Disrupsi Demokrasi Tunisia
Oleh: Zuhairi Misrawi
Hasil Pemilu Presiden Tunisia menggemparkan jagat politik
Timur-Tengah. Kandidat dari partai politik akhirnya digilas oleh kandidat
independen. Kais Saied, guru besar hukum ketatanegaraan yang berusia 61 tahun
memenangkan putaran pertama dengan meriah, 18,4 persen suara. Sedangkan suara
terbanyak kedua diperoleh Nabil Karoui sebanyak 15,6 persen. Ia dikenal sebagai
taipan media yang mempunyai program filantropik. Demokrasi Tunisia sedang
mengalami goncangan dahsyat dan perubahan yang sangat mendasar.
Kandidat dari Partai Ennahda, Abdelfattah Mourou, yang digadang-gadang akan menjadi pemenang dalam Pemilu Presiden hanya mendapatkan 12,9 persen. Sedangkan Youssef Chaled, mantan Perdana Menteri, hanya mendapatkan 7,1%. Karenanya, demokrasi Tunisi sedang mengalami disrupsi. Para elite politik ditumbangkan oleh guru besar hukum ketatanegaraan.
Partai-partai politik yang selama ini menjadi pilar demokrasi pasca-jatuhnya rezim otoriter-despotik Ben Ali pada 2010 lalu tidak mampu meyakinkan rakyat. Kondisi ekonomi terus tidak menentu, sehingga warga kehilangan kesabaran menunggu durian jatuh dari buah revolusi yang menginspirasi kawasan Timur-Tengah itu.
Warga Tunisia tidak lagi terbelah oleh isu ideologis antara partai
Islam moderat dengan partai sekuler yang dalam 9 tahun terakhir menjadi
pemandangan yang mengemuka dalam panggung politik. Rakyat menghendaki sesuatu
yang baru dalam politik, yang lebih nyata dan kongkret terkait dengan masa
depan mereka.
Sosok Saied banyak menarik perhatian publik Tunisia, karena ia dikenal sebagai sosok yang bersih. Warga meyakini hanya orang bersih yang bisa membersihkan segala penghalang bagi kemajuan ekonomi. Partai-partai politik dianggap masih menyimpan kebobrokan yang menyebabkan warga Tuhan memilih sesuatu yang baru.
Selain itu, Pemilu Presiden Tunisia yang baru digelar menampilkan sebuah pemandangan yang menarik. Yaitu debat Calon Presiden yang disiarkan secara langsung oleh seluruh media. Sejumlah isu-isu sentral, seperti ekonomi, keamanan, dan hubungan luar negeri dibahas dalam perdebatan yang berlangsung secara terbuka. Bahkan, jumlah penonton debat Calon Presiden tersebut mengalahkan jumlah penonton sepak bola yang menjadi favorit warga Tunisia.
Itu artinya, hasil Pemilu Presiden putaran pertama mengisahkan sebuah disrupsi dalam demokrasi Tunisia. Saied sebagai sosok yang tidak populer menjadi bintang kejora dalam jagat politik. Konon, ia hanya mempunyai 15 staff dalam tim kampanyenya. Ia memilih blusukan, menyapa langsung dan berdialog dengan warga perihal isu-isu ekonomi, keamanan, dan luar negeri.
Maka dari itu, kemenangan Kais Saied pada putaran pertama mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya ia menjadi kandidat yang tidak diperhitungkan sama sekali. Tapi kemampuannya menyampaikan pesan-pesan revolusioner kepada warga, khususnya kalangan muda, telah membangkitkan harapan dan mimpi bangkitnya peradaban demokrasi.
Di antara kelebihan Saied lainnya, ia mempunyai kemampuan retorika yang dapat menyihir dan membangkitkan kesadaran kolektif warga Tunisia. Ia mampu meyakinkan warga untuk keluar dari korupsi yang masih menjadi persoalan serius dalam politik Tunisia pasca-musim semi Arab.
Ia juga mampu meyakinkan kaum milenial untuk berperan lebih aktif dalam politik. Partai-partai politik yang memegang kendali saat ini tidak cukup memberikan ruang bagi kalangan milenial, sehingga mereka kehilangan harapan. Saied hadir untuk menjadi jembatan bagi kalangan milenial.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi France 24, Saied mengatakan bahwa ia percaya pada kemampuan kaum muda untuk mengemban amanat dalam membawa kemajuan. Sebagai sosok yang berperan dalam penyusunan konstitusi Tunisia pada tahun 2014 lalu, ia betul-betul memberikan kesempatan pada kaum milenial untuk berperan aktif.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang sederhana. Dalam usianya yang terbilang lanjut, ia masih menyapa warga dari kafe ke kafe, dari rumah ke rumah, sehingga mampu menarik simpati dari warga. Ia dianggap sebagai wajah dari warga Tunisia yang mau mendengarkan aspirasi arus bawah dan mampu mengemban amanat untuk mengimplementasikan konstitusi.
Ia dulu berperan menyusun konstitusi, dan saatnya ia juga berperan untuk mengimplementasikan konstitusi itu. Sebab partai-partai politik yang selama ini mendapatkan kepercayaan dari publik belum mampu mengimplementasikan konstitusi yang menjadi harapan besar sebagian besar warga Tunisia.
Meskipun demikian, langkah Saied tidaklah mudah. Ia harus menghadapi putaran kedua Pemilu Presiden yang akan digelar akhir bulan ini atau awal bulan depan. Ia harus mampu mengalahkan Nabil Karoui, sosok taipan media yang mempunyai jaringan media dan juga jaringan politik. Saat ini, Karoui mendekam di penjara karena terlibat dalam kasus pajak dan pencucian uang.
Saied ditengarai akan terus menggunakan isu perang melawan korupsi dan politik yang bersifat elitis sebagai senjata yang paling ampuh dalam menarik perhatian warga Tunisia demi mengalahkan lawannya yang terjerat kasus hukum. Karenanya, jika Saied memenangkan Pemilu Presiden putaran kedua akan menjadi warna baru dalam politik Tunisia.
Jalan terjal dan berliku di masa mendatang akan dihadapi Saied, karena ia menolak bergabung dengan kekuatan politik apapun. Ia tetap memilih jalur independen. Langkah ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai langkah utopis, karena ia di parlemen akan berhadapan dengan partai-partai politik.
Ia akan menghadapi hambatan serius dari partai-partai politik yang dapat menyebabkan agenda-agenda ekonomi, keamanan, dan politik luar negerinya bisa kandas di tengah jalan. Apalagi ia dikenal sebagai sosok konservatif dalam isu-isu jender dan seksualitas yang menyebabkan adanya benturan dengan kelompok-kelompok nasionalis yang mempunyai basis kultural dan politik yang lumayan kuat.
Apapun yang terjadi, Tunisia selalu menjadi kiblat demokrasi di Timur-Tengah. Setelah menumbangkan rezim otoriter, Tunisia menjadi model demokrasi yang berjalan secara transparan, adil, dan jujur. Debat Calon Presiden dan kemenangan Calon Presiden dari independen akan menjadi studi demokrasi yang sangat menarik di kawasan Timur-Tengah dan dunia Islam pada umumnya. []
DETIK, 19 September 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran
dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar