (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم).
(Lihat: Abdul Fattah Al-Qadhiy, Al-Wafiy fi Syarh Al-Syathibiyyah fi
Al-Qira’at Al-Sab’i, h. 42).
Kelima, diriwayatkan oleh
Anas bahwa Nabi bersabda: “barang siapa yang membaca (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم)
sepuluh kali, maka Allah akan mengirimkan kepadanya dua malaikat yang menjaga
dari godaan syaitan.....”.
Keenam, diriwayatkan dari
Sulaiman bin Sharad, ia berkata: “Ada dua laki-laki saling mencaci maki di
samping Nabi, sementara kami berada disana. Saat keduanya saling mencaci maki
dan meluapkan kemarahannya, hingga tampak merah pada wajahnya. Kemudian Nabi
berkata: “sesugguhnya saya mengajarkan sebuah kalimat, yang barang siapa
membacanya akan hilang (kemarahan) yang terdapat padanya, yaitu (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم). (Lihat: Ahmad bin al-Husain
al-Ashbahaniy, Al-Ghayat fi Al-Qir’at Al-Asyr,...halaman 454.
Imam al-Dhabba’ dalam bukunya, Al-Idha’at fi
Ushul Al-Qira’at, mengutip keterangan Imam Abi Amr al-Daniy, menjelaskan bahwa
ada beberapa tambahan ragam redaksi isti’adzah selain yang disebutkan di atas,
yaitu sebagai berikut:
Pertama: (أَعُوْذُ
بِاللهِ الْقَادِرِ مِنَ الشَّيْطَانِ الْفَاجِرِ)
Kedua: (أَعُوْذُ
بِاللهِ الْقَوِيِّ مِنَ الْشَيْطَانِ الْغَوِيِّ)
Ketiga: (أَعُوْذُ
بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِ الْقَدِيْمِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم)
Keempat: (أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم الْخَبِيْثِ الْمُخْبِثِ وَالرِّجْسِ
النَّجْسِ)
Kelima: (أَعُوْذُ
بِاللهِ العَظِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم، إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ)
Keenam: (أَعُوْذُ
بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم، إِنَّ اللهَ هُوَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ)
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika
redaksi (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم) lebih sesuai dengan teks Al-Qur’an dan
hadits, kenapa diperbolehkan memakai selain redaksi seperti di atas?
Dalam hal ini perlu diperjelas bahwa
ayat-ayat yang terkait dengan anjuran membaca isti’adzah, sebagaimana
disebutkan di awal, hanya sebatas anjuran membaca isti’adzah sebelum memulai
membaca Al-Qur’an, bukan suatu tuntutan menggunakan redaksi seperti di atas.
Oleh karena itu, membaca isti’adzah dengan berbagai varian redaksinya sangat
dianjurkan sebelum membaca Al-Qur’an. Dalam hal ini, tidak diperkenankan
seseorang memprotes atau menyalahkan orang lain apalagi sampai membid’ahkan
hanya karena perbedaan bacaan isti’adzah. Wallahu a'lam. []
Moh. Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar