Saga KPK
Oleh:
Azyumardi Azra
Cerita
kontroversial yang sekaligus mengandung kepedihan dan kemarahan (saga) tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi terus berlanjut. Kehebohan dan kegaduhan diduga
bakal terus terjadi meski DPR dan pemerintah telah menyepakati revisi dan
menetapkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ”baru”.
Dari segi
waktu, inisiatif DPR pada 5 September 2019 untuk merevisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK sama sekali bukan good
timing bagi Presiden Joko Widodo. Sebaliknya, bagi DPR, terlihat
bahwa sekarang adalah waktu untuk merevisi UU itu setelah upaya merevisi gagal
dilakukan pada 2010, 2011, 2012, 2015, 2016, dan 2017.
Di satu
sisi, agaknya bisa dipahami alasan DPR, Presiden Jokowi, dan kalangan
masyarakat tentang perlunya revisi UU KPK yang telah berusia 17 tahun.
Argumennya, banyak perubahan terjadi dalam kurun itu sehingga UU KPK juga perlu
disesuaikan.
Ada pula
argumen terkait internal KPK yang dapat dipahami. Komisi ini dianggap terlalu
kuat (superbody).
Dengan kiprahnya yang tidak bisa diawasi, KPK dianggap menimbulkan ketakutan
banyak pejabat publik untuk mengambil inisiatif kebijakan dan program
pembangunan.
Tak
kurang problematisnya, administrasi internal KPK berbeda dengan lembaga atau
aparatur negara lain. Pegawainya kebanyakan bukan aparatur sipil negara (ASN)
karena itu lebih bergaya LSM dengan semacam serikat pekerja yang disebut
”Wadah”. Gaji mereka pun jauh lebih besar dibandingkan dengan pegawai komisi
dan ASN lain.
Selanjutnya,
heboh pula tentang gejala perilaku dan penampilan kalangan KPK yang menunjukkan
kecenderungan ideologi tertentu yang tak kompatibel dengan ideologi negara dan
bangsa Indonesia. Gejala ini disebut berimplikasi pada sikap tebang pilih KPK
dalam menghadapi figur-figur yang diduga terlibat korupsi.
Argumen
dan persepsi tentang KPK seperti itu agaknya sudah cukup lama menyebar di
masyarakat sehingga banyak di antara mereka yang memandang perlu memperbaiki
KPK melalui revisi UU KPK. Ini terindikasi dalam jajak pendapat Kompas (16/9/2019), di
mana lebih banyak responden (44,9 persen) menyetujui revisi UU KPK. Mereka yang
menolak revisi lebih sedikit (39,9 persen). Jika mayoritas publik—setidaknya
responden jajak pendapat Kompas—mendukung
revisi UU KPK, mengapa kontroversi tetap terjadi di kalangan publik?
Kontroversi
dan penolakan revisi UU KPK merebak ke mana-mana. Dalam pengamatan selintas,
sebagian besar penentang revisi adalah mereka yang memberikan suara kepada
Jokowi dalam Pilpres 2014 dan 2019. Oleh sebab itu, dari mereka ini muncul
suara, Presiden Jokowi ”telah mengkhianati” pemilihnya, yang ingin dia memimpin
pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya sesuai janjinya.
Walhasil,
saga KPK berpotensi merugikan Presiden Jokowi; fenomena ini dapat menggerus
kepercayaan mereka kepada Jokowi. Namun, masih perlu dikaji apakah hal itu
bakal mengurangi partisipasi mereka dalam pelaksanaan program pemerintahan Joko
Widodo-Ma’ruf Amin lima tahun ke depan.
Salah
satu penyebab penggerusan kepercayaan itu adalah bahwa revisi UU KPK dilakukan
terburu-buru dan diam-diam. Baik pihak DPR yang mengajukan revisi maupun
Presiden Jokowi terlihat mengejar target agar revisi itu dapat diselesaikan
sesegera mungkin. Ketergesaan yang sangat jelas terlihat ini tak sesuai dengan
prinsip demokrasi soal perlunya keterbukaan. Dalam penetapan legislasi
menyangkut kepentingan negara dan warganya, keterbukaan dan partisipasi publik
adalah keniscayaan.
Namun,
kenyataannya tak ada partisipasi publik. Tidak ada pertemuan dan dialog di
antara representasi masyarakat sipil dan kampus selama proses revisi UU KPK
dengan DPR dan pemerintah. Pihak DPR menyatakan tidak lagi perlu mendengar
suara publik, sementara pemerintah sejak semula tidak jelas sikapnya tentang
perlu atau tidak perlu melibatkan publik untuk menyatakan pendapat mereka.
Akhirnya, memang pemerintah tidak meminta pendapat masyarakat.
Sekali
lagi, dilihat dari segi timing
dan prosedur revisi UU KPK tersebut, UU KPK baru sangat berpotensi untuk
diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Tidak ada jaminan UU KPK yang baru
itu akan lolos di MK. Dengan demikian, tarik tambang di antara berbagai pihak
terus berlanjut. Dalam pergulatan itu, boleh jadi pula KPK dengan pimpinan
baru—yang bagi sebagian warga mencakup figur kontroversial—menuju ”limbo” yang
membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi surut.
Lagi
pula, dengan penekanan pada ”pencegahan” daripada ”penindakan”, KPK baru nanti
kian menjauh dari harapan masyarakat pada umumnya. Hasilnya, korupsi boleh jadi
semakin merajalela, baik di tingkat nasional maupun daerah, dengan melibatkan
pejabat publik dan pihak swasta. []
KOMPAS,
19 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar