Senin, 30 September 2019

(Ngaji of the Day) Apakah Murka Mertua Dapat Membatalkan Ikatan Perkawinan Menantunya?


Apakah Murka Mertua Dapat Membatalkan Ikatan Perkawinan Menantunya?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, ada pertanyaan tentang wali nikah yang dapat menarik kembali kesaksiannya sehingga dapat membatalkan pernikahan. Contohnya si ayah perempuan sudah tidak suka lagi dengan menantunya. Padahal menantunya tidak keluar dari syara’, tetapi hanya mertuanya yang ribet.

Ayahnya jika sedang kesal bilang, “Saya dapat mencabut kesaksian tentang pernikahan kalian dan kalian bisa bercerai.” Ada orang tua yang selalu mengancam anaknya seperit itu. Jadi apakah pasutri itu dapat bercerai karena ayahnya tidak ridha? Apakah wali nikah dapat membuat cerai pasangan yang sudah dinikahkan? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Neli – Bandung

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Ulama fiqih menyebutkan dua bentuk perceraian ikatan suami dan istri, yaitu talaq dan fasakh. Talaq adalah pernyataan seorang suami yang menandai putusnya ikatan suami dan istri. Sementara fasakh adalah pembatalan ikatan suami dan istri karena menyalahi hukum perkawinan.

Dari gambaran singkat pertanyaan di atas, kami pada kesempatan ini lebih mengulas fasakh daripada talak. Kami berharap penjelasan fasakh dan talak berikut ini dapat memberikan pandangan secara umum.

Para ulama menjelaskan bahwa fasakh terbagi dua, fasakh yang terjadi melalui putusan hakim dan fasakh yang terjadi tanpa melalui putusan hakim sebagaimana keterangan berikut ini:

التَّفْرِيقُ فِي النِّكَاحِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ فَسْخًا أَوْ طَلاَقًا. وَالْفَسْخُ : مِنْهُ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْقَضَاءِ ، وَمِنْهُ مَا لاَ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ

Artinya, “Perceraian pada nikah dapat berbentuk fasakh, atau dapat berbentuk talak. Fasakh. Ada fasakh yang terjadi melalui putusan pengadilan. Tetapi ada juga fasakh yang terjadi tanpa harus melalui putusan pengadilan,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1995 M/1415 H], cetakan pertama,  juz 32 hal 137).

Disebutkan lebih lanjut bahwa sebab fasakh nikah yang bergantung pada putusan pengadilan adalah tidak sekufu, pembayaran mahar di bawah “standar”, keengganan salah seorang pasangan untuk memeluk Islam, khiyar si baligh atas pasangannya yang dikawinkan selagi keduanya kecil oleh selain ayah dan selain kakeknya menurut Mazhab Hanafi, dan khiyar si waras dari sakit gilanya atas pasangannya yang dikawinkan selagi ia gila oleh selain ayah dan selain kakeknya menurut Mazhab Hanafi.

Adapun fasakh nikah yang tidak bergantung pada putusan pengadilan adalah cacat akad pada dasarnya seperti perkawinan tanpa saksi, adanya informasi valid yang menyatakan bahwa kedua pasangan suami dan istri memiliki hubungan mushaharah, dan kemurtadan salah satu pasangan suami dan istri menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf.

Sementara Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah kelanggengan huburngan rumah tangga yang harmonis di samping berhubungan badan. Oleh karena itu, perkawinan menutut kesehatan jasmani dan rohani.

Bila ditemukan aib yang disembunyikan oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak membatalkan ikatan perkawinan yang telah berlangsung. Artinya, sejumlah aib berikut ini dapat menyebabkan fasakh atau batalnya hubungan perkawinan.

قوله (وترد المرأة بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والرتق والقرن ويرد الرجل أيضا بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والجب والعنة) لا شك أن النكاح يراد للدوام ومقصوده الأعظم الاستمتاع وهذه العيوب منها ما يمنع المقصود الأعظم وهو الوطء

Artinya, “(Seorang perempuan dipulangkan karena lima aib, yaitu gila, lepra, kusta, sumbatan daging pada lubang lubang vagina selain saluran kemih, sumbatan tulang pada lubang vagina selain saluran kemih. Seorang laki-laki dipulangkan karena lima aib, yaitu gila, lepra, kusta, kekurangan pada zakar karena terpotong, dan impoten). Tidak diragukan bahwa perkawinan dimaksudkan untuk selamanya. Tujuan utamanya adalah kenikmatan bercinta. Semua aib ini dapat menghalangi terwujudnya tujuan utama, yaitu senggama,” (Lihat Taqiyydin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Surabaya, Nur Amaliyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 59).

Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa ancaman orang tua terkait penarikan kesaksiannya tidak tersebut dalam daftar sebab fasakh nikah. Orang tua juga tidak memiliki hak talaq karena hak talaq berada di tangan suami dalam pasangan rumah tangga anaknya.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa ancaman-ancaman orang tua seperti keterangan tersebut dan sejenisnya tidak dapat membatalkan ikatan rumah tangga yang sedang dijalani oleh anaknya. Kami menyarankan pasangan suami dan istri ini untuk tetap bersikap baik terhadap ayahnya tersebut. Keduanya tidak perlu terganggu dengan ancaman ayahnya.

Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar