BJ Habibie dengan Hati Putihnya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada 20 Oktober 1999, BJ Habibie meletakkan jabatannya sebagai
presiden ketiga RI setelah dipegangnya sejak 21 Mei 1998. Mengapa demikian
singkat anak bangsa yang berhati putih ini diberi kesempatan untuk memimpin
Indonesia? Jawabannya adalah karena ranjau politik yang tajam sedang
mengadangnya, terutama karena pertanggungjawabannya atas lepasnya Timtim (Timor
Timur) ditolak MPR.
Dalam perjalanan waktu yang singkat, belum lama menjabat presiden,
beberapa teman dekatnya mulai pula mengkritiknya dengan alasan yang
dicari-cari, tetapi manusia berjiwa besar ini tidak pernah dendam. Bagi saya,
lepasnya Timtim dari Indonesia memang sudah semestinya. Bukankah wilayah ini
bukan termasuk jajahan Belanda yang dulu dikenal dengan Hindia Timur Belanda
yang sekarang menjadi Indonesia?
Timtim adalah bekas jajahan Portugis selama 450 tahun. Tahun 1976,
tentara Indonesia mengambilnya secara paksa dengan persetujuan Amerika Serikat
yang berdalih karena wilayah ini akan menjadi pusat Marxisme Fretilin sebagai
tetangga dekat Indonesia.
Pada 1970-an itu, Perang Dingin antara blok Barat dan Uni Soviet
masih belum tampak ujungnya. Tembok Berlin dan Federasi Uni Soviet masih
terlihat kokoh. Sedangkan Indonesia juga baru 10 tahun berhasil mematahkan
kekuatan PKI.
Itulah suasana politik global pada 1970-an itu. Tetapi saat
Habibie jadi presiden, peta dunia sudah berubah secara drastis, ancaman
Marxisme telah sangat melemah. Dinding Berlin telah runtuh dan Uni Soviet telah
berantakan karena rapuh dari dalam. Namun, Indonesia yang telah berhasil
merebut Timtim yang bukan bagian Hindia Belanda itu berkukuh menjadikan wilayah
ini sebagai provinsinya yang ke-27.
Semangat ultra-nasionalisme inilah yang melatarbelakangi alasan
MPR menolak pertanggungjawaban presiden Habibie. Maka itu, presiden ketiga RI
ini menjadi yang terpendek masa jabatannya, dibandingkan semua presiden
Indonesia lainnya.
Tak lama setelah penolakan MPR itu, Ir Salahuddin Wahid dan saya
menemui Pak Habibie di Petra Kuningan sebagai tanda kekecewaan terhadap sikap
MPR. Di luar dugaan kami, wajah Habibie tidak menunjukkan tanda-tanda gusar
karena posisinya sebagai presiden telah beralih ke tangan lain.
Karena hatinya putih seputih kapas, jabatan politik puncak baginya
bukanlah suatu yang harus dipertahankan mati-matian dengan segala cara.
Selama 17 bulan berkuasa, Habibie telah berbuat banyak untuk
bangsa dan negara. Keran demokrasi dibukanya, mungkin terlalu besar, UU Otonomi
Daerah digulirkannya, inflasi diatasinya, dan nilai tukar rupiah yang turun
bebas sebelumnya dari 1:15 menjadi 1:6,7. Tahanan politik dibebaskannya. Sebuah
prestasi kenegaraan yang spektakuler bagi sebuah negara yang sedang gaduh, yang
nyaris gagal.
Semua prestasi ini gara-gara hengkangnya Timtim tidak dipertimbangkan
dengan arif oleh sidang MPR, termasuk oleh mantan-mantan pendukungnya. Saya
tidak perlu menyebut nama para mantan itu yang ketika Habibie wafat berbalik
memujinya.
Salahuddin Wahid dan saya memang pencinta Habibie. Itulah sebabnya
kami segera datang mengunjunginya. Siapa tahu batinnya akan sedikit terhibur
oleh kunjungan kami dalam suasana politik kenegaraan yang sedang kritikal.
Memang sepeninggal Dr Hasri Ainun Basari (1937-2010), pendamping
setia Habibie, batin Bapak Demokrasi kedua setelah Hatta ini telah mengalami
keguncangan yang berat. Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang
sangat lembut dan penyabar ini harus pergi sembilan tahun lebih dulu sampai
Habibie menyusulnya pada 11 September 2019 pukul 18.05 WIB di RS Gatot Subroto.
Bukan saja Indonesia yang berkabung, bahkan bagian dunia lainnya,
seperti Jerman dan Malaysia juga menangisi kepergian seorang Habibie dengan
segala prestasinya di bidang ilmu dirgantara yang diakui dunia, dan dalam upaya
sungguh-sungguhnya mengatasi krisis ekonomi-politik Indonesia yang berantakan
pada masa terakhir Orde Baru.
Ainun terlalu mulia di hatinya. Seorang perempuan yang sangat
lembut dan penyabar.
Amat disayangkan kemudian, industri pesawat terbangnya di Bandung
kurang dihargai oleh para penggantinya. Padahal, dengan PT Dirgantara Indonesia
itu nama Indonesia telah melambung tinggi, banyak negara lain yang iri
karenanya.
Maka itu, orang yang paling berjasa merealisasikan gagasan besar
Bung Karno puluhan tahun yang lalu itu adalah BJ Habibie. Sekarang otak besar
dan jiwa pemaaf ini telah berangkat ke alam sana mengikuti Ainun, belahan
jantung-hatinya. Selamat jalan Pak Habibie, kami adalah pencintamu dengan cinta
yang tulus! []
REPUBLIKA, 17 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar