Fiqih
Bencana: CSR sebagai Tanggung Jawab Sosial Perbankan
Corporate Social
Responsibility (CSR) merupakan suatu program yang berisikan respons tanggung
jawab sosial sebuah perusahaan. CSR merupakan salah satu varian komponen yang
harus dimiliki oleh sebuah perusahaan agar ia termasuk kelompok Good Corporate
Governance (GCG), yaitu perusahaan dengan manajemen perusahaan berskala baik.
Buruk dalam mengelola CSR, maka perusahaan tidak bisa disebut sebagai perusahaan
dengan manajerial yang baik.
Empat unsur penyusun
GCG, yaitu kejujuran (fairness), transparansi (transperancy), akuntabilitas
(accountability) dan tanggung jawab (responsibility). Tiga prinsip pertama
berhubungan dengan kepentingan pertama pemegang saham, sementara itu
responsibility (tanggung jawab) berhubungan erat pada jalinan relasi antara
perusahaan dengan masyarakat.
Dengan keberadaan CSR
ini, sebuah perusahaan tidak hanya dituntut untuk sehat dalam urusan
pengelolaan keuangan dan produksi saja, melainkan ia harus pula sehat dalam
memainkan peran dalam penjagaan lingkungan dan masalah sosial. Dengan
keterlibatan dalam penjagaan lingkungan dan masalah sosial, sebuah perusahaan
diharapkan tidak hanya sekedar berdiri, usaha, lalu gulung tikar, akan tetapi
diharapkan keberlanjutannya sehingga dapat memberi manfaat dan peran yang besar
dalam masyarakat.
Perbankan, merupakan
salah satu dari industri. Baik diakui atau tidak, industri perbankan memainkan
peranan penting dalam menopang sektor riel masyarakat. Anda bisa lihat papan
nama dari Bank Mandiri. Di dalam papan nama itu, dicantumkan dengan diawali PT.
Bank Mandiri, Tbk. Itu artinya adalah bahwa Bank Mandiri merupakan sebuah
industri yang bergerak dalam jasa keuangan dan didirikan melalui asas Perseroan
Terbuka (PT). Dengan demikian, Bank Mandiri, memiliki kewajiban untuk
menerapkan prinsip good corporate governance (GCG).
Regulasi perundangan
tentang CSR, diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, dan UU No. 25 Tahun 2007 Pasal 15b dan Pasal 16d tentang
Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan hal ini, maka PT. Bank Mandiri, Tbk
merupakan bagian dari perusahaan yang wajib mengikuti ketentuan yang diatur
dalam UU No. 25 Tahun 2007 karena melibatkan modal asing, sesuai dengan nama
perusahaannya yang mengikuti alur Perseroan Terbuka.
Bagaimana dengan bank
syariah? Regulasi tentang CSR yang wajib dijalankan oleh perbankan syariah
adalah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Di dalam undang-undang
ini jelas disebut bahwa bank syariah selain memiliki fungsi nilai bisnis, ia
juga wajib memiliki fungsi nilai sosial. Nilai bisnis perbankan syariah adalah
bergerak dalam bidang menghimpun dan mengumpulkan dana masyarakat sekaligus
menyalurkannya untuk tujuan memperoleh keuntungan. Menyitir bahasa gaul para
kawula muda: “laa bisnis illa ma’a keuntungan” (maksudnya: tidak ada bisnis
tanpa disertai mencari keuntungan). Sebagai salah satu fungsi nilai sosial
adalah bank syariah memiliki tanggung jawab yang sama dengan bidang industri
lainnya.
Sebenarnya CSR untuk
perbankan ini memiliki akar masalah diwajibkannya sehingga setiap negara wajib
menjamin keterlaksanaannya. Telusur punya telusur, ternyata CSR ini merupakan
amanat dari Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dituangkan dalam sebuah
pakta kesepakatan yang disebut Principle of Green Banking. Dengan prinsip yang
tertuang dalam pakta kesepakatan ini maka setiap perbankan memiliki kewajiban
untuk ikut melakukan penjagaan terhadap empat hal, yaitu penjagaan alam,
dikelola oleh sumberdaya manusia yang baik, berorientasi pada pembangunan
ekonomi dan memberi perhatian ke masyarakat.
Dengan pakta ini,
perbankan memiliki sebuah kewajiban dalam pelaporan setiap kegiatan
finansialnya. Pelaporan ini sifatnya harus berimbang dan tidak boleh jomplang.
Dua elemen pelaporan meliputi pelaporan tentang kegiatan finansial yang
dibandingkan dengan pelaporan kinerja ekonomi dan sosial masyarakat. Kewajiban
pelaporan mengikuti model ini tertuang di dalam akta Global Reporting
Initiative (GRI).
Lantas apa
hubungannya dengan kondisi bencana?
Sebagaimana telah
disampaikan bahwa perbankan pada dasarnya adalah berorientasi pada bisnis dan
mencari keuntungan. Bila bank tersebut berada di wilayah tertentu, maka respons
sosial yang wajib diberikan olehnya adalah mencakup seluruh kondisi sosial dan
lingkungan tempat ia berada dan menggali keuntungan. Apabila di lingkungan
tempat ia berada terjadi semacam gangguan sosial, maka perbankan memiliki
kewajiban untuk ikut bertanggung jawab dalam mengatasi gangguan tersebut
melalui program sosialnya.
Sekarang, bagaimana
apabila di tempat perbankan tersebut terjadi bencana dan menimpa sebagian atau
seluruh nasabahnya? Suatu ketika apabila sebuah bencana menimpa pada nasabah,
baik itu akibat kebangkrutan karena terjadi kecelakaan saat pengiriman barang
sehingga berujung pada tenggelamnya kapal container yang membawa, maka bank
memiliki tanggung jawab untuk memberikan kelonggaran kepada nasabahnya. Ada
tiga bentuk kelonggaran yang diberikan, antara lain: adalah restrukturisasi
utang, penjadwalan kembali utang (rescheduling) atau bahkan pengampunan
(pemutihan). Ketiga pola penanganan ini merupakan bagian dari tanggung jawab
perusahaan yang wajib dilaksanakan melalui CSR. Untuk itulah, Bank Indonesia
mengeluarkan sebuah peraturan yang tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang perlakuan khusus terhadap
kredit bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang mengalami bencana
alam.
Pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia ini memiliki kendala. Untuk organisasi (perusahaan) di bawah
pengelolaan swasta, pemerintah dengan mudah berani mengeluarkan keputusan hanya
cukup melalui Menteri Keuangan saja. Masalahnya adalah apabila perusahaan itu
masuk kelompok perusahaan plat merah milik negara. Apabila keputusan pemutihan
itu hanya dikeluarkan lewat Menteri Keuangan saja, ada kekhawatiran dari rezim
sebagai yang dituduh telah melakukan upaya yang merugikan keuangan negara
akibat dari menggunakan dana CSR BUMN tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
selaku pihak yang wajib dimintai persetujuan, seringkali juga tidak mau
menyetujui penyaluran CSR BUMN lewat pemutihan kredit, karena mereka juga akan
dipandang sebagai telah menyetujui kebijakan yang dipandang telah merugikan
negara. Kok bisa dipandang rugi? Tentu saja, bukankah yang diambil adalah kas
negara? []
Muhammad Syamsudin,
Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai
Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar