Apakah Murka Mertua Dapat
Membatalkan Ikatan Perkawinan Menantunya?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, ada pertanyaan
tentang wali nikah yang dapat menarik kembali kesaksiannya sehingga dapat
membatalkan pernikahan. Contohnya si ayah perempuan sudah tidak suka lagi
dengan menantunya. Padahal menantunya tidak keluar dari syara’, tetapi hanya
mertuanya yang ribet.
Ayahnya jika sedang kesal bilang, “Saya dapat
mencabut kesaksian tentang pernikahan kalian dan kalian bisa bercerai.” Ada
orang tua yang selalu mengancam anaknya seperit itu. Jadi apakah pasutri itu
dapat bercerai karena ayahnya tidak ridha? Apakah wali nikah dapat membuat
cerai pasangan yang sudah dinikahkan? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Neli – Bandung
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga
Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Ulama fiqih menyebutkan dua
bentuk perceraian ikatan suami dan istri, yaitu talaq dan fasakh. Talaq adalah
pernyataan seorang suami yang menandai putusnya ikatan suami dan istri.
Sementara fasakh adalah pembatalan ikatan suami dan istri karena menyalahi
hukum perkawinan.
Dari gambaran singkat pertanyaan di atas,
kami pada kesempatan ini lebih mengulas fasakh daripada talak. Kami berharap
penjelasan fasakh dan talak berikut ini dapat memberikan pandangan secara umum.
Para ulama menjelaskan bahwa fasakh terbagi
dua, fasakh yang terjadi melalui putusan hakim dan fasakh yang terjadi tanpa
melalui putusan hakim sebagaimana keterangan berikut ini:
التَّفْرِيقُ
فِي النِّكَاحِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ فَسْخًا أَوْ طَلاَقًا. وَالْفَسْخُ : مِنْهُ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْقَضَاءِ ، وَمِنْهُ مَا
لاَ يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ
Artinya, “Perceraian pada nikah dapat
berbentuk fasakh, atau dapat berbentuk talak. Fasakh. Ada fasakh yang terjadi
melalui putusan pengadilan. Tetapi ada juga fasakh yang terjadi tanpa harus
melalui putusan pengadilan,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah,
Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1995 M/1415 H],
cetakan pertama, juz 32 hal 137).
Disebutkan lebih lanjut bahwa sebab fasakh
nikah yang bergantung pada putusan pengadilan adalah tidak sekufu, pembayaran
mahar di bawah “standar”, keengganan salah seorang pasangan untuk memeluk
Islam, khiyar si baligh atas pasangannya yang dikawinkan selagi keduanya kecil
oleh selain ayah dan selain kakeknya menurut Mazhab Hanafi, dan khiyar si waras
dari sakit gilanya atas pasangannya yang dikawinkan selagi ia gila oleh selain
ayah dan selain kakeknya menurut Mazhab Hanafi.
Adapun fasakh nikah yang tidak bergantung
pada putusan pengadilan adalah cacat akad pada dasarnya seperti perkawinan
tanpa saksi, adanya informasi valid yang menyatakan bahwa kedua pasangan suami
dan istri memiliki hubungan mushaharah, dan kemurtadan salah satu pasangan
suami dan istri menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf.
Sementara Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa
tujuan perkawinan adalah kelanggengan huburngan rumah tangga yang harmonis di
samping berhubungan badan. Oleh karena itu, perkawinan menutut kesehatan
jasmani dan rohani.
Bila ditemukan aib yang disembunyikan oleh
salah satu pihak, maka pihak lain berhak membatalkan ikatan perkawinan yang telah
berlangsung. Artinya, sejumlah aib berikut ini dapat menyebabkan fasakh atau
batalnya hubungan perkawinan.
قوله
(وترد المرأة بخمسة
عيوب بالجنون والجذام والبرص والرتق والقرن ويرد الرجل أيضا بخمسة عيوب بالجنون
والجذام والبرص والجب والعنة) لا شك أن النكاح يراد للدوام ومقصوده الأعظم
الاستمتاع وهذه العيوب منها ما يمنع المقصود الأعظم وهو الوطء
Artinya, “(Seorang perempuan dipulangkan
karena lima aib, yaitu gila, lepra, kusta, sumbatan daging pada lubang lubang
vagina selain saluran kemih, sumbatan tulang pada lubang vagina selain saluran
kemih. Seorang laki-laki dipulangkan karena lima aib, yaitu gila, lepra, kusta,
kekurangan pada zakar karena terpotong, dan impoten). Tidak diragukan bahwa
perkawinan dimaksudkan untuk selamanya. Tujuan utamanya adalah kenikmatan
bercinta. Semua aib ini dapat menghalangi terwujudnya tujuan utama, yaitu
senggama,” (Lihat Taqiyydin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Surabaya,
Nur Amaliyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 59).
Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan
bahwa ancaman orang tua terkait penarikan kesaksiannya tidak tersebut dalam
daftar sebab fasakh nikah. Orang tua juga tidak memiliki hak talaq karena hak
talaq berada di tangan suami dalam pasangan rumah tangga anaknya.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan
bahwa ancaman-ancaman orang tua seperti keterangan tersebut dan sejenisnya
tidak dapat membatalkan ikatan rumah tangga yang sedang dijalani oleh anaknya.
Kami menyarankan pasangan suami dan istri ini untuk tetap bersikap baik
terhadap ayahnya tersebut. Keduanya tidak perlu terganggu dengan ancaman
ayahnya.
Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan
baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami
selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar