Menyoal ‘Andai Itu Baik
Tentu Generasi Salaf Sudah Melakukannya’ (II)
Sebelumnya telah dibahas tiga kelemahan dalam
pemberlakuan ungkapan “andai itu baik tentu generasi salaf sudah melakukannya”
sebagai sebuah kaidah. Kali ini akan penulis bahas empat kelemahan lainnya yang
membuktikan bahwa ungkapan ini bukanlah sebuah kaidah universal namun hanya
sekedar ungkapan dialektis dari Ibnu Katsir.
Keempat, patokan permanen umat Islam adalah
Al-Qur’an dan Sunnah dan bila umat Islam berselisih pendapat maka harus
dikembalikan pada keduanya (QS. An-Nisa’: 59). Pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah
itu sendiri dilakukan dengan dua cara, yakni cara tekstual bagi hal-hal yang
mempunyai petunjuk teks dan cara istinbath bagi yang tak terdapat teks yang
jelas. Imam Nawawi menjelaskan:
وقد
قال الله تعالى ما فرطنا في الكتاب من شيء ومعناه أن من الأشياء ما يعلم منه نصا
ومنها ما يحصل بالاستنباط
"Allah telah berfirman: “Kami tak
menyisakan dalam Al-Qur’an sesuatu pun”, maknanya adalah sebagian hal ada yang
diketahui secara tekstual dan sebagian lagi dapat dihasilkan dengan cara
penggalian hukum (istinbâth).” (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim,
juz XI, halaman 88).
Cara istinbatnya dilakukan dengan mencocokkan
hal baru dengan kaidah hukum yang ada; bila cocok dengan kaidah kewajiban maka
dianggap wajib, bila dianggap cocok dengan kaidah kesunnahan maka dianggap
sunnah dan demikian seterusnya. Imam Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan:
وَالطَّرِيقُ
فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ:
فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي
قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ
الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ
فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ
“Metode untuk mengetahui klasifikasi hal baru
adalah dengan cara hal baru itu dikembalikan pada kaidah syariat. Bila ia masuk
pada kaidah wajib maka berarti wajib, bila masuk pada kaidah haram berarti
haram, bila masuk pada kaidah sunnah berarti sunnah, bila masuk dalah kaidah
makruh berarti makruh dan bila masuk dalam kaidah mubah maka mubah.” (Izzuddin
bin Abdissalam, Qawâ’id al-Ahkâm Fî Mashâlih al-Anâm, juz II, halaman 204)
Ketiadaan tindakan dari Rasul, apalagi dari
para sahabat atau tabi’in sama sekali bukanlah dalil untuk menentukan hukum.
Ketiadaan berarti tak ada putusan apapun, tidak boleh secara otomatis dipahami
sebagai suatu pengharaman dengan alasan apapun, baik ketiadaan contoh itu dalam
hal agama atau duniawi. Selengkapnya tentang hal ini dapat dibaca dalam kitab
karya Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghummari yang berjudul Husnu
at-Tafahhum wad-Darki Limas’alat at-Tark atau karya Syekh Abdul Ilah
al-Arfaj yang berjudul Mafhûm al-Bid’ah.
Kelima, benar bahwa para sahabat paling
bersemangat melakukan kebaikan, tapi mereka adalah manusia biasa yang
kemampuannya terbatas. Tak semua jenis kebaikan mampu mereka ketahui, apalagi
mereka kerjakan. Banyak kebaikan yang tak terpikirkan di suatu masa tetapi
terpikirkan di masa berikutnya. Contoh sederhana, pada awalnya Nabi Muhammad
berkhutbah di permukaan tanah yang datar seperti biasa dan para sahabat pun
merasa itu sudah sempurna dan wajar. Namun belakangan mereka terpikirkan
membuat mimbar khutbah supaya sabda Nabi lebih mudah terdengar. Itu adalah
inovasi belakangan tetapi tak bertentangan dengan prinsip syariat yang ada
sebelumnya. Demikianlah banyak inovasi lain yang berhubungan dengan agama yang
muncul setelah era mereka.
Selama hal baru tak bertentangan dengan satu
pun prinsip syariat maka tak masalah dan bukan bid'ah, seperti penjelasan Imam
Syafi’i berikut:
المحدثات
من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة
الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير
مذمومة
“Hal-hal baru itu ada dua macam, salah
satunya adalah hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau
Ijmak, maka inilah bid’ah yang sesat. Kedua, adalah hal baru yang tidak
bertentangan dengan salah satu hal ini, maka ini adalah hal baru yang baik.”
(al-Baihaqi, Manâqib as-Syâfi’i, juz I, halaman 469)
Keenam, para ulama ahli tahqiq tak memakai
perkataan Ibnu Katsir di atas sebagai kaidah general tentang bid'ah. Bahkan
Ibnu Katsir sendiripun tak memakainya secara general. Lihat saja bagaimana
pujian Ibnu Katsir terhadap Raja Irbil yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi
dengan amat meriah. Beliau berkata:
"Dan dia (Raja Mudzaffar Kokburi)
menyelenggarakan Maulid Nabi yang mulia di bulan Rabi’ul Awwal secara
besar-besaran. Ia juga seorang raja yang cerdas, pemberani kesatria, pandai,
dan adil, semoga Allah mengasihinya dan menempatkannya di tempat yang paling
baik.” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz XVII, halaman 205)
Kalau memang ungkapan itu dipakai secara
konsisten sebagai kaidah universal, maka tentu reaksi Ibnu Katsir akan mencela
perayaan Maulid Nabi dan para pelakunya secara membabi buta dengan alasan tak
dilakukan di era sahabat.
Ketujuh, ungkapan tidak akurat itu dapat
dipatahkan dengan kaidah yang juga tak berdasar kecuali akal-akalan berikut:
"Andai itu memang buruk, tentu para
generasi salaf sudah lebih dahulu melarangnya sebab mereka adalah generasi yang
paling getol terhadap nahi munkar".
Dasar argumen kaidah akal-akalan ini adalah
para sahabat dan para ulama salaf tak ada yang permisif menyikapi bid'ah dan
kemungkaran apapun. Setiap ada kemungkaran pasti mereka ingkari. Ketika tak
pernah ada dari mereka yang mengingkarinya, maka berarti itu tandanya tidak
mengapa. Sebagai kebalikannya, kaidah akal-akalan di poin ketujuh ini punya
nilai kebenaran dan akurasi yang sama persis dengan ungkapan yang dinyatakan
Imam Ibnu Katsir di atas. Di bagian benarnya ia juga akan benar dan di bagian
salahnya ia juga akan salah. Keduanya sama-sama tak akurat, sama-sama tak bisa
dipakai secara general sebagai kaidah.
Dengan husnudhan kepada Imam Ibnu Katsir,
penulis yakin sepenuhnya bahwa beliau tak bermaksud menjadikan ucapan itu
sebagai sebuah kaidah yang berlaku umum tanpa kecuali sebagaimana dipahami
sebagian orang terbukti ia memuji Raja Mudhaffar yang menjadi pionir
penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi di kalangan Sunni. Wallahu a'lam.
[]
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar