Fiqih Bencana: Status
Tabungan Nasabah Perbankan di Daerah Terimbas Bencana
Ketika nasabah melakukan transaksi dengan
bank, ada sejumlah akad yang berlaku di dalamnya. Karena adanya akad ini, maka
berlaku pula beberapa konsekuensi hukum yang berlaku atas diri nasabah. Jika
konsekuensi hukum ini tidak berlaku, maka akad menjadi rusak sehingga transaksi
menjadi batal. Pada saat akad batal, maka seluruh perkara yang diakadkan
dikembalikan kepada masing-masing pihak, sementara pihak pelaku menerima ujrah
mitsil tanpa kecuali sebagai upah dari pekerjaannya. Sebagaimana bunyi kaidah
fiqih:
كلما
بطل العقد يتحقق أجرة المثل
Artinya: “Ketika aqad batal, maka berlaku
ujrah mitsil (upah standar).”
Produk perbankan syariah memiliki banyak
dasar akad rujukan. Untuk produk tabungan, ada akad al-wadî’ah yadu
al-dhammânah. Untuk akad al-wadî’ah yadu al-amânah, jelas tidak mungkin
dipergunakan karena dalam akad ini tersimpan maksud bahwa perbankan harus
mengembalikan keuangan sebagaimana awal dititipkan oleh nasabah dan bank
menerima ujrah mitshil dari nasabah dalam bentuk akad sewa tempat penyimpanan.
Dengan al-wadî’ah yadu al-dhammânah, maka berlaku status barang titipan
yang berbasis jaminan risiko. Risiko yang dimaksud dalam beberapa ketentuan OJK
adalah risiko rusak dan mengalami kerugian dalam penyalurannya oleh bank.
Penting digarisbawahi di sini adalah bahwa
akad al-wadî’ah yadu al-dhammânah berlaku untuk basis risiko rusak dan
kerugian dalam penyaluran (tasharruf) dan bukan risiko rusak disebabkan oleh
faktor bencana yang sama-sama merupakan kejadian force majeure (dlarurat).
Sejumlah teks kajian fiqih menyebut bahwa barang yang dititipkan atau
dijalankan oleh wakil, penjamin (dlamin), atau kafil, risiko kerusakan akibat
memakainya adalah merupakan tanggung jawab pemilik. Hal ini menimbang sisi
sebab kerusakan yang bukan disebabkan oleh kesalahan wakil, dlamin atau kafil.
Adapun untuk barang yang rusak karena kesalahan dalam penyaluran yang tidak
ditentukan oleh shahibu al-mâl (pemilik), maka sepenuhnya merupakan tanggung
jawab dlamin.
Menimbang dari sisi nasabah selaku pihak yang
menitipkan dan bank selaku pihak yang dititipi, maka berlaku kaidah bahwasanya
segala bentuk risiko kerusakan barang akibat penitipan yang bukan disebabkan
oleh kesalahan bank yang dititipi, maka penitip (nasabah) juga harus turut
serta menanggung risiko kerusakannya. Walhasil, dana tabungan nasabah tidak
bisa diurus lagi keberadaannya, jika merunut pada akad awal mula dari nasabah
tersebut menitipkan uangnya ke bank. Secara fikih, bank dalam hal ini ada
benarnya untuk tidak menjamin pengembalian dana nasabah tersebut.
Ada sejumlah catatan terkait dengan produk
tabungan nasabah ini. Pertama, adalah melihat sisi letak di mana ia menabung.
Kadang, seorang nasabah menabungkan uangnya tidak di bank tempat bencana atau
kejadian force majeure terjadi. Nasabah suatu saat menabung di bank yang berada
di lokasi tidak terimbas bencana. Namun, dokumen nasabah hilang akibat bencana.
Ia mau mengambil dananya yang tersimpan di bank menjadi tidak bisa disebabkan
tidak memiliki bukti lagi. Kebetulan bencana yang dialami tergolong bencana
yang bersifat menghabiskan harta benda.
Penyelesaian sengketa antara nasabah dan
perbankan untuk kasus terakhir, tentu membutuhkan sejumlah kebijakan yang bisa
diterima bersama antara kedua pihak nasabah dan bank. Tidak bisa dibenarkan
apabila bank kemudian tidak mempertimbangkan sisi kearifan. Akad shuluh mutlak
harus berlaku. Shuluh mendasarkan diri pada terbentuknya negosiasi dan
instrumentasi pengajuan klaim.
Praktik penerapan akad shuluh, bisa jadi
dengan jalan pihak bank bisa meminta agar nasabah melakukan pengurusan
dokumen-dokumen baru kependudukan agar bisa dibenarkan secara administrasi
untuk mengajukan klaim. Atau, bank bisa menerapkan kebijakan lain seperti
memfasilitasi pengajuan dokumen baru tabungan sehingga bisa dipergunakan untuk
mengajukan klaim atas tabungan/simpanan lamanya di bank.
Kedua, apabila terjadi kasus nasabah
meninggal dan ahli waris masih ada, namun seluruh dokumen hilang musnah.
Sementara itu, tabungan nasabah yang meninggal tidak berada di lokasi bencana.
Untuk kasus normal nasabah meninggal, liku proses pengurusan data masih bisa
dilakukan dengan berbekal kartu keluarga. Namun, untuk kasus hilangnya sebuah
desa atau bahkan bencana yang mencakup skala luas, sehingga perangkat
administrasi pemerintahan mengalami kelumpuhan total, menjadikan agak sulit
untuk melakukan pendeteksian. Dalam kasus bencana tsunami di mana kadang
ditemui adanya warga yang terseret arus sehingga batas-batas administrasi
wilayah asal tidak diketahui, maka dibutuhkan langkah campur tangan dari
pemerintah untuk memfasilitasinya.
Bagaimana cara pemerintah melakukan andil
dalam kasus nasabah meninggal sementara yang tersisa adalah ahli warisnya atau
sebagian di antara ahli warisnya?
Struktur administrasi pemerintahan modern
saat ini, dengan basis KTP elektronik sudah mampu melacak keberadaan data
penduduk seseorang dan meneliti hubungannya antara ahli waris satu dengan ahli
waris lainnya serta hubungannya dengan si mayit. Data Kependudukan dan Catatan
Sipil yang berada di wilayah Kabupaten/Kota juga mampu berperan membantu
pelacakan data sipil penduduk. Jika wilayah kabbupaten/kota juga mengalami
kelumpuhan, maka data yang berada di wilayah propinsi juga dapat berperan untuk
mengajukan klaim.
Persoalannya kemudian adalah tergantung pada
perangkat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkaitan dengan hal ini.
Semestinya, dalam kasus bencana yang bersifat memusnahkan, pihak ASN ini lebih
pro aktif dalam melakukan pelayanan dengan sistem jemput bola. Sudah barang
tentu hal ini disebabkan masyarakat kalangan awam - di tengah situasinya yang
masih diliputi duka akibat kehilangan sanak saudaranya – akan memilih bersikap
pasrah seiring kondisi yang dialami. Selanjutnya, mari kita tunggu aksi mereka!
[]
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pemateri
Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar